Jumat, 06 Juni 2014

Syariat, Tarekat, Hakekat, dan Makrifat

Di zaman saat ini seorang muslim terkadang telah dipusingkan atau dikotak-kotak dalam perbedaan antara Syari’at, Tarekat, Hakikat, dan Makrifat. Sebenarnya apa itu semua, Apakah itu sebuah kajian akademik ataukah sebuah dogma.
  • Syari’at adalah ilmu tentang perintah dan larangan Allah yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri’), baik yang langsung dari Allah maupun yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam alaihissalam hingga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa A.s dari Nabi Khidir A.s.
    Allah Swt berfirman tentang Khidhir A.s:

  • “Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” ( Q.S Al-Kahfi: 65)Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidir A.s berkata kepada Nabi MusaA.s :

  • “Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya.
    Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.”
    Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap Mukallaf (baligh dan Mukallaf) sampai datang ajal kematiannya.
  • Tarekat (Bahasa Arab: طرق, transliterasi: Tariqah) berarti “Jalan” atau “Metode”, dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme/ mistisme Islam. Di zaman sekarang ini, Tarekat merupakan jalan (pengajian) yang mengajak ke jalan illahiyah dengan cara Suluk (Taqarrub) yang biasanya dilakukan oleh Salik.
  • Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-­benar ada. Yang berasal dari kata Hak (Al-Haq), yang berarti milik (ke­punyaan) atau benar (kebenaran).
    Kata “Haq“, secara khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah untuk Allah Swt, sebagai pokok (sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang berlawanan dengan itu semuanya disebut bathil (yang tidak benar).
  • Ma’rifat yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan Kasyf (wahyu ilham/ terbukanya tabir ghaib) atau Ru’ya (mimpi) yang diberikan oleh Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin dan shalih. Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau di amalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits. Menyalahi di sini bisa berbentuk menentang, menambah, atau mengurangi.Ma’rifat juga berarti pengetahuan yang hakiki tentang illahiyah. Dengan orang menjalankan Syari’at, masuk Tarekat, kemudian ber-Hakikat untuk mendapatkan Makrifatullah sehingga menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri setiap detik hanya ke Allah Swt.
Lantas bagaimana jalannya
Seharusnya orang yang mengaku ber-Tarekat, ber-Hakikat dan ber-Makrifat harus berada didalam Syari’at. seharusnya perjalan spritual berasal dari Makrifat yang berarti berpengetahuan meluas dalam memahami Islam baik dalam Al-Qur’an, Hadist, Ushul Fiqih, Balaghoh, ‘Ard, dan Bahasa. Dengan keluasan makrifat orang akan mendapat Hakikat illahiyah yang melahirkan gerakan tarekat dan berujung pada inti Islam yang tidak lain Syari’at.

Perjalan Nabi Muhammad Saw dimulai dari Ma’rifat, Tarekat, Hakikat, dan akhirnya sampai pada Syari’at.

Ma’rifat adalah bertemu dan mencairnya kebenaran yang hakiki: yang disimbolkan saat Nabi Muhammad Saw bertemu dengan Malaikat Jibril A.s, Hakikat saat dia mencoba untuk merenungkan berbagai perintah untuk Iqra, Tarekat saat Muhammad Saw berjuang untuk menegakkan jalannya dan Syari’at adalah saat Muhammad Saw mendapat perintah untuk sholat saat Isra’ Mi’raj yang merupakan puncak pendakian tertinggi yang harus dilaksanakan oleh umat muslim.

Munculnya istilah Tarekat, Hakikat, dan Makrifat dalam akademisi kajian Islam jauh setelah wafatnya Rasulullah Saw sekitar abad 5 Hijriyah. Sekitar zaman Hujjatul Islam Syekh Imam Al-Ghazali Asy-Syafi’i yang menyendiri dari kajian ilmiah (falsafah) setelah menulis Tahafut al-Falasifah. Kemudian Al-Ghazali menjadi Sufi Sejati dengan menulis kitab sufi Ihya Ulumuddin. kemudian dunia Islam Timur Tengah tenggelam dalam sufi. Dan kemajuan Islam hanya di daerah Mongol, Turki, dan Spanyol yang diprakarsai oleh Ibn Rusdi.

Tidak seharusnya seorang muslim sejati mengkotak-kotakkan ini Syari’at, ini Tarekat, ini Hakekat, ini Ma’rifat, karena yang berkata demikian hanyalah orang yang tidak banyak mengetahui ke-ilmuan Islam secara holistik.

RAHASIA MA’RIFAT
Sangat sulit menjelaskan hakikat dan ma’rifat kepada orang-orang yang mempelajari agama hanya pada tataran Syari’at saja, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist akan tetapi tidak memiliki ruh dari pada Al-Qur’an itu sendiri. Padahal hakikat dari Al-Qur’an itu adalah Nur Allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara, dengan Nur itulah Rasulullah Saw memperoleh pengetahuan yang luar biasa langsung dari Allah Swt.

Hafalan tetaplah hapalan dan itu tersimpan di otak yang dimensinya rendah tidak adakan mampu menjangkau hakikat Allah Swt, otak itu baru sedangkan Allah Swt itu adalah Qadim sudah pasti Baru tidak akan sampai kepada Qadim. Kalau anda cuma belajar dari dalil dan mengharapkan bisa sampai kehadirat Allah Swt dengan dalil yang anda miliki maka PASTI anda tidak akan sampai kehadirat-Nya.

Ketika anda tidak sampai kehadirat-Nya sudah pasti anda sangat heran dengan ucapan orang-orang yang sudah berma’rifat, bisa berjumpa dengan Malaikat, berjumpa dengan Rasulullah Saw, dan melihat Allah Swt, dan anda menganggap itu sebuah kebohongan dan sudah pasti anda mengumpulkan lagi puluhan bahkan ratusan dalil untuk membantah ucapan para ahli ma’rifat tersebut dengan dalil yang menurut anda sudah benar, padahal kadang kala dalil yang anda berikan justru sangat mendukung ucapan para Ahli Ma’rifat cuma sayangnya matahati anda dibutakan oleh hawa nafsu, dalam Al-Qur’an disebut “Khatamallahu ‘ala Qulubihim” (Tertutup mata hati mereka) itulah Hijab yang menghalangi anda menuju Tuhan. Rasulullah Saw menggambarkan Ilmu hakikat dan ma’rifat itu sebagai “Haiatul Maknun” artinya “Perhiasan yang sangat indah”.

Sebagaimana hadist yang dibawakan oleh Abu Hurairah R.a bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seoranpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah Swt)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salamy).

Di dalam hadist ini jelas ditegaskan menurut kata Nabi Muhammad Saw bahwa ada sebagian ilmu yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali para Ulama Allah yakni Ulama yang selalu hanya berdzikir kepada Allah Swt dengan segala konsekwensinya. Ilmu tersebut sangat indah laksana perhiasan dan tersimpan rapi yakni ilmu Thariqat yang didalamnya terdapat amalan-amalan seperti Ilmu Latahif dan lain-lain.

Masih ingat kita cerita Nabi Musa A.s dengan Nabi Khidir A.s yang pada akhir perjumpaan mereka membangun sebuah rumah untuk anak yatim piatu untuk menjaga harta berupa emas yang tersimpan dalam rumah, kalau rumah tersebut dibiarkan ambruk maka emasnya akan dicuri oleh perampok, harta tersebut tidak lain adalah ilmu hakikat dan ma’rifat yang sangat tinggi nilainya dan rumah yang dimaksud adalah ilmu Syari’at yang harus tetap dijaga untuk membentengi agar tidak jatuh ketangan yang tidak berhak.
Semakin tegas lagi pengertian di atas dengan adanya hadist Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a sebagai berikut :

“Aku telah hafal dari Rasulullah Saw dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebar luaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku).”
(HR. Thabrani).Hadist di atas sangat jelas jadi tidak perlu diuraikan lagi, dengan demikian barulah kita sadar kenapa banyak orang yang tidak senang dengan Ilmu Thariqat?

Karena ilmu itu memang amat rahasia, sahabat Rasulullah Saw saja tidak di izinkan untuk disampaikan secara umum, karena ilmu itu harus diturunkan dan mendapat izin dari Rasulullah Saw, dari nabi izin tersebut diteruskan kepada Khalifah nya terus kepada para Aulia Allah sampai saat sekarang ini. Jika ilmu Hai’atil Maknun itu disebarkan kepada orang yang belum berbait dzikir atau “disucikan” sebagaimana telah firmankan dalam Al-Qur’an surat Al-‘Ala, orang-orang yang cuma Ahli Syari’at semata-mata, maka sudah barang tentu akan timbul anggapan bahwa ilmu jenis kedua ini yakni Ilmu Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat adalah Bid’ah Dlolalah.

Dan mereka ini mempunyai I’tikqat bahwa ilmu yang kedua tersebut jelas di ingkari oleh Syara’. Padahal tidak demikian, bahwa hakekat ilmu yang kedua itu tadi justru merupakan inti sari daripada ilmu yang pertama artinya ilmu Thariqat itu inti sari dari Ilmu Syari’at.

Oleh karena itu jika anda ingin mengerti Thariqat, Hakekat, dan Ma’rifat secara mendalam maka sebaiknya anda berbai’at saja terlebih dahulu dengan Guru Mursyid (Khalifah) yang ahli dan diberi izin dengan Taslim dan Tafwidh dan ridho. Jadi tidak cukup hanya melihat tulisan buku-buku lalu mengingkari bahkan mungkin mudah timbul prasangka jelek terhadap ahli thariqat. Dalam setiap peristiwa yang mewarnai kehidupan ini, seringkali kita tidak mampu atau tidak mau menangkap kehadiran Allah Swt dengan segala sifat-sifat-Nya. Padahal sifat-sifat Allah Swt sangat terkait erat dengan ayat-ayat Kauniyah-Nya yang terhampar di atas muka bumi-Nya.

Betapa Allah Swt melalui ayat-ayat Kauniyah-Nya- memang ingin menunjukkan ke-Maha Kuasaan-Nya dan ke-Maha Besaran-Nya agar hamba-hamba-Nya senantiasa mawas diri, waspada dan berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku agar tidak mengundang turunnya sifat Jalilah-Nya yang tidak akan mampu dibendung, apalagi dilawan oleh siapa pun, dengan upaya dan sarana kekuatan apapun tanpa terkecuali, karena memang Allah Swt-lah satu-satunya pemilik kekuatan dan kekuasaan terhadap seluruh makhluk-Nya.

Berdasarkan pembacaan terhadap ayat-ayat Al Qur’an secara berurutan, terdapat paling tidak empat ayat yang menyebut sifat-sifat Jamilah dan Jalilah Allah Swt secara berdampingan, yaitu: pertama, surah Al-Ma’idah [5]: 98,

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Kedua, akhir surah Al-An’am [6]: 165, “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ketiga, surah Ar-Ra’d [13]: 6, “Mereka meminta kepadamu supaya disegerakan (datangnya) siksa, sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka zhalim, dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksanya”.
Dan keempat, surah Al-Hijr [15]: 49-50, “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih”.

Pada masing-masing ayat di atas, Allah Swt menampilkan Diri-Nya dengan dua sifat yang saling berlawanan; Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang yang merupakan esensi dari sifat Jamilah-Nya, namun pada masa yang sama ditegaskan juga bahwa Allah Swt amat keras dan pedih siksaan-Nya yang merupakan cermin dari sifat Jalilah-Nya. Menurut Ibnu Abbas R.a, seorang tokoh terkemuka tafsir dari kalangan shahabat, ayat-ayat tersebut merupakan ayat Al Qur’an yang sangat diharapkan oleh seluruh hamba Allah Swt (Arja’ Ayatin fi Kitabillah).

Karena menurut Ibnu Katsir R.a – ayat-ayat ini akan melahirkan dua sikap yang benar secara seimbang dari hamba-hamba Allah Swt yang beriman, yaitu sikap harap terhadap sifat-sifat Jamilah Allah dan sikap cemas serta khawatir akan ditimpa sifat Jalilah Allah (Ar-Raja’ wal Khauf).

Sementara Imam Al-Qurthubi memahami ayat tentang sifat-sifat Allah Swt semakna dengan hadits Rasulullah Saw yang menegaskan,

“Sekiranya seorang mukmin mengetahui apa yang ada di sisi Allah Swt dari ancaman adzab-Nya, maka tidak ada seorangpun yang sangat berharap akan mendapat surga-Nya.
Dan sekiranya seorang kafir mengetahui apa yang ada di sisi Allah Swt dari rahmat-Nya, maka tidak ada seorangpun yang berputus asa dari rahmat-Nya”.
( HR. Muslim)

Dalam konteks ini, Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, seorang tokoh tafsir berkebangsaan Mesir mengelompokkan sifat-sifat Allah Swt yang banyak disebutkan oleh Al Qur’an kedalam dua kategori, yaitu Sifat-sifat Jamilah dan Sifat-sifat Jalilah. Kedua sifat itu selalu disebutkan secara beriringan dan berdampingan. Tidak disebut sifat-sifat Jamilah Allah, melainkan akan disebut setelahnya sifat-sifat Jalilah-Nya. Begitupula sebaliknya.

Dan memang begitulah Sunnatul Qur’an selalu menyebutkan segala sesuatu secara berlawanan; antara surga dan neraka, kelompok yang dzalim dan kelompok yang baik, kebenaran dan kebathilan dan lain sebagainya. Semuanya merupakan sebuah pilihan yang berada di tangan manusia, karena manusia telah dianugerahi oleh Allah Swt kemampuan untuk memilih, tentu dengan konsekuensi dan pertanggung jawaban masing-masing.

“Bukankah Kami telah memberikan kepada (manusia) dua buah mata,. lidah dan dua buah bibir. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan; petunjuk dan kesesatan”. (QS. Al-Balad: 8-10)

Sifat Jalilah yang dimaksudkan oleh beliau adalah sifat-sifat yang menunjukkan kekuasaan, kehebatan, cepatnya perhitungan Allah Swt dan kerasnya ancaman serta adzab Allah Swt yang akan melahirkan sifat Al-Khauf (rasa takut, khawatir) pada diri hamba-hamba-Nya. Manakala Sifat Jamilah adalah sifat-sifat yang menampilkan Allah Swt sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih, Penyayang, Pengampun, Pemberi Rizki, dan sifat-sifat lainnya yang memang sangat dinanti-nantikan kehadirannya oleh setiap hamba Allah Swt tanpa terkecuali. Dan jika dibuat perbandingan antara kedua sifat tersebut, maka sifat jamilah Allah jelas lebih banyak dan dominan dibanding sifat jalilah-Nya. Pada tataran Implementasinya, pemahaman yang benar terhadap kedua sifat Allah Swt tersebut bisa ditemukan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik R.a. Anas menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah Saw bertakziyah kepada seseorang yang akan meninggal dunia.

Ketika Rasulullah Saw bertanya kepada orang itu, “Bagaimana kamu mendapatkan dirimu sekarang?”,

Ia menjawab, “Aku dalam keadaan harap dan cemas”. Mendengar jawaban laki-laki itu, Rasulullah Saw bersabda, ‘Tidaklah berkumpul dalam diri seseorang dua perasaan ini, melainkan Allah Swt akan memberikan apa yang dia harapkan dan menenangkannya dari apa yang ia cemaskan”. (HR. At Tirmidzi dan Nasa’i).

Sahabat Abdullah bin Umar R.a seperti dinukil oleh Ibnu Katsir memberikan kesaksian bahwa orang yang dimaksud oleh ayat-ayat di atas adalah Utsman bin Affan R.a. Kesaksian Ibnu Umar tersebut terbukti dari pribadi Utsman bin Affan R.a bahwa ia termasuk sahabat yang paling banyak bacaan Al Qur’an dan sholat malamnya. Sampai Abu Ubaidah R.a meriwayatkan bahwa Utsman bin Affan R.a terkadang meng-khatamkan bacaan Al Qur’an dalam satu rakaat dari sholat malamnya. Sungguh satu tingkat kewaspadaan hamba Allah Swt yang tertinggi bahwa ia senantiasa khawatir dan cemas akan murka dan ancaman adzab Allah Swt dengan terus meningkatkan kualitas dan kuantitas pengabdian kepada-Nya. Disamping tetap mengharapkan rahmat Allah Swt melalui amal sholehnya.

Betapa peringatan dan cobaan Allah Swt justru datang saat kita lalai, saat kita terpesona dengan tarikan dunia dan saat kita tidak menghiraukan ajaran-ajaran-Nya, agar kita semakin menyadari akan keberadaan sifat-sifat Allah Swt yang Jalillah maupun yang Jamilah untuk selanjutnya perasaan harap dan cemas itu terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari. Boleh jadi saat ini Allah Swt masih berkenan hadir dengan sifat Jamilah-Nya dalam kehidupan kita karena kasih sayang-Nya yang besar, namun tidak tertutup kemungkinan karena dosa dan kemaksiatan yang selalu mendominasi perilaku kita maka yang akan hadir justru sifat Jalilah-Nya. Na’udzu Billah.

Memang hanya orang-orang yang selalu waspada yang mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi. Saatnya kita lebih mawas diri dan meningkatkan kewaspadaan dalam segala bentuknya agar terhindar dari sifat Jalilah Allah Swt dan senatiasa meraih sifat jamilah-Nya.

Dan itulah tipologi manusia yang dipuji oleh Allah Swt dalam firman-Nya yang bermaksud,

“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia senantiasa cemas dan khawatir akan (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”

Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran”
. (QS. Az-Zumar [39]: 9)

Semoga kasih sayang Allah Swt yang merupakan cermin dari sifat Jamilah-Nya senantiasa mewarnai kehidupan ini dan menjadikannya sarat dengan kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan lahir dan bathin. Dan pada masa yang sama, Allah Swt berkenan menjauhkan bangsa ini dari sifat Jalilah-Nya yang tidak mungkin dapat dibendung dengan kekuatan apapun karena memang mayoritas umat ini mampu merealisasikan nilai iman dan takwa dalam kehidupan sehari-hari mereka.

APABILA TUHAN MEMBUKAKAN BAGIMU JALAN UNTUK MA’RIFAT, MAKA JANGAN HIRAUKAN TENTANG AMALMU YANG MASIH SEDIKIT KARENA ALLAH SWT TIDAK MEMBUKA JALAN TADI MELAINKAN DIA BERKEHENDAK MEMPERKENALKAN DIRI-NYA  KEPADA KAMU.

Pengertian Amal, Qada dan Qadar, Tadbir dan Ikhtiar, Do’a, dan Janji Allah Swt,  semuanya itu mendidik rohani agar melihat ke dalam diri betapa kecilnya apa yang datang dari seorang hamba dan sebaliknya betapa besar apa yang dikaruniakan oleh Allah Swt.

Rohani yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amalan itu, tapi sebaliknya melihat amalan itu sebagai karunia dari Allah Swt yang wajib disyukuri. Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah Swt tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima taufik dan hidayah dari Allah Swt.

Orang berpikiran jernih akan menuju kepada kesucian hati dan akan mudah menerima pancaran Nur Sirr.  Mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah Swt, Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci, dan Maha Tinggi tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia sendiri yang ingin ditemui dan dikenali. Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah Swt.

Allah Swt hanya dikenali apabila Dia memperkenalkan  ‘diri-Nya’. Penemuan kepada hakikat bahwa “tidak ada jalan yang terjulur kepada gerbang  ma’rifat” merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Karena “pengertian” itu tidak ada dalam Ilmu apapun. Ilmu tidak mampu menelurkan pengertian itu. Apabila mengetahui dan mengakui bahwa “tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah Swt” maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Bila sampai di sini seseorang itu tidak ada pilihan lagi melainkan menyerah sepenuhnya kepada Allah Swt. Ada orang yang mengetuk pintu gerbang ma’rifat dengan do’anya. Jika pintu itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun, hingga akhirnya membawa kepada berputus asa. Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah Swt bahwa Dia akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya. Kuatlah dia beramal agar dia lebih layak untuk menerima karunia Allah Swt tersebut sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalannya untuk mengetuk pintu gerbang ma’rifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia akan berasa ragu-ragu.

Dalam perjalanan mencari ma’rifat, seseorang tidak terlepas dari kemungkinan menjadi ragu-ragu, lemah semangat, dan berputus asa.  Hal itu menandakan dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah Swt. Hamba tidak ada pilihan kecuali berserah kepada Allah Swt, hanya Dia yang memiliki kuasa Mutlak dalam menentukan siapakah antara hamba-hamba-Nya yang layak mengenali Diri-Nya.

Ilmu dan amal hanya digunakan untuk membentuk hati yang berserah diri kepada Allah Swt. Menyerahkan diri atau Aslim kepada Allah Swt itulah yang dapat membawa kehadapan pintu gerbang makrifat. Hanya para hamba yang sampai di perhentian Aslim ini yang berkemungkinan menerima karunia berupa makrifat. Allah Swt menyampaikan hamba-Nya di sini adalah tanda bahwa si hamba tersebut dipersiapkan untuk menemui-Nya. Aslim adalah makam tertinggi untuk menghampiri Allah Swt. Seseorang yang sampai kepada makam ini haruslah terus membenamkan dirinya ke dalam lautan penyerahan tanpa menghiraukan banyak atau sedikit ilmu dan amal yang dimilikinya. Sekiranya Allah Swt kehendaki dari makam inilah hamba diangkat ke Hadirat-Nya.

Jalan Aslim menuju pintu gerbang makrifat pada umumnya terbagi menjadi dua, yaitu;

1. Jalan orang yang mencari, dan
2. Jalan orang yang dicari.

1. Orang yang mencari akan melalui jalan di mana dia kuat melakukan Mujahadah (perjuangan/usaha), Berjuang melawan godaan hawa nafsu, kuat melakukan amal ibadah, dan gemar menuntut ilmu. Dzohirnya sibuk melaksanakan tuntutan Syari’at dan bathinnya memperteguhkan iman. Dipelajarinya tarekat tasawuf, mengenal sifat-sifat yang tercela, dan berusaha mengikiskannya dari dirinya. Kemudian di isikan dengan sifat-sifat yang terpuji. Dipelajarinya perjalanan nafsu dan melatihkan dirinya agar semakin lepas dari nafsunya itu agar menjadi bertambah suci hingga meningkat ke tahap yang di ridhai oleh Allah Swt. Inilah orang yang dimaksudkan Allah Swt dalam firman-Nya :

“Dan orang-orang yang berusaha dengan bersungguh-sungguh karena memenuhi kehendak agama Kami, sesungguhnya Kami akan memimpin mereka ke jalan-jalan Kami (yang menjadikan mereka bergembira serta memperoleh keridhaan); dan sesungguhnya (pertolongan dan bantuan) Allah adalah beserta orang-orang yang berusaha membaiki amalannya.” ( Ayat 69 : Surah al-‘Ankabut )
 “Wahai manusia ! Sesungguhnya engkau sentiasa bermalasan – (menjalankan keadaan hidupmu) dengan segala upayamu sehingga sampai (semasa engkau) kembali kepada Tuhanmu, dan engkau akan tetap  menemui balasan apa yang telah engkau usahakan itu (tercatat semuanya).” (Ayat 6 : Surah al-Insyiqaaq )

Orang yang ber-Mujahadah pada jalan Allah Swt dengan cara menuntut ilmu, mengamalkan ilmu yang dituntut, memperbanyakkan ibadat, berdzikir, menyucikan hati, maka Allah Swt menunjukkan jalan dengan memberikan taufik dan hidayat sehingga terbuka kepadanya suasana berserah diri kepada Allah Swt tanpa ragu-ragu dan ridha dengan aturan/perlakuan Allah Swt. Dia akan dibawa kedekat pintu gerbang ma’rifat dan hanya Allah Swt saja yang menentukan apakah orang tadi akan dibawa ke Hadirat-Nya ataupun tidak, dikaruniakan ma’rifat ataupun tidak.

2. Golongan orang yang dicari menempuh jalan yang berbeda daripada golongan yang mencari. Orang yang dicari tidak cenderung untuk menuntut ilmu atau beramal dengan tekun. Dia hidup selaku orang awam tanpa kesungguhan ber-Mujahadah. Tetapi, Allah Swt telah menentukan satu kedudukan kerohanian kepadanya, maka takdir akan menyeretnya sampai ke kedudukan yang telah ditentukan itu. Orang dalam golongan ini biasanya berhadapan dengan sesuatu peristiwa yang dengan serta-merta membawa perubahan kepada hidupnya. Perubahan sikap dan kelakuan berlaku secara mendadak. Kejadian yang menimpanya selalu berbentuk ujian yang memutuskan hubungannya dengan sesuatu yang menjadi penghalang antaranya dengan Allah Swt.

Semisalnya dia seorang raja yang beban kerajaannya menyebabkan dia tidak mampu mendekati Allah Swt, maka Allah Swt mencabut kerajaan itu darinya. Terlepaslah dia dari beban tersebut dan saat itu juga timbul satu ke-insyafan di dalam hatinya, yang membuatnya menyerahkan diri kepada Allah Swt dengan sepenuh hatinya. Sekiranya dia seorang hartawan takdir akan memupuskan hartanya sehingga dia tidak ada tempat bergantung kecuali Tuhan sendiri. Sekiranya dia berkedudukan tinggi, takdir mencabut kedudukan tersebut dan ikut tercabut kemuliaan yang dimilikinya dan digantikan pula dengan kehinaan sehingga dia tidak ada tempat untuk dituju lagi kecuali kepada Allah Swt. Orang dalam golongan kedua ini dihalangi oleh takdir daripada menerima bantuan dari makhluk.  Sehingga mereka berputus asa terhadap makhluk. Lalu mereka kembali dengan penuh kerendahan hati kepada Allah Swt dan timbullah dalam hatinya suasana penyerahan atau Aslim yang benar-benar terhadap Allah Swt.

Penyerahan yang tidak mengharapkan apa-apa daripada makhluk menjadikan mereka ridha dengan apa saja takdir dan perlakuan Allah Swt. Suasana seperti ini membuat mereka sampai dengan cepat ke perhentian pintu gerbang makrifat walaupun ilmu dan amal mereka masih sedikit. Orang yang berjalan dengan kendaraan bala bencana dan tetap dalam istiqamah (ridha dalam perlakuan Allah Swt) akan lebih cepat sampai ke pintu gerbang ke-ma’rifat-an.

Abu Hurairah R.a menceritakan, yang beliau dengar Rasulullah Saw bersabda yang maksudnya : “Allah Swt berfirman:Apabila Aku menguji hamba-Ku yang beriman kemudian dia tidak mengeluh kepada pengunjung-pengunjungnya maka Aku lepaskan dia dari belenggu-Ku dan Aku gantikan baginya daging dan darah yang lebih baik dari yang dahulu dan dia boleh memperbaharui amalnya sebab yang lalu telah diampuni semua’.”Amal kebaikan dan ilmunya tidak mampu membawanya kepada kedudukan kerohanian yang telah ditentukan Allah Swt, lalu Allah Swt dengan rahmat-Nya mengenakan ujian bala bencana yang menariknya dengan cepat kepada kedudukan berhampiran dengan Allah Swt.

Jadi ternyata bukan sekedar “Ngelmu-ngelmuan dan atau berharap dari amal-amalan” tapi sesungguhnya memang seperti uraian-uraian pengertian diatas.  Kalo boleh saya ringkaskan bahwa Jalan tertinggi dalam makam ber-Ma’rifatullah adalah “bersabar dalam perjuangan dengan segala Ujian-ujian (perlakuan-Nya)” – yang sering kita dengan sebutan RIDHA.  Untuk mengerti makna dari tulisan ini hendaknya membacanya harus “lepas” dari nafsu dan dari segala ke“ILMU”an yang ada di diri.  Harus dengan kehati-hatian dan setenang-tenangnya dalam rasa cinta kepada Allah Swt.

Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidir A.s berkata kepada Nabi Musa A.s: “Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.” Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf (baligh dan mukallaf) sampai datang ajal kematiannya.

Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal, “Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia.” Imam Malik berkata, “Barang siapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik. Barang siapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], ia benar-benar telah berhakikat.”

Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah Saw sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah Swt memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi Muhammad Saw melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”.

Tata cara shalat Nabi Muhammad Saw yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah Swt. Ketika memulai shalat dengan “Wajjahtu Waj-Hiya Lillaa-dzii Fatharas-samaawaati Wal-ardho Haniifam-muslimaw- Wamaa Ana Minal-Musy-rikiin..”

Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik.

Seharusnya seorang hamba sudah menemukan channel atau gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.

Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan dzikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi Muhammad Saw yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah.

Munculnya perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Sayyidina Ali bin Abi Thalib R.a, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”. Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.

Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul.

Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah?

Dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan?
Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”.

Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU. Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU.

PERBEDAAN SYARIAT, THORIQOH, HAQIQAH DAN MA’RIFAT

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah-istilah agama yang kadang-kadang pengertian masyarakat masih rancu, istilah tersebut antara lain :
Syariat  Thariqah Haqiqah Ma’rifah

1. Syariat :
Adalah hukum Islam yaitu Al qur’an dan sunnah Nabawiyah / Al Hadist yang merupakan sumber acuan utama dalam semua produk hukum dalam Islam, yang selanjutnya menjadi Madzhab-madzhab ilmu Fiqih, Aqidah dan berbagai disiplin ilmu dalam Islam yang dikembangkan oleh para ulama dengan memperhatikan atsar para shahabat ijma’ dan kiyas. Dalam hasanah ilmu keislaman terdapat 62 madzhab fiqh yang dinyatakanmu’tabar (Shahih dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya) oleh para ulama. Sedangkan dalam hasanah ilmu Tuhid (keimanan), juga dikenal dengan ilmu kalam. Ahirnya ummat Islam terpecah menjadi 73 golongan / firqah dalam konsep keyakinan. Perbedaan ini terdiri dari perbedaan tentang konsep konsep, baik menyangkut keyakinan tentang Allah SWT, para malaikat, kitab kitab Allah, para Nabi dan Rasul, Hari Qiamat dan Taqdir.

Namun dalam masalah keimanan berbeda dengan Fiqih. Dalam Fiqh masih ada toleransi atas perbedaan selama perbedaan tersebut tetap merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah, dan sudah teruji kebenarannya serta diakui kemu’tabarannya oleh para ulama yang kompeten. Akan tetapi dalam konsep keimanan, dari 73 golongan yang ada, hanya satu golongan yang benar dan menjadi calon penghuni surga, yaitu golongan yang konsisten / istiqamah berada dibawah panji Tauhidnya Rasulullah SWA dan Khulafa Ar Rasyidiin Al Mahdiyyin yang selanjutnya dikenal dengan Ahlu As Sunnah wal Jamaah. Sedangkan firqah / golongan lainnya dinyatakan sesat dan kafir. Jika tidak bertaubat maka mereka terancam masuk dalam neraka. Na’udzubillah.

2. Thariqah :
Thariqah adalah jalan / cara / metode implementasi syariat. Yaitu cara / metode yang ditempuh oleh seseorang dalam menjalankan Syariat Islam, sebagai upaya pendekatannya kepada Allah Swt. Jadi orang yang berthariqah adalah orang yang melaksanakan hukum Syariat, lebih jelasnya Syariah itu hukum dan Thariqah itu prakteknya / pelaksanaan dari hukum itu sendiri. Istilah Thoriqah berasal dari kata At-Tarik yang berarti jalan, keadaan, kepada hakikat.

Thariqah ada 2(dua) macam :

Thariqah ‘Aam : adalah melaksanakan hukum Islam sebagaimana masyarakat pada umumnya, yaitu melaksanakan semua perintah, menjauhi semua larangan agama Islam dan anjuran anjuran sunnah serta berbagai ketentuan hukum lainnya sebatas pengetahuan dan kemampuannya tanpa ada bimbingan khusus dari guru / mursyid / muqaddam.

Thariqah Khas : Yaitu melaksanakan hukum Syariat Islam melalui bimbingan lahir dan batin dari seorang guru / Syeikh / Mursyid / Muqaddam. Bimbingan lahir dengan menjelaskan secara intensif tentang hukum-hukum Islam dan cara pelaksanaan yang benar. Sedangkan bimbingan batin adalah tarbiyah rohani dari sang guru / Syeikh / Mursyid / Muqaddam dengan izin bai’at khusus yang sanadnya sambung sampai pada Baginda Nabi, Rasulullah Saw. Thariqah Khas ini lebih dikenal dengan nama Thariqah as Sufiyah / Thariqah al Auliya’.Thariqah Sufiyah yang mempunyai izin dan sanad langsung dan sampai pada Rasulullah itu berjumlah 360 Thariqah. Dalam riwayat lain mengatakan 313 thariqah. Sedang yang masuk ke Indonesia dan direkomendasikan oleh Nahdlatul Ulama’ berjumlah 44 Thariqah, dikenal dengan Thariqah Al Mu’tabaroh An Nahdliyah dengan wadah organisasi yang bernama Jam’iyah Ahlu Al Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah. Dalam kitab Mizan Al Qubra yang dikarang oleh Imam Asy Sya’rany ada sebuah hadits yang menyatakan :

ان شريعتي جا ئت على ثلاثما ئة وستين طريقة ما سلك احد طريقة منها الا نجا .(ميزان الكبرى للامام الشعرني : 1 / 30)

“Sesungguhnya syariatku datang dengan membawa 360 thariqah (metoda pendekatan pada Allah), siapapun yang menempuh salah satunya pasti selamat”. (Mizan Al Qubra: 1 / 30 )

Dalam riwayat hadits yang lain dinyakan bahwa :

ان شريعتي جائت على ثلاثمائة وثلاث عشرة طريقة لا تلقى العبد بها ربنا الا دخل الجنة ( رواه الطبرني )

“Sesungguhnya syariatku datang membawa 313 thariqah (metode pendekatan pada Allah), tiap hamba yang menemui (mendekatkan diri pada) Tuhan dengan salah satunya pasti masuk surga”. (HR. Thabrani)

Terlepas dari  jumlah thariqah pada kedua riwayat hadits diatas, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus percaya akan adanya thariqah sebagaimana direkomendasi oleh hadits tersebut. Kalau tidak percaya berarti tidak percaya dengan salah satu hadits Nabi SAW yang Al Amiin (terpercaya dan tidak pernah bohong). Lalu bagaimana hukumnya tidak percaya pada Hadits Nabi yang shahiih?

Dari semua thariqah sufiyah yang ada dalam Islam, pada perinsip pengamalannya terbagi menjadi dua macam. Yaitu thariqah mujahadah dan Thariqah Mahabbah. Thariqah mujahadah adalah thariqah / mitode pendekatan kepada Allah SWT dengan mengandalkan kesungguhan dalam beribadah, sehingga melalui kesungguhan beribadah tersebut diharapkan secara bertahap seorang hamba akan mampu menapaki jenjang demi jenjang martabah (maqamat) untuk mencapai derajat kedekatan disisi Allah SWT dengan sedekat dekatnya. Sebagian besar thariqah yang ada adalah thariqah mujahadah.

Sedangkan thariqah mahabbah adalah thariqah yang mengandalkan rasa syukur dan cinta, bukan banyaknya amalan yang menjadi kewajiban utama. Dalam perjalanannya menuju hadirat Allah SWT seorang hamba memperbanyak ibadah atas dasar cinta dan syukur akan limpahan rahmat dan nikmat Allah SWT, tidak ada target maqamat dalam mengamalkan kewajiban dan berbagai amalan sunnah dalam hal ini. Tapi dengan melaksanakan ibadah secara ikhlash tanpa memikirkan pahala, baik pahala dunia maupun pahala ahirat , kerinduan si hamba yang penuh cinta pada Al Khaliq akan terobati. Yang terpenting dalam thariqah mahabbah bukan kedudukan / jabatan disisi Allah. tapi menjadi kekasih yang cinta dan dicintai oleh Allah SWT. Habibullah adalah kedudukan Nabi kita Muhammad SAW. (Adam shafiyullah, Ibrahim Khalilullah, Musa Kalimullah, Isa Ruhullah sedangkan Nabi Muhammad SAW Habibullah). Satu satunya thariqah yang menggunakan mitode mahabbah adalah Thariqah At Tijany.

“Zuhhad” (orang-orang yang berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau “ubbad” (orang yang rajin melaksanakan ibadah). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu berkehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah SWT. yang sebenar-benarnya, melalui riyadloh (laku prihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah) atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan ”takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu ”tahalli” yaitu menghiasi hati dengan sifat yang terpuji, lalu ”tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah SWT.

Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang dikalangan masyarakat Muslim, yang pada akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan sebutan ilmu “Tashawuf”. Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thoriqoh” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan aqidah-aqidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Shufi. Thoriqoh adalah salah satu amaliyah keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh dari generasi ke generasi sampai kita sekarang. Akhirnya muncul aliran-aliran thoriqoh yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa’iyyah, Syadzaliyyah, Dasuqiyyah/Barhamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.


https://bilbara.files.wordpress.com/2012/11/thoriqoh.jpg

Macam-macam Thoriqoh dan ajarannya

1) Thoriqah Naqsabandiyah
Pendiri Thoriqoh Naqsabandiyah ialah Muhammad bin Baha’uddin Al-Huwaisi Al Bukhari (717-791 H). Ulama sufi yang lahir di desa Hinduwan – kemudian terkenal dengan Arifan. Pendiri Thorikoh Naqsabandiyah ini juga dikenal dengan nama Naksyabandi yang berarti lukisan, karena ia ahli dalam memberikan gambaran kehidupan yang ghaib-ghaib. Kata ‘Uwais’ ada pada namanya, karena ia ada hubungan nenek dengan Uwais Al-Qarni, lalu mendapat pendidikan kerohanian dari wali besar Abdul Khalik Al-Khujdawani yang juga murid Uwais dan menimba ilmu Tasawuf kepada ulama yang ternama kala itu, Muhammad Baba Al-Sammasi.
 

Thoriqah Naqsabandiyah mengajarkan zikir-zikir yang sangat sederhana, namun lebih mengutamakan zikir dalam hati daripada zikir dengan lisan. Pokok-pokok ajaran Thoriqah Naqsabandiyah:

• Berpegang teguh dengan akidah ahli Sunnah
• Meninggalkan Rukhshah
• Memilih hukum yang azimah
• Senantiasa dalam muraqabah
• Tetap berhadapan dengan Tuhan
• Senantiasa berpaling dari kemegahan dunia.
• Menghasilkan makalah hudur (kemampuan menghadirkan Tuhan dalam hati)
• Menyendiri di tengah-tengah ramai serta menghiasi diri dengan hal-hal yang memberi faedah
• Berpakaian dengan pakaian orang mukmin biasa.
• Zikir tanpa suara
• Mengatur nafas tanpa lali dari Allah
• Berakhlak dengan akhlak Nabi Muhammad SAW

Ada enam dasar yang dipakai sebagai pegangan untuk mencapai tujuan dalam
Thoriqah ini, yaitu:
a. Tobat
b. Uzla (Mengasingkan diri dari masyarakat ramai yang dianggapnya telah mengingkari ajaran-ajaran Allah dan beragam kemaksiatan, sebab ia tidak mampu memperbaikinya)
c. Zuhud (Memanfaatkan dunia untuk keperluan hidup seperlunya saja)
d. Taqwa
e. Qanaah (Menerima dengan senang hati segala sesuatu yang dianugerahkan oleh Allah SWT)
f. Taslim (Kepatuhan batiniah akan keyakinan qalbu hanya pada Allah)
Hukum yang dijadikan pegangan dalam Thoriqoh Naqsabandiyah ini juga ada enam, yaitu:
a. Zikir
b. Meninggalkan hawa nafsu
c. Meninggalkan kesenangan duniawi
d. Melaksanakan segenap ajaran agama dengan sungguh-sungguh
e. Senantiasa berbuat baik (ihsan) kepada makhluk Allah SWT
f. Mengerjakan amal kebaikan

Syarat-syarat untuk menjadi pengikutnya :
a. I’tiqad yang benar
b. Menjalankan sunnah Rasulullah
c. Menjauhkan diri dari nafsu dan sifat-sifat yang tercela
d. Taubat yang benar
e. Menolak kezaliman
f. Menunaikan segala hak orang
g. Mengerjakan amal dengan syariat yang benar

2. Thoriqah Qadariyah
Pendiri Tarekat Qadiriyah adalah Syeikh Abduk Qadir Jailani, seorang ulama yang zahid, pengikut mazhab Hambali. Ia mempunyai sebuah sekolah untuk melakukan suluk dan latihan-latihan kesufian di Baghdad. Pengembangan dan penyebaran Tarekat ini didukung oleh anak-anaknya antara lain Ibrahim dan Abdul Salam.
Thoriqah Qodariyah berpengaruh luas di dunia timur. Pengaruh pendirinya ini sangat banyak meresap di hati masyarakat yang dituturkan lewat bacaan manaqib. Tujuan dari bacaan manaqib adalah untuk mendapatkan barkah, karena abdul Qadir jailani terkwenal dengan keramatnya. Dasar pokok ajaran Thoriqah Qadariyah yaitu:
 

• Tinggi cita-cita
• Menjaga kehormatan
• Baik pelayanan
• Kuat pendirian
• Membesarkan nikmat Tuhan

3. Thoriqah Sadziliyah
Pendiri Tarekat Sadziliyah adalah Abdul Hasan Ali Asy-Syazili, seorang ulama dan sufi besar. Menurut silsilahnya, ia masih keturunan Hasan, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah SAW. Ia dilahirkan pada 573 H di suatu desa kecil di kawasan Maghribi. Ali Syazili terkenal sangat saleh dan alim, tutur katanya enak didengar dan mengandung kedalaman makna. Bahkan bentuk tubuh dan wajahnya, menurut orang-orang yang mengenalnya, konon mencerminkan keimanan dan keikhlasan. Sifat-sifat salehnya telah tampak sejak ia masih kecil. Pokok ajaran Thoriqoh Sadziliyah yaitu:
 

• Bertaqwa kepada Allah ditempat sunyi dan ramai
• Mengikutu sunnah dalam segala perbuatan dan perkataan
• Berpaling hati dari makhluk waktu berhadapan dan membelakang
• Ridho dengan pemberian Allah sedikit atau banyak
• Kembali kepada Allah baik senang maupun sedih.
Tarekat Syaziliyah merupakan Tarekat yang paling mudah pengamalannya. Dengan kata lain tidak membebani syarat-syarat yang berat kepada Syeikh Tarekat. Kepada mereka diharuskan:
a. Meninggalkan segala perbuatan maksiat.
b. Memelihara segala ibadah wajib, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan dan lain-lain.
c. Menunaikan ibadah-ibadah sunnah semampunya.
d. Zikir kepada Allah SWT sebanyak mungkin atau minimal seribu kali dalam sehari semalam dan beristighfar sebanyak seratus kali sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain.
e. Membaca shalawat minimal seratus kali sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain.

4. 
Thoriqah Rifaiyah
Pendirinya
Thoriqah Rifaiyah adalah Abul Abbas Ahmad bin Ali Ar-Rifai. Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H (1106 M), sedangkan sumber lain mengatakan ia lahir pada tahun 512 H (1118 M). Sewaktu Ahmad berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia lalu diasuh pamannya, Mansur Al-Batha’ihi, seorang syeikh Trarekat. Selain menuntut ilmu pada pamannya tersebut ia juga berguru pada pamannya yang lain, Abu Al-Fadl Ali Al Wasiti, terutama tentang Mazhab Fiqh Imam Syafi’i. Dalam usia 21 tahun, ia telah berhasil memperoleh ijazah dari pamannya dan khirqah 9 sebagai pertanda sudah mendapat wewenang untuk mengajar.

Ciri khas
Thoriqah Rifaiyah ini adalah pelaksanaan zikirnya yang dilakukan bersama-sama diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, antara lain berguling-guling dalam bara api, namun tidak terbakar sedikit pun dan tidak mempan oleh senjata tajam.

5. 
Thoriqah Khalawatiyah
Tarikat Khalawatiyah ialah suatu cabang dari tarikat Suhrawadiyah yang didirikan di Bagdad oleh Abdul Qadir Suhrawardi dan Umar Suhrawardi, yang tiap kali menamakan dirinya golongan Siddiqiyah, karena mereka menganggap dirinya berasal dari keturunan Khalifah Abu Bakar. Bidang usahanya yang terbesar terdapat di Afghanistan dan India. Memang keluarga Suhrawardi ini termasuk keluarga Sufi yang ternama. Abdul Futuh Suhrawardi terkenal dengan nama Syeikh Maqtul atau seorang tokoh sufi yang oleh kawan-kawannya diberi gelar ulama, dilahirkan di Zinjan, dekat Irak pada tahun 549 H. Suhrawardi yang lain bernama Abu Hafas Umar Suhrawardi, juga seorang tokoh sufi terbesar di Bagdad, pengarang kitab “Awariful Ma’arif”, sebuah karangan yang sangat mengagumkan dan sangat menarik perhatian Imam Ghazali, sehingga seluruh kitab itu di muat pada akhir karya “Ihya Ulumuddin” yang oleh
Thoriqah Suhrawardiyah serta cabang-cabangnya dijadikan pokok pegangan dalam suluknya, dan Suhrawardani ini meninggal pada tahun 638 H .

6.
Thoriqah Khalidiyah
Cabang Naqsabandiyah di Turkestan mengaku berasal dari
Thoriqah Thaifuriyah dan cabang-cabang yang lain terdapat di Cina, Kazan, Turki, India, dan Jawa. Disebutkan dalam sejarah, bahwa Thoriqah itu didirikan oleh Bahauddin 1334 M. Dalam pada itu ada suatu cabang Naqsabandiyah di Turki, yang berdiri dalam abad ke XIX, bernama Khalidiyah.

Menurut sebuah kitab dari Baharmawi Umar, dikatakan, bahwa pokok-pokok
Thoriqah   Khalidiyah Dhiya’iyah Majjiyah, diletakkan oleh Syeikh Sulaiman Zuhdi Al-Khalidi, yang lama bertempat tinggal di Mekkah. Kitab ini berisi silsilah dan beberapa pengertian yang digunakan dalam Thoriqah ini, setengahnya tertulis dalam bentuk sajak dan setengahnya tertulis dalam bentuk biasa. Dalam silsilah dapat dibaca, bahwa tawassul Thoriqah ini dimulai dengan Dhiyauddin Khalid.

7.
Thoriqah Sammaniyah
Nama
Thoriqah ini diambil daripada nama seorang guru tasawwuf yang masyhur, disebut Muhammad Samman, seorang guru terikat yang ternama di Madinah, pengajarannya banyak dikunjungi orang-orang Indonesia di antaranya berasal dari Aceh, dan oleh karena itu terikatnya itu banyak tersiar di Aceh, bisa disebut terekat sammaniyah. Ia meninggal di Madinah pada tahun 1720 M. Sejarah hidupnya dibukukan orang dengan nama Manaqib Tuan Syeikh Muhammad Samman, ditulis bersama kisah Mi’raj Nabi Muhammad, dalam huruf arab, disiarkan dan dibaca dalam kalangan yang sangat luas di Indonesia sebagai bacaan amalan dalam kalangan rakyat.

8.
Thoriqah Rifa’iyah
Tidak banyak kita mengetahui tentang tarekat ini, meskipun namanya terkenal di Indonesia karena tabuhan rebana, yang namanya di Aceh rapa’i, perkataan yang terambil dari Rifa’i, pendiri dan penyiar
Thoriqah ini, begitu juga dikenal orang Sumatera permainan debus, menikam diri dengan sepotong senjata tajam, yang diiringi zikir-zikir tertentu.

Akhmad ibn Ali Abul Abbas, yang dianggap pencipta daripada
Thoriqah Rifa’iyah itu. Ia meninggal di Umm Abidah pada 22 Jumadil Awal 578 H, sedang tanggal lahirnya diperselisihkan orang. Dalam kitab-kitab tua tulisan tangan, yang masih terdapat di sana sini di seluruh Indonesia, kita masih mendapati ajaran-ajaran Ahmad Rifa’i ini, meskipun gerakan ini tidak begitu kelihatan lagi hidup dalam masyarakat.Thoriqah Rifa’iyah ini, yang mula-mula berdiri di Irak kemudian tersiar luas ke Basrah, sampai ke Damaskus dan Istanbul di Turki. Cabang-cabangnya yang terdapat di Syiria ialah Hariyah, Sa’diyah dan Sayyadiyah, dll. Terutama dalam abad yangke XIX Masehi. Cabang Sa’diyah di syiria didirikan oleh Sa’duddin Jibawi, yang bercabang pula, masing-masing didirikan oleh dan bernama Abdus Salamiyah dan Abdul wafaiyah.

9.
Thoriqah ‘Aidrusiyah
Salah satu daripada
Thoriqah yang masyhur dalam kalangan Ba’alawi ialah Al’aidurusiyah, terutama dalam tasawuf aqidah. 

Hampir tiap-tiap buku tasawuf menyebut nama Al- aidrus sebagai salah seorang sufi yang ternama. Keluarga Al’Ahidus banyak sekali melahirkan tokoh-tokoh Sufi yang terkemuka, diantaranya, di antaranya S. Abdur Rahman Bin Mustafa Al’Aidus, yang pernah menjadi pembicaraan Al-Jabarti dalam sejarahnya. Al-Jabarti menerangkan, bahwa S.Abdur Rahman berlimpah-limpah ilmunya, ahli yang mempertemukan hakekat dan syariat sejak kecil ia telah menghafal Al’Quran 30 jus.

10.
Thoriqah Al-Haddad
Sayyid Abdullah bin Alwi Muhammad Al-Haddad dianggap salah seorang qutub dan arifin dalam ilmu Tasawuf. Banyak ia mengarang kitab-kitab mengenai ilmu tasawuf dalam segala bidang, dalam aqidah, tarekat, dsb. Bukan saja dalam ilmu tasawuf, tetapi juga dalam ilmu-ilmu yang lain banyak ia mengarang kitab. Kitabnya yang bernama : “Nasa’ihud Diniyah”, sampai sekarang merupakan kitab-kitab yang dianggap penting. Muraqabah termasuk wasiat Al-Haddad yang penting. Muraqabah artinya selalu diawasi Tuhan, dan orang yang sedang melakukan suluk hendaknya selalu Muraqabah dalam gerak dan diamnya, dalam segala masa dan zaman, dalam segala perbuatan dan kehendak, dalam keadaan aman dan bahaya, di kala lahir dan di kala tersembunyi, selalu menganggap dirinya berdampingan dengan Tuhan dan diawasi oleh Tuhan. Jika beribadah itu seakan-akan dilihat Tuhan, jika ia tidak melihat Tuhan pun, niscaya Tuhan dapat melihat dia dan memperhatikan segala amal ibadahnya. Ak-Hadad mengatakan bahwa Muraqabah itu termasuk maqam dan manzal, ia termasuk maqam ihsan yang selalu dipuji-puji oleh nabi Muhammad.

11.
Thoriqah Tijaniyah
Salah satu
Thoriqah yang terdapat di Indonesia di samping thoriqah-thoriqah yang lain ialah tarekat Tijaniyah. Dalam tahun beberapa rekat ini masuk ke Indonesia tidak diketahui orang-orang secara pasti, tetapi sejak tahun 1928 mulai terdengar adanya gerakan ini di Cirebon. Seorang Arab yang tinggal di Tasikmalaya, bernama Ali bin Abdullah At-Tayib Al-Azhari, berasal dari Madinah, menulis sebuah kitab yang berjudul “Kitab Munayatul Murid” (Tasikmalaya, 1928 M), berisi beberapa petunjuk mengenai hakikat ini, dan kitab itu terdapat tersebar luas di Cirebon khususnya, dan di Jawa barat umumnya.

Pendirinya seorang ulama dari Algeria, bernama Abdul Abbas bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijani, lahir di ‘Ain Mahdi pada tahun 1150 H, (1737-1738 M). Diceritakan bahwa dari bapaknya ia keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, sedang nama Tijani adalah dari Tijanah dari keluarga ibunya. 
Thoriqah ini mempunyai wirid yang sangat sederhana, dan wazifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari istighfar seratus kali, shalawat seratus kali, dan tahlil seratus kali. Boleh dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore. Di Cirebon tarekat Tijani ini pernah tersiar dengan suburnya di bawah pimpinan Kiyai Buntet dan saudaranya Kiyai Anas di desa Martapada, dekat kota Cirebon. Thoriqah adalah sebagai hasil pengalaman dari seorang sufi yang diikuti oleh para murid, yang dilakukan dengan aturan atau cara tertentu dan bertujuan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah. 

Dalam perkembangannya thoriqah itu kemudian digunakan sebagai nama sekelompok mereka yang menjadi pengikut bagi seorang syekh yang mempunyai pengalaman tertentu dalam cara mendekatkan diri kepada Allah dan cara memberikan tuntutan dan bimbingan pada muridnya. Dalam memberi nama suatu kelompok thoriqah dengan suatu ajaran tertentu dalam mendekatkan diri pada Tuhan itu dan dalam cara memberikan latihan-latihan selalu dinisbahkan kepada nama seorang syekh yang dianggap mempunyai metodhe dan pengalaman yang khusus.

Di Indonesia terdapat beberapa thoriqah yang telah tersebar ke beberapa daerah seperti: Naqsabandiyah, Qadiriyah, Samaniyah, Khalawatiyah, Khalidiyah, Al-Hadad, Rifaiyah, dan Aidrusiyah, dll.. Nama-nama thoriqah yang masuk ke Indonesia dan telah diteliti oleh para Ulama NU yang tergabung dalam Jam’iyyah Ahluth Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah dan dinyatakan Mu’ tabar (benar – sanadnya sambung sampai pada Baginda Rasulullah SAW), antara lain :

1. Umariyah                                    
2. Naqsyabandiyah                          
3. Qadiriyah                                    
4. Syadziliyah                                  
5. Rifaiyah                                       
6. Ahmadiyah                                  
7. Dasuqiyah                                   
8. Akbariyah                                   
9. Maulawiyah                                 
10. Kubrawiyyah                             
11. Sahrowardiyah                           
12. Khalwatiyah                               
13. Jalwatiyah                                  
14. Bakdasiyah                                
15. Ghazaliyah                                 
16. Rumiyah                                    
17. Sa’diyah                                    
18. Jusfiyyah                                    
19. Sa’baniyyah                               
20. Kalsaniyyah                               
21. Hamzaniyyah                            
22. Bairumiyah                                .
23. Usysyaqiyyah
24. Bakriyah
25. Idrusiyah
26. Utsmaniyah
27. ‘Alawiyah
28. Abbasiyah
29. Zainiyah
30. Isawiyah
31. Buhuriyyah
32. Haddadiyah
33. Ghaibiyyah
34. Khodiriyah
35. Syathariyah
36. Bayumiyyah
37. Malamiyyah
38. Uwaisiyyah
39. Idrisiyah
40. Akabirul Auliya’
41. Subbuliyyah
42. Matbuliyyah
43. Tijaniyah
44. Sammaniyah.

https://thoriqohalfisbuqi.files.wordpress.com/2010/01/sufi-1.jpg

3. Haqiqah
 Yaitu sampainya seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. di depan pintu gerbang kota tujuan, yaitu tersingkapnya hijab-hijab pada pandangan hati seorang salik (hamba yang mengadakan pengembaraan batin) sehigga dia mengerti dan menyadari sepenuhnya Hakekat dirinya selaku seorang hamba didepan TuhanNya selaku Al Kholiq Swt. bertolak dari kesadaran inilah, ibadah seorang hamba pada lefel ini menjadi berbeda dengan ibadah orang kebanyakan. Kebanyakan manusia beribadah bukan karena Allah SWT, tapi justru karena adanya target target hajat duniawi yang ingin mereka dapatkan, ada juga yang lebih baik sedikit niatnya, yaitu mereka yang mempunyai target hajat hajat ukhrawi (pahala akhirat) dengan kesenangan surgawi yang kekal. Sedangkan golongan Muhaqqiqqiin tidak seperti itu, mereka beribadah dengan niat semata mata karena Allah SWT, sebagai hamba yang baik mereka senantiasa menservis majikan / tuannya dengan sepenuh hati dan kemampuan, tanpa ada harapan akan gaji / pahala. Yang terpenting baginya adalah ampunan dan keridhaan Tuhannya semata. Jadi tujuan mereka adalah Allah SWT bukan benda benda dunia termasuk surga sebagaimana tujuan ibadah orang kebanyakan tersebut diatas.

4. Ma’rifah
Adalah tujuan akhir seorang hamba yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. (salik) Yaitu masuknya seorang salik kedalam istana suci kerajaan Allah Swt. (wusul ilallah Swt). sehingga dia benar benar mengetahui dengan pengetahuan langsung dari Allah SWT. baik tentang Tuhannya dengan segala keagungan Asma’Nya, Sifat sifat, Af’al serta DzatNya. Juga segala rahasia penciptaan mahluk diseantero jagad raya ini. Para ‘Arifiin ini tujuan dan cita cita ibadahnya jauh lebih tinggi lagi, Mereka bukan hanya ingin Allah SWT dengan Ampunan dan keridhaanNYa, tapi lebih jauh mereka menginginkan kedudukan yang terdekat dengan Al Khaliq, yaitu sebagai hamba hamba yang cinta dan dicintai oleh Allah SWT. (syariah dan Thariqah) kita bisa mempelajari teori dan praktek secara langsung, baik melalui membaca kitab-kitab / buku-buku maupun melalui pelajaran-pelajaran (ta’lim) dan pendidikan (Tarbiyah) bagi ilmu Thariqah. Sedangkan Haqiqah dan ma’rifah pada prinsipnya tidak bisa dipelajarisebagai mana Syariah dan Thariqah karena sudah menyangkut Dzauqiyah.

Haqiqah dan ma’rifah lebih tepatnya merupakan buah / hasil dari perjuangan panjang seorang hamba yang dengan konsisten (istiqamah) mempelajari dan menggali kandungan syariah dan mengamalkanya dengan ikhlash semata mata karena ingin mendapatkan ridha dan ampunan serta cinta Allah SWT. Perumpamaan yang agak dekat dengan masalah ini adalah : ibarat satu jenis makanan atau minuman (misalnya nasi rawon).

Resep masakan nasi rawon yang menjelaskan bahan bahan dan cara membuat nasi rawon itu sama dengan Syariah. Bimbingan praktek memasak nasi rawon itu sama dengan Thoriqah . Resep dan praktek masak nasi rawon ini bisa melalui buku dan mempraktekkan sendiri (ini thariqah ‘am) sedangkan resep dan praktek serta bimbingan masak nasi rawon dengan cara kursus pada juru masak yang ahli (itu namanya Thoriqah khusus). Makan nasi rawon dan menjelaskan rasa / enaknya ini sudah haqiqah dan tidak ada buku panduannya, demikian juga makan nasi rawon dan mengetahui secara detail rasa, aroma, kelebihan dan kekurangannya itu namanya ma’rifah.

http://st303557.sitekno.com/images/art_73338.jpg


BERHATI-HATILAH TUJUAN THORIQOH ITU HANYA SEBAGAI JALAN WASHIL KEPADA ALLAH BUKAN PADA KAROMAH / MARTABAT / MAQOMAT / YANG MENYERUPAI KERAMAT SEPERTI BISA TERBANG , BERJALAN DI ATAS AIR,  MENEMBUS DIMENSI MASA LALU, MELIHAT APA APA YANG AKAN TERJADI DI MASA DEPAN…. DEMI ALLAH ITU ADALAH HIJAB DARI KASYAF ,,, KARENA ITU ALLAH MENUTUPI KEADAANNYA DENGAN APA YANG TERLINTAS DARI HATIMU







Tidak ada komentar:

Posting Komentar