Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam[1]. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allah s.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
Hukum Nikah
Hukum pernikahan bersifat kondisional, artinya berubah menurut situasi dan kondisi seseorang dan lingkungannya.
- Jaiz, artinya boleh kawin dan boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum dasar dari pernikahan. Perbedaan situasi dan kondisi serta motif yang mendorong terjadinya pernikahan menyebabkan adanya hukum-hukum nikah berikut.
- Sunat, yaitu apabila seseorang telah berkeinginan untuk menikah serta memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun batin.
- Wajib, yaitu bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi seseorang yang telah memiliki keinginan yang sangat serta dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perzinahan apabila tidak segera menikah.
- Makruh, yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah.
- Haram, yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti untuk menyakiti istrinya, keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.
Hikmah Pernikahan
- Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat merugikan.
- Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
- Memelihara kesucian diri
- Melaksanakan tuntutan syariat
- Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
- Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak
- Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
- Dapat mengeratkan silaturahim
Pemilihan calon
Islam mensyaratkan beberapa ciri bagi calon suami dan calon isteri yang dituntut dalam Islam. Namun, ini hanyalah panduan dan tidak ada paksaan untuk mengikuti panduan-panduan ini.
Ciri-ciri bakal suami
Sekadar gambar hiasan: Sebuah acara pernikahan di Indonesian dan diadakan dengan budaya Jawa
- beriman & bertaqwa kepada Allah s.w.t
- bertanggungjawab terhadap semua benda
- memiliki akhlak-akhlak yang terpuji
- berilmu agama agar dapat membimbing calon isteri dan anak-anak ke jalan yang benar
- tidak berpenyakit yang berat seperti gila, AIDS dan sebagainya
- rajin bekerja untuk kebaikan rumah tangga seperti mencari rezeki yang halal untuk kebahagiaan keluarga.
Penyebab haramnya sebuah pernikahan
- Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan karena keturunannya (haram selamanya) serta dijelaskan dalam surah an-Nisa: Ayat 23 yang berbunyi, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak saudara perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi saudara perempuan.”:
- Ibu
- Nenek dari ibu maupun bapak
- Anak perempuan & keturunannya
- Saudara perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu
- Anak perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, yaitu semua anak saudara perempuan
Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh susuan ialah:
- Ibu susuan
- Nenek dari saudara ibu susuan
- Saudara perempuan susuan
- Anak perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan
- Sepupu dari ibu susuan atau bapak susuan
Perempuan muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah:
- Ibu mertua
- Ibu tiri
- Nenek tiri
- Menantu perempuan
- Anak tiri perempuan dan keturunannya
- Adik ipar perempuan dan keturunannya
- Sepupu dari saudara istri
- Anak saudara perempuan dari istri dan keturunannya
Peminangan
Pertunangan atau bertunang merupakan suatu ikatan janji pihak laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan pernikahan mengikuti hari yang dipersetujui oleh kedua pihak. Meminang merupakan adat kebiasaan masyarakat Melayu yang telah dihalalkan oleh Islam. Peminangan juga merupakan awal proses pernikahan. Hukum peminangan adalah harus dan hendaknya bukan dari istri orang, bukan saudara sendiri, tidak dalam iddah, dan bukan tunangan orang. Pemberian seperti cincin kepada wanita semasa peminangan merupakan tanda ikatan pertunangan. Apabila terjadi ingkar janji yang disebabkan oleh sang laki-laki, pemberian tidak perlu dikembalikan dan jika disebabkan oleh wanita, maka hendaknya dikembalikan, namun persetujuan hendaknya dibuat semasa peminangan dilakukan. Melihat calon suami dan calon istri adalah sunat, karena tidak mau penyesalan terjadi setelah berumahtangga. Anggota yang diperbolehkan untuk dilihat untuk seorang wanita ialah wajah dan kedua tangannya saja.
Hadist Rasullullah mengenai kebenaran untuk melihat tunangan dan meminang:
"Abu Hurairah RA berkata,sabda Rasullullah SAW kepada seorang laki-laki yang hendak menikah dengan seorang perempuan: "Apakah kamu telah melihatnya?jawabnya tidak(kata lelaki itu kepada Rasullullah).Pergilah untuk melihatnya supaya pernikahan kamu terjamin kekekalan." (Hadis Riwayat Tarmizi dan Nasai)
Hadis Rasullullah mengenai larangan meminang wanita yang telah bertunangan:
"Daripada Ibnu Umar RA bahawa Rasullullah SAW telah bersabda: "Kamu tidak boleh meminang tunangan saudara kamu sehingga pada akhirnya dia membuat ketetapan untuk memutuskannya". (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim(Asy-Syaikhan)
Nikah
Rukun nikah
- Pengantin laki-laki
- Pengantin perempuan
- Wali
- Dua orang saksi laki-laki
- Mahar
- Ijab dan kabul (akad nikah)
Syarat calon suami
- Islam
- Laki-laki yang tertentu
- Bukan lelaki muhrim dengan calon istri
- Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
- Bukan dalam ihram haji atau umroh
- Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
- Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
- Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri
Syarat bakal istri
- Islam
- Perempuan yang tertentu
- Bukan perempuan muhrim dengan calon suami
- Bukan seorang banci
- Akil Baligh
- Bukan dalam ihram haji atau umroh
- Tidak dalam iddah
- Bukan istri orang
Syarat wali
- Islam, bukan kafir dan murtad
- Lelaki dan bukannya perempuan
- Telah pubertas
- Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
- Bukan dalam ihram haji atau umroh
- Tidak fasik
- Tidak cacat akal pikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya
- Merdeka
- Tidak dibatasi kebebasannya ketimbang membelanjakan hartanya
Sebaiknya calon istri perlu memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Jika syarat-syarat wali terpenuhi seperti di atas maka sahlah sebuah pernikahan itu.Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yag wajib seperti ini.Jika tidak, kita hanya akan dianggap hidup dalam berzinahan selamanya.
Jenis-jenis wali
- Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan)
- Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali
- Wali ab’ad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali ab’ad ini akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya mengikut susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
- Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu
Syarat-syarat saksi
- Sekurang-kurangya dua orang
- Islam
- Berakal
- Telah pubertas
- Laki-laki
- Memahami isi lafal ijab dan qobul
- Dapat mendengar, melihat dan berbicara
- Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu banyak melakukan dosa-dosa kecil)
- Merdeka
Syarat ijab
- Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
- Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
- Diucapkan oleh wali atau wakilnya
- Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(nikah kontrak atau pernikahan (ikatan suami istri) yang sah dalam tempo tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)
- Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)
Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada calon suami:"Aku nikahkan Anda dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai".
Syarat qobul
- Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
- Tidak ada perkataan sindiran
- Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
- Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
- Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)
- Menyebut nama calon istri
- Tidak ditambahkan dengan perkataan lain
Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):"Aku terima nikahnya dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai istriku".
Setelah qobul dilafalkan Wali/wakil Wali akan mendapatkan kesaksian dari para hadirin khususnya dari dua orang saksi pernikahan dengan cara meminta saksi mengatakan lafal "SAH" atau perkataan lain yang sama maksudya dengan perkataan itu.
Selanjutnya Wali/wakil Wali akan membaca doa selamat agar pernikahan suami istri itu kekal dan bahagia sepanjang kehidupan mereka serta doa itu akan diAminkan oleh para hadirin
Bersamaan itu pula, mas kawin/mahar akan diserahkan kepada pihak istri dan selanjutnya berupa cincin akan dipakaikan kepada jari cincin istri oleh suami sebagai tanda dimulainya ikatan kekeluargaan atau simbol pertalian kebahagian suami istri.Aktivitas ini diteruskan dengan suami mencium istri.Aktivitas ini disebut sebagai "Pembatalan Wudhu".Ini karena sebelum akad nikah dijalankan suami dan isteri itu diminta untuk berwudhu terlebih dahulu.
Suami istri juga diminta untuk salat sunat nikah sebagai tanda syukur setelah pernikahan berlangsung. Pernikahan Islam yang memang amat mudah karena ia tidak perlu mengambil masa yang lama dan memerlukan banyak aset-aset pernikahan disamping mas kawin,hantaran atau majelis umum (walimatul urus)yang tidak perlu dibebankan atau dibuang.
Wakil Wali/ Qadi
Wakil wali/Qadi adalah orang yang dipertanggungjawabkan oleh institusi Masjid atau jabatan/pusat Islam untuk menerima tuntutan para Wali untuk menikahkan/mengahwinkan bakal istri dengan bakal suami.Segala urusan pernikahan,penyediaan aset pernikahan seperti mas kawin,barangan hantaran(hadiah),penyedian tempat pernikahan,jamuan makan kepada para hadirin dan lainnya adalah tanggungjawab pihak suami istri itu. Qadi hanya perlu memastikan aset-aset itu telah disediakan supaya urusan pernikahan berjalan lancar.Disamping tanggungjawabnya menikahi suami istri berjalan dengan sempurna,Qadi perlu menyempurnakan dokumen-dokumen berkaitan pernikahan seperti sertifikat pernikahan dan pengesahan suami istri di pihak tertinggi seperti mentri agama dan administratif negara.Untuk memastikan status resmi suami isteri itu sentiasa sulit dan terpelihara.Qadi selalunya dilantik dari kalangan orang-orang alim(yang mempunyai pengetahuan dalam agama Islam dengan luas) seperti Ustaz,Muallim,Mufti,Sheikh ulIslam dan sebagainya.Qadi juga mesti merupakan seorang laki-laki Islam yang sudah merdeka dan telah pubertas.
Hukum Pernikahan Beda Agama Dalam Islam
Pernikahan merupakan salah satu jenis ibadah dalam Islam. Setiap manusia yang telah dewasa, dan sehat jasmani rohani pasti membutuhkan teman hidup. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologisnya, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang diajak bekerja sama demi mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Menurut bahasa, nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah, nikah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan serta menghalalkan hubungan tubuh antara keduanya atas dasar sukarela dan persetujuan bersama demi mewujudkan keluarga bahagia yang diridhai oleh Allah SWT.
Hukum Pernikahan Dalam Islam
Menurut sebagian besar Ulama’, hukum asal menikah adalah mubah, yang artinya boleh dikerjakan dan boleh tidak. Apabila dikerjakan tidak mendapatkan pahala, dan jika tidak dikerjakan tidak mendapatkan dosa. Namun menurut saya pribadi karena Nabiullah Muhammad SAW melakukannya, itu dapat diartikan juga bahwa pernikahan itu sunnah berdasarkan perbuatan yang pernah dilakukan oleh Beliau.
Akan tetapi hukum pernikahan dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh bahkan haram, tergantung kondisi orang yang akan menikah tersebut.
Pernikahan Yang Dihukumi Sunnah
Hukum menikah akan berubah menjadi sunnah apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan mampu menahan perbuatan zina walaupun dia tidak segera menikah. Sebagaimana sabda Rasullullah SAW :
“Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih dapat memelihara kelamin (kehormatan); dan barang siapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi penjaga baginya.” (HR. Bukhari Muslim)
Pernikahan Yang Dihukumi Wajib
Hukum menikah akan berubah menjadi wajib apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut ingin menikah, mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan ia khawatir apabila ia tidak segera menikah ia khawatir akan berbuat zina. Maka wajib baginya untuk segera menikah
Pernikahan Yang Dihukumi Makruh
Hukum menikah akan berubah menjadi makruh apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut belum mampu dalam salah satu hal jasmani, rohani, mental maupun meteriil dalam menafkahi keluarganya kelak
Pernikahan Yang Dihukumi Haram
Hukum menikah akan berubah menjadi haram apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut bermaksud untuk menyakiti salah satu pihak dalam pernikahan tersebut, baik menyakiti jasmani, rohani maupun menyakiti secara materiil.
Pembagian Pernikahan Beda Agama Dalam Islam
Didalam kehidupan kita saat ini pernikahan antara dua orang yang se-agama merupakan hal yang biasa dan memang itu yang dianjurkan dalam agama kita. Tetapi dengan mengatasnamakan cinta, saat ini lazim (namun belum tentu diperbolehkan agama) dilakukan pernikahan beda agama atau nikah campur. Hal ini sebenarnya sudah diatur dengan secara baik di dalam agama kita, agama Islam.
Secara umum pernikahan lintas agama dalam Islam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Pernikahan antara pria muslim dengan wanita non-muslim
2. Pernikahan antara pria non-muslim dengan wanita muslimah
Namun sebelum kita membahas tentang pernikahan tersebut diatas, sebaiknya kita perlu mengetahui tentang pengertian non-muslim di dalam Islam. Golongan non-muslim sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
Golongan Orang Musyrik
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman 282 karya As Syech Muhammad Ali As Shobuni, orang musyrik ialah orang-orang yang telah berani menyekutukan ALLAH SWT dengan mahluk-NYA (penyembah patung, berhala atau semacamnya).
Beberapa contoh golongan orang musyrik antara lain Majusi yang menyembah api atau matahari, Shabi’in, Musyrikin, dan beberapa agama di Indonesia yang menyembah patung, berhala atau sejenisnya
Golongan Ahli Kitab
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman As Syech Muhammad Ali As Shobuni, Ahli Kitab adalah mereka yang berpegang teguh pada Kitab Taurat yaitu agama Nabi Musa As. atau mereka yanga berpegang teguh pada Kitab Injil yaitu agama Nabi Isa As. Atau banyak pula yang menyebut sebagai agama samawi atau agama yang diturunkan langsung dari langit yaitu Yahudi dan Nasrani.
Mengenai istilah Ahli Kitab ini, terdapat perbedaan pendapat diantara kalangan Ulama’. Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa mereka semua kaum Nasrani termasuk yang tinggal di Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah mereka yang nasabnya (menurut silsilah sejak nenek moyangnya dahulu) ketika diturunkan sudah memeluk agama Nasrani. Jadi kaum Nasrani di Indonesia, berdasarkan pendapat sebagian Ulama’ tidak termasuk Ahli Kitab.
1. Pernikahan Antara Pria Muslim Dengan Wanita Non-Muslim
Didalam Islam, pernikahan antara antara pria muslim dengan wanita non-muslim Ahli Kitab itu, menurut pendapat sebagian Ulama’ diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada Firman ALLAH SWT dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya
“(Dan dihalalkan menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dan dari kalangan orang-orang yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dan dari kalangan Ahli Kitab sebelum kamu ”.
Namun ada beberapa syarat yang diajukan apabila akan melaksanakan hal tersebut, yaitu :
Jelas Nasabnya
Menurut silsilah atau menurut garis keturunannya sejak nenek moyangnya adalah Ahli Kitab, jadi seperti kesimpulan para Ulama’ di atas, sebagian besar kaum Nasrani di Indonesia bukan merupakan golongan Ahli Kitab, seperti halnya juga kaum Tionghoa yang beragama Nasrani di Indonesia.
Benar-benar Berpegang Teguh Pada Kitab Taurat dan Kitab Injil
Apabila memang apabila mereka berpegang teguh kepada Kitab Taurat dan atau Injil (yang benar-benar asli) pasti mereka pada akhirnya akan masuk Islam, karena sebenarnya pada Kitab Taurat dan Injil yang asli telah disebutkan bahwa akan datang seorang Nabi setelah Nabi Musa As dan Nabi Isa As, yaitu Nabiullah Muhammad SAW. Dan apabila mereka mengimani akan adanya Nabiullah Muhammad SAW, pasti mereka akan masuk Islam
Wanita Ahli Kitab tersebut nantinya mampu menjaga anak-anaknya kelak dari bahaya fitnah
Ada beberapa Hadits Riwayat Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Sahabat Thalhah, Sahabat Hudzaifah, Sahabat Salman, Sahabat Jabir dan beberapa Sahabat lainnya, semua memperbolehkan pria muslim menikahi wanita Ahli Kitab. Sahabat Umar bin Khattab pernah berkata
“Pria Muslim diperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab dan tidak diperbolehkan pria Ahli Kitab menikah dengan wanita muslimah”.
Bahkan Sahabat Hudzaifah dan Sahabat Thalhah pernah menikah dengan wanita Ahli Kitab tetapi akhirnya wanita tersebut masuk Islam. Dengan demikian, keputusan untuk memperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab sudah merupakan Ijma’ (artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.) para Sahabat. Ulama’ besar Ibnu Al-Mundzir mengatakan bahwa jika ada Ulama’ Salaf yang mengharamkan pernikahan tersebut diatas, maka riwayat tersebut dinilai tidak Shahih
Demikian pula Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 per-tanggal 9-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M (disini) tentang haramnya pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Meskipun fatwa itu diusung dengan merujuk pada beberapa dalil naqli, tetap saja menghapus kebolehan pria muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 5 tersebut diatas. Dan rupanya fatwa itu dikeluarkan karena didorong oleh keinsafan akan adanya persaingan antara agama. Para Ulama’ menganggap bahwa persaingan tersebut telah mencapai titik rawan bagi kepentingan dan pertumbuhan masyarakat muslim
Namun ada pula Ulama’ yang secara tegas mengharamkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab. Para Ulama’ ini mendasarkan pendapatnya pada Firman ALLAH Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 221 yang berarti
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang muslim itu lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman . sesungguhnya budak mukmin itu lebih baik daripada musyrik, walaupun mereka menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan ALLAH mengajak ke surga dan ampunan dengan ijinNYA. Dan ALLAH menerangkan ayat-ayatNYA (perintah-perintahNYA) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”
Dan juga Al-Quran Surat Al-Mumtahanah ayat 10 yang berarti
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. ALLAH mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami) mereka orang-orang kafir. Mereka tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayarkan. Demikianlah hukum ALLAH yang ditetapkanNYA diantara kamu, dan ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Disamping itu, mereka juga berpegangan kepada perkataan Sahabat Abdullah bin Umar yang berarti
“tiada kemusyrikan yang paling besar daripada wanita yang meyakini Isa bin Maryam sebagai tuhannya”.
Dalam Kitab Al-Mughni juz 9 halaman 545 karya Imam Ibnu Qudamah, Ibnu Abbas pernah menyatakan, hukum pernikahan dalam QS. Al-Baqarah ayat 221 dan QS. Al-Mumtahanah ayat 10 diatas telah dihapus (mansukh) oleh QS. Al-Maidah ayat 5. Karenanya yang berlaku adalah hukum dibolehkannya pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab
Sedangkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita musyrikah, menurut kesepakatan para Ulama’ tetap diharamkan, apapun alasannya, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah
2. Pernikahan Antara Pria Non-Muslim Dengan Wanita Muslimah
Pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim, menurut kalangan Ulama’ tetap diharamkan, baik menikah dengan pria Ahli Kitab maupun dengan seorang pria musyrik. Hal ini dikhawatirkan wanita yang telah menikah dengan pria non-muslim tidak dapat menahan godaan yang akan datang kepadanya. Seperti halnya wanita tersebut tidak dapat menolak permintaan sang suami yang mungkin bertentangang dengan syariat Islam, atau wanita itu tidak dapat menahan godaan yang datang dari lingkungan suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung lebih dominan
Dalil naqli pernyataan tentang haramnya pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim adalah Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5, yang menyatakan bahwa ALLAH SWT hanya memperbolehkan pernikahan seorang pria muslim dengan wanita Ahli Kitab, tidak sebaliknya. Seandainya pernikahan ini diperbolehkan, maka ALLAH SWT pasti akan menegaskannya di dalam Al-Quran. Karenanya , berdasarkan mahfum al-mukhalafah, secara implisit ALLAH SWT melarang pernikahan tersebut.
Dalam Kitab tafsir Al-Tabati karya Imam Ibnu Jarir At-Tabari, menuturkan Hadits Riwayat Jabir bin Abdillah bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda
“Kami (kaum muslim) menikahi wanita Ahli Kitab, tetapi mereka (pria Ahli Kitab) tidak boleh menikahi wanita kami”
Menurut Imam Ibnu Jarir At-Tabari, meskipun sanad-sanad Hadits tersebut sedikit bermasalah, maknanya telah disepakati oleh kaum muslimin, maka ke-hujjah-annya dapat dipertanggungjawabkan.
Kesimpulan
Sebenarnya pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab diperbolehkan dalam Islam, tetapi karena saat ini sangat sulit sekali ditemui wanita Ahli Kitab yang benar-benar “Ahli Kitab”, maka saya dapat simpulkan bahwa pernikahan beda agama yang ada saat ini tidak dapat dikatakan sah karena hampir tidak ada wanita Ahli Kitab yang benar-benar berpegang teguh kepada Kitab Taurat dan atau Kitab Injil. Karena kedua Kitab suci tersebut yang ada saat ini bukan Kitab Taurat dan Injil yang asli. Sedangkan bagi wanita muslimah yang menikah dengan pria non-muslim, baik pria musyrik maupun pria Ahli Kitab tetap dihukumi haram
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda
“Wanita itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya; karena keturunannya; karena kecantikannya dan karena baik kualitas agamanya. Maka pilihlah wanita yang baik kualitas agamanya, niscaya kalian akan beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka bagi kaum muslimin dan muslimah, alasan pernikahan beda agama dengan alasan cinta, kesamaan hak, kebersamaan, toleransi atau apapun alasannya tidak dapat dibenarkan.
Perlu pula ditegaskan bahwa masalah pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi boleh dilakukan, namun bukan anjuran, apalagi perintah. Karenanya pernikahan yang paling ideal dan yang bisa membawa kita selamat di dunia maupun akhirat serta membawa keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah adalah pernikahan dengan orang seagama yaitu Islam.
Dampak Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Indonesia
Akhirnya keluarlah Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 menjadi hukum positif yang bersifat unikatif bagi seluruh umat Islam di Indonesia dan menjadi pedoman para hakim di lembaga peradilan agama dalam menjalankan tugas mengadili perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 40 ayat (c): “Dilarang perkawinan antara seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria tidak beragama Islam”.
Larangan perkawinan tersebut oleh Kompilasi Hukum Islam mempunyai alasan yang cukup kuat, yakni:
Satu : Dari segi hukum positif bisa dikemukakan dasar hukumnya antara lain, ialah pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan "tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu".
Dua : Dari segi hukum Islam dapat disebutkan dalil-dalilnya sebagai berikut:
a. سَدُّ الذَّرِيْعَةِ artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan antara orang Islam dengan non Islam.
b. Kaidah Fiqh دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ artinya, mencegah/menghindari mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal ini berupa kemurtadan dan broken home itu harus didahulukan/diutamakan daripada upaya mencari/menariknya ke dalam Islam (Islamisasi) suami/istri, anak-anak keturunannya nanti dan keluarga besar dari masing-masing suami istri yang berbeda agama itu.
c. Pada prinspnya agama Islam melarang (haram) perkawinan antara seorang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam (perhatikan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221), sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan seorang wanita dari Ahlul Kitab (Nashrani/Yahudi) berdasarkan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 5 itu hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang tinggi (pindah agama atau cerai). Karena itu pemerintah berhak membuat peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang beragama Islam (pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam (pria/wanita) apapun agamanya, sedangkan umat Islam Indonesia berkewajiban mentaati larangan pemerintah itu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 50 ayat (c) dan pasal 44.
Berangkat dari ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Maidah ayat 5.
Dampak Lainya :
Perkawinan tidak akan langgeng dan tentram karena tidak bisa menyatukan pandangan tentang segala sesuatu. Jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya atau tingkat pendidikan saja dapat mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Akan menimbulkan masalah dalam pendidikan agama anak. Anak diberikan kebebasan memilih agama, padahal dia bingung untuk mengikuti ayahnya atau ibunya.
Meskipun ayah atau ibu telah berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga aqidah anaknya, tetap saja anak akan mengalami distorsi aqidah. Betapa hancurnya hati ayah atau ibu yang muslim karena tidak bisa menjaga fitrah anak-anaknya. Padahal jalinan cinta kepada anak lebih kuat daripada kepada istri atau suami non Muslim (atau bahkan masih kafir).
Perbedaan agama akan memicu konflik rumah tangga, sehingga tidak mungkin terbentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Bahkan keluarga besar dari kedua belah pihak pun akan menentang.
Kehidupan rumah tangga pasangan beda agama membuat batin tersiksa dan tidak akan pernah tenang selamanya.
Jika akhirnya terjadi perceraian, maka anak-anak akan mengalami kehidupan yang timpang.
Selanjutnya Yusuf Qardlawi mengingatkan banyaknya madharat yang mungkin terjadi karena perkawinan dengan wanita non Muslim :
1. Akan banyak terjadi perkawinan dengan wanita-wanita non Muslim. Hal ini akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan pria Muslim yang belum kawin.
2. Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya, demikian pula anak-anaknya. Bila terjadi, maka “fitnah” benar-benar menjadi kenyataan.
3. Perkawinan dengan non Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami-istri dan pendidikan anak-anak. Lebih-lebih jika pria Muslim dan kitabiyah beda tanah air, bahasa, kebudayaan dan tradisi, misalnya Muslim timur kawin dengan kitabiyah Eropa atau Amerika.
Dari segi agama, lemahnya posisi pria Muslim tersebut sangat berbahaya bila kawin dengan kitabiyah. Karena itu kawin dengan kitabiyah harus dijauhi. Pada masa Umar bin Khattab kaum Muslimin sangat kuat. Umar melarang kaum Muslimin kawin dengan kitabiyah dan para sahabat yang beristri kitabiyah ia suruh untuk menceraikannya. Jika dalam posisi kaum Muslimin kuat saja, dilarang kawin dengan kitabiyah, apalagi sesudah kaum Muslimin lemah, seperti pada masa kini, misalnya di Indonesia.
Kesimpulan
Sebenarnya pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab diperbolehkan dalam Islam, tetapi karena saat ini sangat sulit sekali ditemui wanita Ahli Kitab yang benar-benar “Ahli Kitab”, maka saya dapat simpulkan bahwa pernikahan beda agama yang ada saat ini tidak dapat dikatakan sah karena hampir tidak ada wanita Ahli Kitab yang benar-benar berpegang teguh kepada Kitab Taurat dan atau Kitab Injil. Karena kedua Kitab suci tersebut yang ada saat ini bukan Kitab Taurat dan Injil yang asli. Sedangkan pernikahan wanita muslimah yang menikah dengan pria non-muslim, baik pria musyrik maupun pria Ahli Kitab tetap dihukumi haram
Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1. meminta penetapan pengadilan,
2. perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,
3. penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
4. menikah di luar negeri.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda
“Wanita itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya; karena keturunannya; karena kecantikannya dan karena baik kualitas agamanya. Maka pilihlah wanita yang baik kualitas agamanya, niscaya kalian akan beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka bagi kaum muslimin dan muslimah, alasan pernikahan beda agama dengan alasan cinta, kesamaan hak, kebersamaan, toleransi atau apapun alasannya TIDAK DAPAT DIBENARKAN.
Perlu pula ditegaskan bahwa masalah pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi boleh dilakukan, namun bukan anjuran, apalagi perintah. Karenanya pernikahan yang paling ideal dan yang bisa membawa kita selamat di dunia maupun akhirat serta membawa keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah adalah pernikahan dengan orang seagama yaitu Islam
Saran :
Jangan melayani godaan lawan jenis yang tidak sesuai dengan syariat, maka kita akan memperoleh pasangan yang berbuat sesuai dengan syariat.
Ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Tunjukkan jati diri kita dengan keterikatan terhadap syariat Islam pada setiap perkataan dan perbuatan. Termasuk berbusana muslim dengan sempurna.
Perdalam kajian Al Qur’an, sehingga kita lebih mengenal Allah dan Islam, memperkuat keimanan serta mendapat petunjukNya.
Perkuat kepribadian kita dengan banyak membaca kajian keislaman dan perbanyak amalan sunnah: sholat sunnah, puasa sunnah, sebagai benteng untuk menjaga aqidah dan syariat Islam.
Jangan tertipu dengan virus pluralisme, yang menyatakan bahwa semua agama benar, semua agama sama, hanya istilahnya saja yang berbeda. Hanya Islam yang diterima Allah Swt (QS Ali Imron: 19).
Ingatlah Allah Swt setiap waktu agar timbul ketenangan dan kekuatan untuk menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya (QS. Ar-Ra’d: 28)’.
Pilih teman yang bisa meningkatkan keimanan dan ketaatan kita, jauhi teman yang melemahkan. Teman yang sholeh akan memberi teladan yang baik untuk dunia dan akhirat kita. Dia akan mengoreksi jika kita melakukan kesalahan.
Ikuti kajian-kajian ke-Islaman, perjuangan membela Islam, update perkembangan kaum muslimin sedunia, cari info perkembangan musuh-musuh Islam dalam berbagai modus operandinya untuk menyesatkan umat Islam.
Ikuti wadah komunitas aktivis Islam yang sibuk memperdalam ke-Islaman dan memperjuangkan Islam.
Ikuti berbagai media massa yang memperjuangkan aspirasi umat Islam, jangan hanya mengikuti media massa nasional maupun internasional yang dikuasai kaum kafir dan menyudutkan Islam.
Orangtua harus bersikap tegas terhadap anaknya dalam masalah pergaulan dengan lawan jenis. Segera luruskan jika terjadi sedikit saja penyimpangan. Orangtua bertanggung jawab menjaga fitrah anak.
Suami tidak berhak melarang apapun yang si Istri lakukan (sebagai Muslimah) yang berkaitan dengan hukum agama Islam, Seorang Suami harus membenarkan Islam (agama yang di yakini Istri), dan Suami harus menghormati dan menghargai Istri yang benar benar ingin menjunjung tinggi dan mematuhi ketetapan dan ketentuan ALLAH, Al-qur'an dan Hadis Rasullullah sebagai muslimah yang benar benar harus takwa. Suami tidak berhak menyuruh, memaksakan perintah agama yang dia yakini untuk di yakini si Istri, jalani dan di patuhi si Istri
Wallahu ‘alam bisshowaab
terima kasih artikelnya sangat bermanfaat.
BalasHapussouvenir pernikahan murah blitar