Minggu, 08 Juni 2014

Kepemimpinan dalam Perspektif Islam


Kepemimpinan adalah unsur yang tidak bisa dihindari dalam hidup ini. Sudah merupakan fitrah manusia untuk selalu membentuk sebuah komunitas. Dan dalam sebuah komunitas selalu dibutuhkan seorang pemimpin. Pemimpin adalah orang yang dijadikan rujukan ketika komunitas tersebut. Pemimpin adalah orang yang memberikan visi dan tujuan.

Dalam suatu kelompok katakanlah organisasi, bila tidak mempunyai tujuan sama saja dengan membubarkan organsasi tersebut. Hal terebut bahkan berlangsung sampai kedalam tataran Negara. Dan hanya pemimpinlah yang mampu mengatur dan mengarahkan semua itu. Dan sejarah teori kepemimpinan menjelaskan bahwa kepemimpinan yang dicontohkan islam adalah model terbaik. Model kepemimpinan yang disebut sebagai Prophetic leadership (Pemimpin Berjiwa Nabi) yang contoh nyatanya adalah orang teragung sepanjang sejarah kemanusiaan yaitu Rasullullah SAW.

A. Latar Belakang
Bila kita cermati kehidupan Rasulullah kita akan menemukan banyak sekali keistimewaan dan pelajaran yang seakan-akan tidak pernah habis. Dalam hal kepemimpinan lihatlah bagaimana Rasullah membangun kepercayaan dan kehormatan dari kaumnya. Sebelum menjadi nabi, Rasullullah sudah mempunyai gelar al-amin yang artinya dapat dipercaya. Sebuah gelar yang tidak bisa dikatakan biasa karena menununjukkan kredibilitas beliau di mata kaumnya.

Kemudian lihatlah bagaimana daya kepemimpinan beliau ketika menyelesaikan kasus pengembalian Hajar Aswad ke dalam ka’bah setelah direnovasi karena banjir. Semua orang bergembira karena beliaulah yang terpilih menjadi hakim pada perkara tersebut. Dan cara penyelesaiannya pun sungguh cerdas dan menyenangkan semua pihak.

Setelah menjadi pemimpin tertinggi Negara Islam madinah pun Rasullullah tetap menunjukkan daya kepemimpinan yang luar biasa. Berkali-kali beliau memimpin sendiri pasukan perang untuk menghadapi orang-orang kafir, menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di tubuh umat yang semakin kompleks, menjadi pemimpin bagi beragam suku arab dan agama yang ada di madinah kala itu. Namun, di tengah-tengah kesibukannya dalam mengurus Negara, beliau masih sempat mencandai istri, bahkan menjahit sendiri terompahnya yang putus dan gamisnya yang robek. Dan semua kualitas tersebut menjadikan Rasullullah sebagai pemimpin terhebat sepanjang sejarah.

Dalam waktu singkat, 23 tahun kurang lebih, risalahnya telah menembus batas-batas akal manusia. Barisan-barisan inti yang kokoh siap melanjutkan risalah yang dibawanya. Pengikut ajarannya pun semakin bertambah banyak. Dalam waktu sekejap sejarah mencatat bahwa ajaran islam yang dibawanya telah meluas dari jazirah kecil tak ternama menjadi sepertiga dunia yang makmur dan digdaya.

Bagaimana Rasulullah menjadi dapat menjadi pemimpin yang demikian hebatnya? Jawabannya hanya satu, karena Rasulullah memimpin dengan kekuatan spiritualitasnya, bukan karena posisi, jabatan, atau sesuatu yang dibeli dengan uang dan kekuasaan. Yang ditaklukan oleh Rasulullah bukan posisi atau jabatan tetapi hati para pengikutnya.

Dalam teori kepemimpinan modern, model pemimpin seperti ini dimanakan level 5th leader

Level 5th leader adalah level pemimpin yang telah melewati level-level sebelumnya. Pada tahap ini seorang menjadi pemimpin karena kekuatan personalnya dan visi serta cita-citanya. Bandingkan dengan orang yang memimpin dengan mengandalkan posisi dan jabatannya atau ia menjadi pemimpin karena “membeli” kepemimpinan itu dengan harga yang mahal. Mungkin hal inilah yang menyebabkan para sahabat begitu menghormati beliau. Bahkan musuh beliau gentar dengan berkata bahwa tidak ada pemimpin yang diperlakukan oleh orang yang dipimpinnya sebagaimana Rasullullah diperlakukan oleh para sahabatnya.

Hal ini terlihat pada sirah ketika Rasulullah akan berangkat menunaikan ibadah haji ke mekkah setelah perang khandaq. Jawaban Abu Bakar yang kasar ketika Urwah bin Mas’ud bermaksud membuat ragu Rasulullah terkait kesetiaan umat islam. Bagaimana mungkin Abu bakar yang sedemikian lembut mampu berkata “Isaplah batu berhalamu, si Latta, apakah kau kira kami akan berlari meninggalkan ia?”, atau ketika al-Mughirah bin Syubhah berkata dengan lantang sambil menghunuskan pedang “jauhkan tanganmu dari jenggot Rasulullah sebelum kutebas tangan itu”. Kepemimpinan model apakah ini, sehinga mampu menghasilkan pengikut yang sedemikian rupa? Sekali lagi, Rasulullah menaklukan hati para sahabatnya bukan membeli apalagi meminta jabatan kepemimpinan tersebut. Inilah contoh konkret dari penerapan Prophetic leader dalam sejarah umat manusia.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mampukah kita menjadi pemimpin dengan kelas Prophetic leader? Hal pertama yang harus kita sadari bahwa kepemimpinan lahir karena dibentuk. Ia tidak dilahirkan dalam satu malam atau dari rahim istri pemimpin besar. Ia lahir dari perjuangan dan penempaan yang tiada henti. Seperti Rasulullah yang ditempa langsung oleh Allah. Kemudian, sadarilah menjadi pemimpin adalah sebuah pilihan. Transformation in our world never be initiated by many people, it’s always originated by few selected people. Orang-orang pilihanlah yang akhirnya mampu membuat perubahan besar. Dan pilihan selalu mengandung konsekuensi.

Menjadi pemimpin berarti bersiap untuk menjadi pembelajar. Mungkin kita harus belajar memimpin dengan menggunakan posisi atau jabatan tertentu. Tidak masalah, teruslah belajar dan jadilah pemimpin yang dapat merangkul semua elemen kerja. Buktikanlah hasil dari kepemimpinan kita dan pupuk selalu kredibiltas pribadi hingga akhirnya orang mengikuti kita karena raihan atau prestasi bagus yang telah kita capai. Kemudian, teruslah belajar, masukkanlah nilai-nilai spiritual dalam kepemimpinan kita, dan akhirnya buatlah orang lain menjadikanmu pemimpin mereka karena semua kualitas pribadi kita dan daya pikat spiritulitas kita pada mereka. Itulah Prophetic Leader yang bukan hanya memenangkan posisi sebagai pemimpin, tetapi juga memenangkan hati para pengikutnya.

Berdasarkan uraian di atas maka disadari atau pun tidak kepemimpinan adalah suatu fitrah, dan juga keharusan yang mesti kita laksanakan sepenuhnya. Dengan ini maka perlu kiranya kita mengetahui apa itu Kepemimpinan, terutama Kepemimpin berdasarkan Dienul Islam. Mudah-mudahan makalah ini dapat menjadi pengantar untuk mengetahui kepemimpinan ini dengan lebih lanjut. Amiin.

B. Perumusan Masalah

Dari permasalahan di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah :

1. Apa pengertian Kepemimpinan dalam ajaran Islam?
2. Bagaimana konsep Kepemimpinan dalam Islam/ Al-Khilafah?
3. Bagaimana hukum memilih pemimpin?
4. Apa saja sifat-sifat pemimpin yang ideal?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini, diharapkan dapat menjadi pengantar untuk:
Mengetahui pengertian Kepemimpinan dalam ajaran Islam
Mengetahui konsep Kepemimpinan dalam Islam/ Al-Khilafah
Memahami hukum memilih pemimpin
Mengetahui sifat-sifat pemimpin yang ideal

BAB II
KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seseorang sehingga ia memperoleh rasa hormat (respect), pengakuan (recognition), kepercayaan (trust), ketaatan (obedience), dan kesetiaan (loyalty) untuk memimpin kelompoknya dalam kehidupan bersama menuju cita-cita.

Secara sederhana, apabila berkumpul tiga orang atau lebih kemudian salah seorang di antara mereka “mengajak” teman-temannya untuk melakukan sesuatu seperti: nonton film, berman sepek bola, dan lain-lain, orang tersebut telah melakukan “kegiatan memimpin”, karena ada unsur “mengajak” dan mengkoordinasi, ada teman dan ada kegiatan dan sasarannya. Tetapi, dalam merumuskan batasan atau definisi kepemimpinan ternyata bukan merupakan hal yang mudah dan banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang kepemimpinan yang tentu saja menurut sudut pandangnya masing-masing. Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :

1] Koontz & O’donnel, mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya.

2] Wexley & Yuki [1977], kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka.

3] Georger R. Terry, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama.

4] Pendapat lain, kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang. Dari keempat definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sudut pandangan yang dilihat oleh para ahli tersebut adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama.

Definisi lain, para ahli kepemimpinan merumuskan definisi, sebagai berikut: [1] Fiedler [1967], kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan [2] John Pfiffner, kepemimpinan adalah kemampuan mengkoordinasikan dan memotivasi orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan yang di kehendaki. [3] Davis [1977], mendefinisikan kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan penuh semangat . [4] Ott [1996], kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses hubungan antar pribadi yang di dalamnya seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan khususnya perilaku orang lain. [5] Locke et.al. [1991], mendefinisikan kepemimpinan merupakan proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bersama Dari kelima definisi ini, para ahli ada yang meninjau dari sudut pandang dari pola hubungan, kemampuan mengkoordinasi, memotivasi, kemampuan mengajak, membujuk dan mempengaruhi orang lain.

Dari definisi-definisi di atas, paling tidak dapat ditarik kesimpulan yang sama, yaitu masalah kepemimpinan adalah masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utama seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja, tetapi lebih dari itu yaitu pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka mampu memberikan kontribusi yang positif dalam usaha mencapai tujuan.

B. Arti Kepemimpinan Islam
Imamah atau kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan sampai umat manusia atau kelompok. Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya.

Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagian setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia di amanahi Allah untuk menjadi khalifah Allah [wakil Allah] di muka bumi : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [Q.S.al-Baqarah:30],

Kholifah bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Sekaligus sebagai abdullah [hamba Allah] yang senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah. Sabda Rasulullah :

“Setiap kamu adalah pemimpim dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya [responsibelitiy-nya]”. Manusia yang diberi amanah dapat memelihara amanah tersebut dan Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan konsepsional atau potensi [fitrah] :

Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" [Q.S.al-Baqarah:31], serta kehendak bebas untuk menggunakan dan memaksimal potensi yang dimilikinya.

Konsep amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifal fil ardli menempati posisi senteral dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia menuntut terjalinannya hubungan atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi amanah [Allah], yaitu: [1] mengerjakan semua perintah Allah, [2] menjauhi semua larangan-Nya, [3] ridha [ikhlas] menerima semua hukum-hukum atau ketentuan-Nya. Selain hubungan dengan pemberi amanah [Allah], juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan yang diamanahkan kepadanya [Q.S.Ali Imran:112]. Tuntutannya, diperlukan kemampuan memimpin atau mengatur hubungan vertical manusia dengan Sang Pemberi [Allah] amanah dan interaksi horizontal dengan sesamanya.

Jika kita memperhatikan teori-teori tentang fungsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat, maka kita akan hanya menemukan bahwa aspek kepemimpinan itu sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas maupun kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal semata.

Konsep Islam, kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal maupun vertikal. Kemudian, dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan [planning and decision maker], pengorganisasian [organization], kepemimpinan dan motivasi [leading and motivation], pengawasan [controlling] dan lain-lain.

Uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa, kepemimpinan Islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.

C. Teori Kelahiran Pemimpin
Para ahli teori kepemimpinan telah mengemukakan beberapa teori tentang timbulnya Seorang Pemimpin. Dalam hal ini terdapat 3 [tiga] teori yang menonjol yaitu [a] teori genetis, [b] teori sosial, dan [c] teori ekologis[.

a. Teori Genetik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, “pemimpin itu dilahirkan dan bukan dibentuk” [Leaders are born and not made]. Pandangan terori ini bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin karena “keturunan” atau ia telah dilahirkan dengan “membawa bakat” kepemimpinan. Teori keturunan ini, dapat saja terjadi, karena seseorang dilahirkan telah “memiliki potensi” termasuk “memiliki potensi atau bakat” untuk memimpin dan inilah yang disebut dengan faktor “dasar”. Dalam realitas, teori keturunan ini biasanya dapat terjadi di kalangan bangsawan atau keturunan raja-raja, karena orang tuanya menjadi raja maka seorang anak yang lahir dalam keturunan tersebut akan diangkan menjadi raja.

b. Teori Sosial
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang yang menjadi pemimpin dibentuk dan bukan dilahirkan [Leaders are made and not born]. Penganut teori berkeyakinan bahwa semua orang itu sama dan mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Tiap orang mempunyai potensi atau bakat untuk menjadi pemimpin, hanya saja paktor lingkungan atau faktor pendukung yang mengakibatkan potensi tersebut teraktualkan atau tersalurkan dengan baik dan inilah yang disebut dengan faktor “ajar” atau “latihan”.

Pandangan penganut teori ini bahwa, setiap orang dapat dididik, diajar, dan dlatih untuk menjadi pemimpin. Intinya, bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, meskipun dia bukan merupakan atau berasal dari keturunan dari seorang pemimpin atau seorang raja, asalkan dapat dididik, diajar dan dilatih untuk menjadi pemimpin.

c. Teori Ekologik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin yang baik “manakala dilahirkan” telah memiliki bakat kepemimpinan. Kemudian bakat tersebut dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimiliki.

Jadi, inti dari teori ini yaitu seseorang yang akan menjadi pemimpin merupakan perpaduan antara faktor keturunan, bakat dan lungkungan yaitu faktor pendidikan, latihan dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan bakat tersebut dapat teraktualisasikan dengan baik.

Selain ketiga teori tersebut, muncul pula teori keempat yaitu Teori Kontigensi atau Teori Tiga Dimensi. Penganut teori ini berpendapat bahwa, ada tiga faktor yang turut berperan dalam proses perkembangan seseorang menjadi pemimpin atau tidak, yaitu: [1] Bakat kepemimpinan yang dimilikinya. [2] Pengalaman pendidikan, latihan kepemimpinan yang pernah diperolehnya, dan [3] Kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat kepemimpinan tersebut.

Teori ini disebut dengan teori serba kemungkinan dan bukan sesuatu yang pasti, artinya seseorang dapat menjadi pemimpin jika memiliki bakat, lingkungan yang membentuknya, kesempatan dan kepribadian, motivasi dan minat yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin.

Menurut Ordway Tead, bahwa timbulnya seorang pemimpin, karana : [1] Membentuk diri sendiri [self constituded leader, self mademan, born leader] [2] Dipilih oleh golongan, artinya ia menjadi pemimpin karena jasa-jasanya, karena kecakapannya, keberaniannya dan sebagainya terhadap organisasi. [3] Ditunjuk dari atas, artinya ia menjadi pemimpin karena dipercaya dan disetujui oleh pihak atasannya [Imam Mujiono, 2002: 18].

D. Konsep Kepemimpinan dalam Islam/ Al-Khilafah;
Hukum Memilih Pemimpin

Dalam Islam, kepemimpinan sering dikenal dengan perkataan khalifah yang bermakna “wakil”. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [QS.al-Baqarah:30].

Mustafa al-Maraghi, mengatakan khalifah adalah wakil Tuhan di muka bumi [khalifah fil ardli]. Rasyid Ridla al-Manar, menyatakan khalifah adalah sosok manusia yang dibekali kelebihan akal, pikiran dan pengetahuan untuk mengatur. Istilah atau perkataan khalifah ini, mulai popular digunakan setelah Rasulullah saw wafat. Dalam istilah yang lain, kepemimpinan juga terkandung dalam pengertian “Imam”, yang berarti pemuka agam dan pemimpin spritual yang diteladani dan dilaksanakan fatwanya. Ada juga istilah “amir”, pemimpin yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur masyarakat. Dikenal pula istilah “ulil amir” [jamaknya umara] yang disebutkan dalam surat al-Nisa [59] yang bermakna penguasa, pemerintah, ulama, cendekiawan, pemimpin atau tokoh masyarakat yang menjadi tumpuan umat. Dikenal pula istilah wali yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat [55].

Dalam hadis Nabi dikenal istilah ra’in yang juga diartikan pengelolaan dan pemimpin. Istilah-istilah tersebut, memberi pengertian bahwa kepemimpinan adalah kegiatan menuntun, memandu dan menunjukkan jalan menuju tujuan yang diridhai Allah.

Istilah khalifah dan “amir” dalam kontek bahasa Indonesia disebut pemimpin yang selalu berkonotasi pemimpin formal. Apabila, kita merujuk dan mencermati firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 30,

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku akan menciptakan khalifah di bumi. “Meraka bertanya [keheranan], Mengapa Engkau akan menciptakan makhluk yang akan selalu menimbulkan kerusakan dan pertimpahan darah, sementara kami senantiasa bertasbih memuji dan menyucikan Engkau?” Allah berfirman, “Aku Mahatahu segala hal yang tidak kemau ketahui”.

Dalam pengertian ini dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan Islam secara mutlak bersumber dari Allah swt yang telah menjadikan manusia sebagai khalifah fil ardli. Maka dalam kaitan ini, dimensi kontrol tidak terbatas pada interaksi antara yang memimpin [umara] dengan yang dipimpin [umat], tetapi baik pemimpin maupun rakyat [umat] yang dipimpin harus sama-sama mempertanggungjawabkan amanah yang diembannya sebagai seorang khalifah Allah , secara komprehensif.

Dalam sejarah kehidupan manusia sangat banyak pengalaman kepemimpinan yang dapat dipelajarinya. Dalam Hadis Nabi, “setiap kamu adalah pemimpin” dan terlihat dalam pengalaman sehari-hari manusia telah melakukan unsur-unsur kepemimpinan seperti “mempengaruhi, mengajak, memotivasi dan mengkoordinasi” sesama mereka. Pengalaman itu perlu dianalisis untuk mendapatkan pelajaran yang berharga dalam mewujudkan kepemimpinan yang efektif. “Untuk memahami kepemimpinan secara empiris, perlu dipahami terlebih dahulu tinjauan segi terminolgi-nya. Sacara etomologi [asal kata] menurut kamus besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata “pimpin” dengan mendapat awalan “me” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan lain yang disamakan artinya yaitu mengetuai, mengepalai, memandu dan melatih dan dalam bentuk kegiatan, maka si pelaku disebut “pemimpin”. Maka dengan kata lain, pemimpin adalah orang yang memimpin, mengetuai atau mengepalai. Kemudian berkembang pula istilah “kepemimpinan” [dengan tambahan awalan ke] yang menunjukkan pada aspek kepemimpinan”.

Dewan Hisbah PP Persatuan Islam membahas dengan nara sumber Prof. Dr. Maman Abdurrahman, MA tentang al-Khilafah al-Islamiyyah, mendefinisikan secara bahasa diambil dari kha-la-fa yang memiliki 3 makna, yaitu, pertama, an yaji’a syai’un ba’da syai’in yaqumu maqamahu, adanya sesuatu sesudah sesuatu yang bertugas sesuai dengan yang diganti. Kedua, khilaful quddam, kebalikan depan/terdahulu, yakni belakangan/akhir. Ketiga, taghayur, artinya berubah.

Substansi khilafah dan hukum menegakkannya didasarkan pada perintah Allah Swt untuk menegakkan syari’at Islam dalam arti yang seluas luasnya memberikan konsekuensi tersendiri pada penegakkan khilafah ini. Karena sebagaimana diketahui, Syari’at Islam tidak hanya mengatur perso’alan individu semata tapi juga perso’alan keluarga, masyarakat, dan pemerintah/ kenegaraan. Sangat banyak sekali hukum-hukum yang tidak mungkin dilaksanakan kecuali sesudah adanya pemerintah, semisal hudud (hukum pidana), qital (perang), dan lain sebaginya. Kemestian menegakkan hukum-hukum tersebut pada akhirnya mau tidak mau juga menuntut penegakkan adanya pemerintahan.

Maka dari itu, dapat dirumuskan bahwa substansi dari khilafah adalah penegakkan syari’at islam. Oleh karena menegakkan syari’at Islam itu wajib, maka otomatis menegakkan khilafah atau al-imamah al’uzma pun wajib. Tapi tetap, fokus sasarannya pada Syari’at Islam.

Hal ini senada dengan qaidah ushul:

الامر بالشيئ أمر بوسائله

Perintah mengerjakan sesuatu berarti perintah mengerjakan perantara-perantaranya. Ini berarti penyelamatan agama dan umatnya ini harus lewat sebuah jama’ah muslimin dengan ketaatan sepenuhnya kepada imamnya. Dengan kata lain, kepada sebuah pemerintahan kaum muslimin.

Sidang Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam telah menetapkan beberapa putusan terkait masalah di atas:
1. Substansi dari khilafah adalah penegakkan syari’at Islam.
2. Khalifah atau al-imam al-azham adalah pemegang kekuasaan dalam hirasatud din (melindungi agama) wa siyasatu ddunya (mengatur dunia).
3. cara pemilihan khilafah atau al-imam al-azham adalah melalui syuro.
4. sumber hukum dalam system khilafah atau al-imam al-uzhma adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
5. Hukum menegakkan khilafah atau al-imamah al-uzhma adalah wajib.

Hukum Golput

Setahun silam ketika menyongsong Pemilu 2009 banyak pertanyaan tentang bagaimana seharusnya menyikapinya. Karena pada faktanya, kinerja para pemimpin yang akan dipilih masih jauh dari harapan, Partai-partai Islam pun semakin tergerus dengan nilai-nilai sekuler sehingga semakin tidak terlihat keislamannya. Apakah dengan kenyataan seperti ini dibenarkan untuk tidak memilih? Alias golput.

Menjawab pertanyaan di atas, para ulama dari beberapa ormas Islam Indonesia menyampaikan fatwa dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III di Padangpanjang, 26 Januari 2009 M silam. Ketika itu para ulama mengeluarkan seruan:

Pertama, Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat Ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

Kedua, Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan Imaroh dalam kehidupan bersama.

Ketiga, imamah dan imaroh dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.

Keempat, memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam Hukumnya adalah Wajib.

Kelima, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang disebutkan dalam butir4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Bagi para ulama gejala Golput (bersikap tidak memilih) di tengah-tengah umat Islam dikhawatirkan dapat membawa dampak yang negative, yakni tidak tertegaknya imamah-imarah yang merupakan kewajiban umat untuk mewujudkannya.

Apa yang harus dilakukan umat, menurut para ulama adalah memilih pemimpin-pemimpin yang memenuhi criteria beriman dan bertakwa, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah). Jika pemimpin-pemimpin yang memenuhi criteria seperti itu ada, tapi kemudian tidak memilih, maka tentu itu sebuah kesalahan. Atau, jika pemimpin-pemimpin yang seperti itu ada, tapi malah memilih pemimpin yang tidak sesuai dengan criteria di atas, sama juga itu sebuah kesalahan, alias Haram.

E. Sifat-sifat Pemimpin yang Ideal
Tidak diragukan lagi bahwa Muhammad Rasululloh Saw adalah sosok manusia yang paling ideal, sempurna dalam segala hal. Beliau bukan hanya seorang nabi dan rasul pilihan, juga sebagai kepala rumah tangga yang harmonis bagi keluarga-keluarganya, sahabat yang baik bagi sesamanya, guru yang berhasil bagi murid-muridnya, teladan bagi ummatnya, panglima yang berwibawa bagi prajuritnya dan pemimpin yang besar bagi kaumnya. Segala akhlak mulia ada padanya, sehingga Allah sebagai Pencipta pun memujinya,

Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Keberhasilan beliau sebagai Pemimpin, dilandasi sifat-sifat / kriteria-kriteria pemimpin yang ideal:

1) Bertaqwa kepada Allah Swt
Sebagai syarat muthlak sebagai pemimpin. yang telah menjadi karakter kepribadiannya.

2) Amanah
Artinya jujur, tidak pernah berdusta, menepati janji, berani mengatakan yang haq, bertindak adil dan profesional. Sifat ini harus menetap pada seseorang jauh sebelum dia menjadi pemimpin. Sebagaimana diungkapkan dalam hadits:

وعن أبي أمامة قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم : " لا إيمان لمن لا أمانة له ، والذي نفسي بيده لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا " . رواه الطبراني

3) Shiddiq
Membenarkan dan meyakini apa saja yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya sekalipun tidak dapat difahami oleh akal. Tokoh pemimpin berkarakter ini, adalah Abu Bakar Ashiddiq.

Seorang Shidiq sanggup berkata jujur, berani menyampaikan al-haq dengan segala resikonya, walaupun ia harus terusir dari negerinya. Sabda Rasulullah Saw,

عن أبي الدرداء ‏ "‏من فر بدينه من أرض إلى أرض مخافة الفتنة على نفسه ودينه كتب عند الله صديقا فإذا مات قبضه الله ـ عز وجل ـ شهيدا‏" ‏ فيه مجاشع يضع‏.‏

4) Fathonah
Artinya pintar, cerdas, cermat, cepat mengambil keputusan, tepat menentukan tindakan, mampu membaca keadaan, dan memahami segala permasalahan.

5) Tabligh
Artinya menyampaikan, Pemimpin sebagai informan tentang segala sesuatu yang penting diketahui oleh umat. Khususnya mengenai pesan-pesan agama.

6) Tegas dan Teguh Pendirian
Dalam urusan tauhid dan al-Haq dari Allah seorang pemimpin tidak boleh lemah dan ragu. Rasulullah selalu tegas dalam membela agama Islam, tidak tergoda dengan rayuan dan sogokan.

Hai nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali[10].

7) Lemah Lembut
Rasululloh Saw terkenal dengan sifatnya yang peramah, bukan pemarah, halus tutur katanya, tidak menyinggung perasaan orang lain. Allah mengabadikannya dalam Q.S Al-Fath: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.

8) Pemaaf
Manusia tidak terlepas dari kesalahan dan dosa, apalagi prajurit, staf atau rakyat biasa, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Rasulullah sangat pemaaf walaupun kesalahan sebagian sahabat-sahabatnya sangat fatal yang mengakibatkan kaum Muslimin kalah perang di Uhud, dengan besar hati beliau memaafkan sahabatnya dan memohon ampunan bagi mereka.

9) Senang bermusyawarah
Musyawarah bukan untuk memaksakan kehendak, menolak usulan, otoriter dan merasa benar sendiri.

10) Bertawakal kepada Allah
Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Tawakal artinya menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah bersungguh-sungguh menyusun rencana yang dianggap matang.

11) Adil
12) Sabar
13) Bertanggung jawab

BAB III
KESIMPULAN
Kepemimpinan adalah masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi.

Kepemimpinan islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-qur’an dan hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.

teori kepemimpinan telah mengemukakan beberapa teori tentang timbulnya Seorang Pemimpin, terdapat 3 [tiga] teori yang menonjol yaitu : teori genetis, teori sosial, dan teori ekologis.

Hukum memilih Pemimpin adalah Wajib Aen, dengan syarat-syarat pemimpin : bertaqwa, amanah, shiddiq, fathonah, tabligh.

Hukum Golput karena sebab tidak ada pemimpin yang memenuhi syarat pemimpin yang Islami hukumnya Wajib. Tetapi bila Golput padahal ada pemimpin yang ideal untuk dipilih berdasarkan syarat-syarat Pemimpin Islam hukumnya Haram.

Syarat-syarat Pemimpin yang Islami tersebut adalah : Bertaqwa kepada Allah Swt, Amanah, Shiddiq, Fathonah, Tabligh, Tegas dan Teguh Pendirian, Lemah Lembut, Pemaaf, Suka Bermusyawarah, Bertawakal kepada Allah Swt, Adil, Sabar, dan Bertanggung jawab.

Saya rindu kapan memiliki pemimpin yang amanah, sidiq, fatanah "Prophetic leader" (Pemimpin Berjiwa Nabi), karena rasa cinta, gelisah, dan rindu terhadap Indonesia yang lebih baik

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mampukah kita menjadi pemimpin dengan kelas Prophetic leader? Hal pertama yang harus kita sadari bahwa kepemimpinan lahir karena dibentuk. Ia tidak dilahirkan dalam satu malam atau dari rahim istri pemimpin besar. Ia lahir dari perjuangan dan penempaan yang tiada henti. Seperti Rasulullah yang ditempa langsung oleh Allah. Kemudian, sadarilah menjadi pemimpin adalah sebuah pilihan. Transformation in our world never be initiated by many people, it’s always originated by few selected people. Orang-orang pilihanlah yang akhirnya mampu membuat perubahan besar. Dan pilihan selalu mengandung konsekuensi

Menjadi pemimpin berarti bersiap untuk menjadi pembelajar. Mungkin kita harus belajar memimpin dengan menggunakan posisi atau jabatan tertentu. Tidak masalah, teruslah belajar dan jadilah pemimpin yang dapat merangkul semua elemen kerja. Buktikanlah hasil dari kepemimpinan kita dan pupuk selalu kredibiltas pribadi hingga akhirnya orang mengikuti kita karena raihan atau prestasi bagus yang telah kita capai. Kemudian, teruslah belajar, masukkanlah nilai-nilai spiritual dalam kepemimpinan kita, dan akhirnya buatlah orang lain menjadikanmu pemimpin mereka karena semua kualitas pribadi kita dan daya pikat spiritulitas kita pada mereka. Itulah Prophetic Leader yang bukan hanya memenangkan posisi sebagai pemimpin, tetapi juga memenangkan hati para pengikutnya.

Sebagai penutup, mungkin kita tidak akan pernah bisa menjadi pemimpin sekaliber Rasulullah. Tetapi, bukankah meneladani beliau adalah kewajiban kita sebagai seorang muslim? Bercita-cita besarlah, bermimpilah, dan gapai mimpi-mimpi tersebut dengan usaha maksimal yang luar biasa dan memohon pertolongan Allah. Terakhir, jika kita ditanya mengapa kita harus dan wajib menjadi seorang pemimpin, jawablah dengan “Karena sesungguhnya seorang pemimpin yang adil adalah orang yang paling bermanfaat bagi sekitarnya, dan sebaik-baiknya muslim adalah muslim yang paling bermanfaat bagi sekitarnya, tidakkah kita ingin menjadi yang terbaik?!”.

Dalil-Dalil Mengharamkan Umat Islam Memilih Pemimpin Kafir

Menjadikan orang kafir sebagai pemimpin bagi umat Islam berarti menentang Allah SWT dan Rasulullah SAW serta Ijma' Ulama. Memilih orang kafir sebagai pemimpin umat Islam berarti memberi peluang kepada orang kafir untuk "mengerjai" umat Islam dengan kekuasaan dan kewenangannya.

Berikut ini adalah sejumlah Dalil Qur'ani beserta Terjemah Qur'an Surat (TQS) yang menjadi dasar untuk bersikap dalam memilih pemimpin :

1. Al-Qur'an melarang menjadikan orang kafir sebagai Pemimpin

QS. 3. Aali 'Imraan : 28.

"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu)."

QS. 4. An-Nisaa' : 144.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?"

QS. 5. Al-Maa-idah : 57.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi PEMIMPINMU, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman."

2. Al-Qur'an melarang menjadikan orang kafir sebagai Pemimpin walau Kerabat sendiri :

QS. 9. At-Taubah : 23.

"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan BAPAK-BAPAK dan SAUDARA-SAUDARAMU menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

QS. 58. Al-Mujaadilah : 22.

"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu BAPAK-BAPAK, atau ANAK-ANAK atau SAUDARA-SAUDARA atau pun KELUARGA mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada- Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung."

3. Al-Qur'an melarang menjadikan orang kafir sebagai teman setia

QS. 3. Aali 'Imraan : 118.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi TEMAN KEPERCAYAANMU orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya."

QS. 9. At-Taubah : 16.

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi TEMAN SETIA selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman ? Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

4. Al-Qur'an melarang saling tolong dengan kafir yang akan merugikan umat Islam

QS. 28. Al-Qashash : 86.

"Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Quran diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi PENOLONG bagi orang-orang kafir."

QS. 60. Al-Mumtahanah : 13.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan PENOLONGMU kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa."

5. Al-Qur'an melarang mentaati orang kafir untuk menguasai muslim

QS. 3. Aali 'Imraan : 149-150.

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu MENTAATI orang-orang yang KAFIR itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allah lah Pelindungmu, dan Dialah sebaik-baik Penolong."

6. Al-Qur'an melarang beri peluang kepada orang kafir sehingga menguasai muslim

QS. 4. An-Nisaa' : 141.

"...... dan Allah sekali-kali tidak akan MEMBERI JALAN kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman."

7. Al-Qur'an memvonis munafiq kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin

QS. 4. An-Nisaa' : 138-139.

"Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah."

8. Al-Qur'an memvonis ZALIM kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin

QS. 5. Al-Maa-idah : 51.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang ZALIM."

9. Al-Qur'an memvonis fasiq kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin

QS. 5. Al-Maa-idah : 80-81.

"Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang FASIQ."

10. Al-Qur'an memvonis sesat kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin

QS. 60. Al-Mumtahanah : 1.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah TERSESAT dari jalan yang lurus."

11. Al-Qur'an mengancam azab bagi yang jadikan kafir sbg Pemimpin / Teman Setia

QS. 58. Al-Mujaadilah : 14-15.

"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman ? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui. Allah telah menyediakan bagi mereka AZAB yang sangat keras, sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan."

12. Al-Qur'an mengajarkan doa agar muslim tidak menjadi sasaran fitnah orang kafir

QS. 60. Al-Mumtahanah : 5.

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (SASARAN) FITNAH bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Definisi Kafir

Kāfir (bahasa Arab: كافر kāfir; plural كفّار kuffār) secara harfiah berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Dalam terminologi kultural kata ini digunakan dalam agama Islam untuk merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat Allah (sebagai lawan dari kata syakir, yang berarti orang yang bersyukur).

Kāfir berasal dari kata kufur yang berarti ingkar, menolak atau menutup.

Pada zaman sebelum Agama Islam, istilah tersebut digunakan untuk para petani yang sedang menanam benih di ladang, menutup/mengubur dengan tanah. Sehingga kalimat kāfir bisa dimplikasikan menjadi "seseorang yang bersembunyi atau menutup diri".

Jadi menurut syariat Islam, manusia kāfir yaitu: Mengingkari Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah dan mengingkari Rasul Muhammad SAW sebagai utusan-Nya.
Kata kāfir dalam Al-Qur'an

Di dalam Al-Qur'an, kitab suci agama Islam, kata kafir dan variasinya digunakan dalam beberapa penggunaan yang berbeda:

1. Kufur at-tauhid (Menolak tauhid): Dialamatkan kepada mereka yang menolak bahwa Tuhan itu satu.

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. (Al-Baqarah ayat 6)

2. Kufur al-ni`mah (mengingkari nikmat): Dialamatkan kepada mereka yang tidak mau bersyukur kepada Tuhan

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (la takfurun). (Al-Baqarah ayat 152)

3. Kufur at-tabarri (melepaskan diri)

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu (kafarna bikum)..." (Al-Mumtahanah ayat 4)

4. Kufur al-juhud: Mengingkari sesuatu

..maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar (kafaru) kepadanya. (Al-Baqarah ayat 89)

5. Kufur at-taghtiyah: (menanam/mengubur sesuatu)

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani (kuffar). (Al-Hadid 20)

KAFIR juga merupakan sebutan yang ditujukan kepada orang-orang kufur, yakni mereka yang menolak mengimani atau mengakui rukun Iman sebagaimana diajarkan oleh Allah dalam Islam. Lalu, apakah yang dimaksud dengan rukun iman dalam Islam itu?

Rukun iman dalam islam terdiri atas 6 (enam) perkara yaitu:

1. Beriman kepada Allah SWT
2. Beriman kepada Malaikat-Malaikat Allah
3. Beriman kepada kitab-kitab wahyu Allah
4. Beriman kepada Nabi dan Rasul-Rasul Allah
5. Beriman kepada Hari Kiamat
6. Beriman kepada Qada dan Qadar atau takdir dari Allah.

Dalam syari’at Islam, yang dimaksud dengan orang kafir sebenarnya dibedakan menjadi empat kelompok:

1. Kafir Dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin. Kafir seperti ini tidak boleh "diganggu" selama ia masih menaati peraturan-peraturan yang dikenakan kepada mereka. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut diantaranya firman Allah Al-‘Aziz Al-Hakim:

قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan shogirun (hina, rendah, patuh)”. (QS. At-Taubah: 29).

Dan dalam hadits Buraidah riwayat Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تُمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata : “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsil (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”.

Dan dalam hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah riwayat Bukhary beliau berkata:

أَمَرَنَا رَسُوْلُ رَبِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُقَاتِلَكُمْ حَتَّى تَعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ أَوْ تُؤَدُّوْا الْجِزْيَةَ

“Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya atau kalian membayar Jizyah”.

2. Kafir Mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak boleh diganggu sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Allah Jalla Dzikruhu berfirman:

فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

“Maka selama mereka berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 7).

إِلاَّ الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

“Kecuali orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi dari kalian sesuatu pun (dari isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 4).

dan Allah Jallat ‘Azhomatuhu menegaskan dalam firman-Nya:

وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِيْ دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَ أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ

“Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS. At-Taubah : 12).

Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr riwayat Bukhary:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا

“Siapa yang membunuh kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”.

3. Kafir Musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak boleh "diganggu" sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At-Taubah : 6).

Dan dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan:

ذِمَّةُ الْمُسْلِمِيْنَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ

“Dzimmah (janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. [HR. Bukhary-Muslim].

Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : “Yang diinginkan dengan Dzimmah di sini adalah Aman (jaminam keamanan). Maknanya bahwa Aman kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya Aman dari seorang muslim maka haram atas (muslim) yang lainnya mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam Amannya”.

Dan dalam hadits Ummu Hani` riwayat Bukhary beliau berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ زَعَمَ ابْنُ أُمِّيْ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلاً قَدْ أَجَرْتُهُ فَلاَنَ بْنَ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ

“Wahai Rasulullah anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib-pen.) menyangka bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin Hubairah. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda : “Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani`”.

4. Kafir Harby, yaitu kafir yang secara terang-terangan (atau sembunyi-sembunyi) memusuhi Islam, melakukan kejahatan-kejahatan melawan Islam dan tindakan-tindakan lain yang patut dianggap "menyerang" Islam. Jika kepada 3 kelompok kafir di atas Allah memerintahkan setiap Muslim untuk senantiasa menunjukkan rasa hormat, bahkan ikut melindungi kerselamatan mereka, maka kafir jenis yang terakhir inilah yang wajib diperangi menurut ketentuan yang telah digariskan dalam syari’at Islam.

Demikianlah pembagian orang kafir menurut para ulama seperti syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy, syeikh Ibnu ‘Utsaimin, ‘Abdullah Al-Bassam dan lain-lainnya. Wallahul Musta’an.

Apakah Syariat Islam Wajib Diterapkan sebagai Hukum Negara?

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kalau kita percaya pada Allah, Rasul dan kitab suci Al-Quran, maka tidak mungkin kita menyatakan bahwa hukum Islam tidak perlu diterapkan sebagai hukum negara.

Sebagaimana kita tahu bahwa syariah Islam itu mencakup aspek yang sangat luas. Bukan hanya menyangkut hukum ibadah ritual semata, tetapi termasuk juga masalah sosial masyarakat bahkan hukum positif yang berlaku formal di dalam sebuah negara.

Taruhlah dari masalah yang paling sederhana, zakat misalnya. Sesungguhnya zakat itu di masa Rasulullah SAW dikelola dan digulirkan oleh negara. Kepala negara saat itu, Rasulullah SAW atau para khalifah, mengangkat dan memberi wewenang kepada petugas khusus yang menangani masalah zakat. Kalau ada yang membangkang, mereka diperangi, bukan oleh ulama atau kiyai, tetapi diperangi oleh negara dengan senjata.

Negara menetapkan bahwa si fulan dan si fulan adalah pembangkang kewajiban zakat, karena itu atas nama negara, harta mereka bisa diambil secara paksa, atau kalau melawan, mereka ditetapkan sebagai musuh negara.

Bahkan sekedar syariat zakat pun membutuhkan wewenang sebuah negara untuk bisa dijalankan sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Belum lagi kalau kita bicara tentang hukum pernikahan wanita yang tidak punya wali. Secara tegas Rasulullah SAW menyebutkan bahwa penguasa adalah wali bagi wanita yang tidak punya wali. Penguasa itu adalah kepala negara, meski dalam pelaksanaannya dia boleh mendelegasikan tugas menikahkan itu kepada bawahan dan bawahannya lagi sampai ke tingkat hakim atau KUA. Tetapi petugas itu tidak punya wewenang sedikit pun kecuali atas nama pemerintahan yang sah dan berdaulat.

Jadi tidak mungkin Islam hanya diterapkan secara individual belaka. Syariat Islam membutuhkan sebuah pemeritahan resmi (negara) untuk bisa diterapkan sebagaimana adanya.

Apalagi kalau kita sudah bicara hukum hudud, seperti kewajiban memotong tangan pencuri, merajam pezina, mencambuk peminum khamar, menyalib pelaku hirabah dan sebagainya. Semua itu hukumnya wajib dijalankan, lantaran perintahnya sangat tegas di dalam Al-Quran dan tidak terbantahkan lagi. Namun tak sepotong pun dari hukum hudud itu yang boleh dilakukan, kecuali hanya dalam format sebuah pemerintahan negara yang berdaulat resmi. Kalau bukan negara yang melaksanakan, maka tidak seorang pun yang boleh melakukannya. Kiyai, ulama, ustadz, da’i, pembimbing rohani atau siapapun tidak pernah punya wewenang untuk menjalankan hukum itu. Kecuali kepala pemerintahan atau siapapun yang diberikan kewenangan olehnya.

Pemisahan Agama dan Negara

Sesungguhnya ide pemisahan agama dan negara tidak pernah terjadi di dalam dunia Islam, kecuali setelah terjadi masuknya arus pemikiran sekuler barat lewat agen-agennya yang telah menjadi budak. Bagi barat yang gagal dalam beragama pernah mengalami masa-masa paling buruk dengan geraja, di mana mereka hidup di bawah hegemoni pendeta dan gereja yang telah berlaku zalim, wajarlah bila ada dendam kesumat kepada agama (baca: kristen).

Ribuan tahun bangsa barat diperkosa oleh razim gereja, hingga suatu ketika dendam dan sakit hari mereka kepada gereja sudah tidak terbendung lagi. Akhirnya lahirlah jabang bayi sekulerisme di barat dan tumbuh dengan sehatnya.

Akan halnya umat Islam, sejarah gelap itu tidak pernah terjadi. Sehingga umat Islam tidak pernah punya alasan secuil pun untuk memisahkan agama dari negara. Justru ide pemisahan agama dengan negara itulah yang menjadikan umat Islam tercerabut dari jati dirinya.

Bagaimana tidak?

Bukankah umat Islam selalu hidup maju dan gemilang di bawah panji-panji khilafah Islamiyah? Bukankah umat Islam belum pernah hidup tanpa ada pemerintahan Islam yang berkuasa, sejak dari masa nabi SAW hingga abad 20 ini? Bukankah kemajuan ilmu pengetahuan umat Islam mencapai puncaknya justru bersama dengan para penguasa khilafah itu?

Ketika khilafah terakhir ditumbangkan pada tahun 1924 lalu, maka runtuh pula kekuatan umat Islam. Wilayahnya yang sedemikian luas dari Maroko hingga Marouke itu satu per satu habis dikoyak taring-taring berdarah penjajah barat. Bumi dan kekayaan alam umat Islam habis dijarah. Akhlaq dan moral bangsa-bangsa muslim dirusak dan diganti dengan budaya bejat barat yang dekaden dan lacur. Ilmu pengetahuan umat Islam dibajak dan diboyong ke barat.

Semua terjadi justru ketika umat Islam menanggalkan agama dari negara. Ide-ide sekulerisme hanya cocok buat bangsa barat yang bermasalah dengan agamanya. Namun buat Islam, sekulerisme justru tidak produktif, malah cenderung destruktif, merugikan dan malah bunuh diri.

Hanya orang-orang yang hatinya benci kepada Islam saja yang berteriak-teriak menganjurkan pemisahan agama dan negara. Sebab hasilnya terlalu jelas, bahwa umat Islam segera menemui kehancurannya ketika memisahkan agama dan negara.

Semoga Allah SWT melindungi umat Islam dari tipu daya pemikiran jahat sekulerisme sesat. Semoga Allah SWT mengembalikan saudara-saudara kita muslimin yang sempat terpesona dengan seronok pemikiran dangkal itu dan bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya. Amien



KESESATAN DEMOKRASI

Demokrasi diambil dari bahasa Latin, demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti hukum atau kekuasaan. Jadi demokrasi adalah hukum dan kekuasaan rakyat, dan dibahasakan dalam Undang Undang Dasar RI dengan “Kedaulatan berada ditangan rakyat”. Demokrasi memiliki beberapa ajaran, di antaranya:

1. Sumber hukum bukan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat
2. Hukum yang dipakai bukanlah hukum Allah, akan tetapi hukum buatan
3. Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
4. Kebenaran adalah suara terbanyak
5. Tuhannya banyak dan beraneka ragam
6. Persamaan hak

Ajaran-ajaran demokrasi atau dien (agama) demokrasi ini semuanya kontradiktif dengan dien kaum muslimin,

Al Islam. Sebagian manusia merasa aneh saat kami menyebut demokrasi sebagai dien padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:

ِﻚِﻠَﻤْﻟﺍ ِﻦﻳِﺩ ﻲِﻓ ُﻩﺎَﺧَﺃ َﺬُﺧْﺄَﻴِﻟ َﻥﺎَﻛ ﺎَﻣ

“Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (dien al malik) …” 

(QS. Yusuf [12]: 76)

Undang-undang telah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala namakan sebagai dien (agama/jalan hidup yang ditempuh), sedangkan demokrasi itu memilliki undang-undang selain Islam. Jadi dien (agama) kafir itu bukan hanya Nashrani, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan Majusi saja… akan tetapi Demokrasi adalah dien, Nasionalisme adalah dien, Kapitalisme adalah dien, Sekulerisme adalah dien. Sedangkan Islam adalah dien kaum muslimin, sedangkan Demokrasi adalah dien kaum musyrikin, baik kaum musyrikin yang mengaku Islam atau yang mengaku bukan Islam. Untuk benar-benar mengetahui kekufuran dien Demokrasi ini, maka mari kita kupas ajaran-ajarannya itu dengan membandingkannya dengan ajaran Islam.

1. Sumber hukum bukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat. Dikarenakan rakyat adalah yang berdaulat dan yang berkuasa, maka sumber hukumnya pun adalah rakyat yang diwakili oleh wakil-wakil mereka di Parlemen (MPR/DPR). Dan bila anda membuka Konstitusi (Undang Undang Dasar), semua negara yang bersistem Demokrasi, maka pasti mendapatkan bahwa kekuasaan Legislatif (tasyri’iyyah – pembuatan hukum) ada di tangan majelis rakyat, ada juga yang ‘bebas’ seperti di negara-negara barat, dan ada yang terbatas seperti di negara-negara Arab dan negara timur yang mana Raja, Amir, dan Presiden sangat menentukan, dan tidak lupa juga bahwa demokrasi atau aspirasi rakyat ini tidak semuanya digulirkan, kecuali bila sesuai dengan thaghut Latta mereka yaitu Undang Undang Dasar. Padahal sumber/kekuasaan/wewenang hukum itu di dalam dien Al Islam ada di Tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

ِﻪَّﻠِﻟ ﻻِﺇ ُﻢْﻜُﺤْﻟﺍ ِﻥِﺇ

“keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah” (QS. Yusuf [12]: 40)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

ِﻪَّﻠِﻟ ﻻِﺇ ُﻢْﻜُﺤْﻟﺍ ِﻥِﺇ

“…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS. Al An’am [6]: 57)

Setelah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menciptakan dan yang memilih apa yang Dia kehendaki serta bahwa manusia tidak punya hak untuk memilih setelah
Allah menentukan, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

ﻰَﻟﻭﻷﺍ ﻲِﻓ ُﺪْﻤَﺤْﻟﺍ ُﻪَﻟ َﻮُﻫ ﻻِﺇ َﻪَﻟِﺇ ﻻ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻮُﻫَﻭ
َﻥﻮُﻌَﺟْﺮُﺗ ِﻪْﻴَﻟِﺇَﻭ ُﻢْﻜُﺤْﻟﺍ ُﻪَﻟَﻭ ِﺓَﺮِﺧﻵﺍَﻭ

“Dan Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak diibadati melainkan Dia, bagiNya-lah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagiNya-lah segala penentuan dan hanya kepadaNya-lah kamu
dikembalikan” (QS. Al Qashash [28]: 70) 


Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:

َﻚْﻴَﻟِﺇ ْﺖَﻟِﺰْﻧُﺃ ْﺫِﺇ َﺪْﻌَﺑ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﺕﺎَﻳﺁ ْﻦَﻋ َﻚَّﻧُّﺪُﺼَﻳ ﻻَﻭ
ﻻَﻭ (٨٧) َﻦﻴِﻛِﺮْﺸُﻤْﻟﺍ َﻦِﻣ َّﻦَﻧﻮُﻜَﺗ ﻻَﻭ َﻚِّﺑَﺭ ﻰَﻟِﺇ ُﻉْﺩﺍَﻭ
ٌﻚِﻟﺎَﻫ ٍﺀْﻲَﺷ ُّﻞُﻛ َﻮُﻫ ﻻِﺇ َﻪَﻟِﺇ ﻻ َﺮَﺧﺁ ﺎًﻬَﻟِﺇ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻊَﻣ ُﻉْﺪَﺗ
َﻥﻮُﻌَﺟْﺮُﺗ ِﻪْﻴَﻟِﺇَﻭ ُﻢْﻜُﺤْﻟﺍ ُﻪَﻟ ُﻪَﻬْﺟَﻭ ﻻِﺇ

“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang- orang yang mempersekutukan Tuhan. Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS. Al Qashash [28]: 87-88)
 

Ayat-ayat lainnya yang menjelaskan bahwa hak menentukan hukum dan putusan serta penetapan hanyalah milik Allah dan hak khusus rububiyyah serta uluhiyyah-Nya, Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah-lah yang memutuskan dan hanya kepada-Nyalah putusan itu (disandarkan)” Ini adalah dienullah yang dianut oleh kaum muslimin, sedangkan yang tadi adalah dien Demokrasi yang dianut oleh kaum musyrikin. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

ﻲِﻓ َﻮُﻫَﻭ ُﻪْﻨِﻣ َﻞَﺒْﻘُﻳ ْﻦَﻠَﻓ ﺎًﻨﻳِﺩ ِﻡﻼْﺳﻹﺍ َﺮْﻴَﻏ ِﻎَﺘْﺒَﻳ ْﻦَﻣَﻭ
َﻦﻳِﺮِﺳﺎَﺨْﻟﺍ َﻦِﻣ ِﺓَﺮِﺧﻵﺍ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang- orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)

Apakah sama antara dua dien ini wahai manusia…? Dan apa yang anda pilih, Islam ataukah Demokrasi…? Bayangkan saja… bila yang menjadi sumber hukum itu adalah manusia yang sangat penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, apa jadinya


hukum yang diundang-undangkan itu? Bulan ini dibuat dan diibadati, namun beberapa bulan berikutnya dihapuskan (baca: dimakan) atau direvisi, karena sudah tidak relevan lagi, tidak ada bedanya dengan tuhan (berhala) dari adonan roti yang mereka (kafir Arab dahulu) buat dan mereka ibadati, namun ketika lapar mereka santap habis. Sedangkan bila yang menjadi sumber hukum itu hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka Dia-lah Dzat Yang Maha Mengetahui segalanya.

ُﺮﻴِﺒَﺨْﻟﺍ ُﻒﻴِﻄَّﻠﻟﺍ َﻮُﻫَﻭ َﻖَﻠَﺧ ْﻦَﻣ ُﻢَﻠْﻌَﻳ ﻻَﺃ

“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan);
dan dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al Mulk [67]: 14)

2. Hukum yang dipakai bukan hukum Allah tapi hukum buatan

Tadi telah dijelaskan bahwa sumber hukum agama Demokrasi adalah rakyat, maka sudah pasti hukum
yang dipakai adalah bukan hukum Allah, tapi hukum rakyat (wakilnya) atau hukum yang disetujui oleh mereka, juga dikarenakan dien Demokrasi ini adalah menyatukan semua pemeluk dien yang beraneka ragam dan mengakuinya serta menampung semua aspirasinya, sedangkan untuk kesatuan mereka ini dibutuhkan hukum yang mengikat semua dan disepakati bersama, padahal para pemeluk dien selain Al Islam tidak akan rela dengan hukum Islam sehingga disepakatilah hukum yang menyatukan mereka, dan itu bukan hukum Allah, tapi hukum wali-wali syaitan. Sungguh ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata serta kemurtadan yang nampak jelas bagi pemeluk Islam yang ridha dengannya atau mendukungnya apalagi menerapkan atau melindunginya. Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

ُﻢُﻫ َﻚِﺌَﻟﻭُﺄَﻓ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻝَﺰْﻧَﺃ ﺎَﻤِﺑ ْﻢُﻜْﺤَﻳ ْﻢَﻟ ْﻦَﻣَﻭ ﺇ
َﻥﻭُﺮِﻓﺎَﻜْﻟﺍ

“…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah [5]: 44) 


Sekutu dengan hukum buatan itu syirik akbar,

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

ُﻪَّﻧِﺇَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻢْﺳﺍ ِﺮَﻛْﺬُﻳ ْﻢَﻟ ﺎَّﻤِﻣ ﺍﻮُﻠُﻛْﺄَﺗ ﻻَﻭ
ْﻢِﻬِﺋﺎَﻴِﻟْﻭَﺃ ﻰَﻟِﺇ َﻥﻮُﺣﻮُﻴَﻟ َﻦﻴِﻃﺎَﻴَّﺸﻟﺍ َّﻥِﺇَﻭ ٌﻖْﺴِﻔَﻟ
َﻥﻮُﻛِﺮْﺸُﻤَﻟ ْﻢُﻜَّﻧِﺇ ْﻢُﻫﻮُﻤُﺘْﻌَﻃَﺃ ْﻥِﺇَﻭ ْﻢُﻛﻮُﻟِﺩﺎَﺠُﻴِﻟ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya
kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)

Tentang ayat ini Al Hakim dan yang lainnya meriwatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu
‘Abbas: Bahwa orang-orang membantah kaum muslimin tentang sembelihan dan pengharaman
bangkai, mereka berkata: “Kalian makan apa yang kalian bunuh dan tidak makan dari apa yang Allah
bunuh” yaitu bangkai, maka Allah berfirman “Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu
tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini: “Dimana kamu berpaling dari perintah Allah dan aturan-Nya kepada yang lainnya, terus kamu mendahulukan terhadap aturan Allah yang lainnya, maka inilah syirik itu” Memakai hukum selain hukum Allah adalah syirik akbar… Bila saja orang yang menuruti atau meridhai satu hukum yang menyelisihi aturan Allah, telah Allah vonis musyrik, maka apa gerangan dengan 


Demokrasi yang seluruhnya adalah bukan hukum Allah. Kalau memang ada satu macam atau beberapa macam hukum yang ada dalam Demokrasi itu serupa dengan ajaran Islam, tetap saja itu tidak disebut hukum Allah dan tidak merubah kekafiran penganut dien Demokrasi. Andai ada orang Nashrani yang jujur dan amanah, apakah itu bisa menyebabkan dia itu disebut muslim karena jujur dan amanah itu ajaran Islam?
Sama sekali tidak, karena jujur dan amanahnya itu bukan atas dorongan tauhid, tapi kepentingan lain,
maka begitu juga dengan Demokrasi.

Oleh sebab itu para ulama tetap ijma atas kafirnya orang yang menerapkan kitab Undang-undang
hukum Tartar (Yasiq/Ilyasa) yang dibuat oleh Jengis Khan, padahal sebagiannya diambil dari Syari’at Islam. Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Siapa yang meninggalkan syari’at paten yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada yang lainnya berupa hukum-hukum (Allah) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih mengedepankannya atas hukum Allah? Siapa yang melakukannya maka dia kafir dengan ijma’ kaum muslimin”. (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119). Ibnu Katsir rahimahullah juga berkata tentang Yasiq/Ilyasa: “Ia adalah kitab undang-undang hukum yang dia (Raja Tartar, Jengis Khan) kutip dari berbagai sumber; dari Yahudi, Nashrani, Millah Islamiyyah, dan yang lainnya, serta di dalamnya banyak hukum yang dia ambil dari sekedar pandangannya dan keinginannya, lalu (kitab) itu
bagi keturunannya menjadi aturan yang diikuti yang lebih mereka kedepankan dari pada al hukmu
bi Kitabillah wa sunnati Rasulillah shalallahu‘alaihi wa sallam. Siapa yang melakukan itu, maka wajib
diperangi hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, selainnya tidak boleh dijadikan acuan
hukum dalam hal sedikit atau banyak”. Ini dikarenakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

ْﻊِﺒَّﺘَﺗ ﻻَﻭ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻝَﺰْﻧَﺃ ﺎَﻤِﺑ ْﻢُﻬَﻨْﻴَﺑ ْﻢُﻜْﺣﺍ ِﻥَﺃَﻭ
َﻝَﺰْﻧَﺃ ﺎَﻣ ِﺾْﻌَﺑ ْﻦَﻋ َﻙﻮُﻨِﺘْﻔَﻳ ْﻥَﺃ ْﻢُﻫْﺭَﺬْﺣﺍَﻭ ْﻢُﻫَﺀﺍَﻮْﻫَﺃ
َﻚْﻴَﻟِﺇ ُﻪَّﻠﻟﺍ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadapmereka, supaya mereka  tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”

(QS. Al Maidah [5]: 49)
 

Dalam ayat itu, Allah mengatakan “menurut apa yang diturunkan Allah”, dan tidak mengatakan
“menurut seperti apa yang diturunkan Allah”. Dalam ajaran demokrasi hukum yang berlaku adalah hukum jahiliyyah:

َﻥﻮُﻐْﺒَﻳ ِﺔَّﻴِﻠِﻫﺎَﺠْﻟﺍ َﻢْﻜُﺤَﻓَﺃ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki…” (QS. Al Maidah [5]: 50) 


Dalam ajaran tauhid, orang tidak dikatakan muslim, kecuali dengan kufur kepada thaghut yang di antaranya berbentuk undang-undang buatan manusia, sedangkan demokrasi mengajak orang- orang untuk beriman kepada thaghut, padahal Allah berfirman:

َﻝِﺰْﻧُﺃ ﺎَﻤِﺑ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ ْﻢُﻬَّﻧَﺃ َﻥﻮُﻤُﻋْﺰَﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ َﺮَﺗ ْﻢَﻟَﺃ
ﺍﻮُﻤَﻛﺎَﺤَﺘَﻳ ْﻥَﺃ َﻥﻭُﺪﻳِﺮُﻳ َﻚِﻠْﺒَﻗ ْﻦِﻣ َﻝِﺰْﻧُﺃ ﺎَﻣَﻭ َﻚْﻴَﻟِﺇ
ِﻪِﺑ ﺍﻭُﺮُﻔْﻜَﻳ ْﻥَﺃ ﺍﻭُﺮِﻣُﺃ ْﺪَﻗَﻭ ِﺕﻮُﻏﺎَّﻄﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu…” (QS. An Nisa [4]: 60) 


Lihatlah realita para demokrat serta para pendukungnya justeru adalah sebagaimana yang Allah Subhaanahu Wa Ta’ala firmankan:

ﻰَﻟِﺇَﻭ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻝَﺰْﻧَﺃ ﺎَﻣ ﻰَﻟِﺇ ﺍْﻮَﻟﺎَﻌَﺗ ْﻢُﻬَﻟ َﻞﻴِﻗ ﺍَﺫِﺇَﻭ
ﺍًﺩﻭُﺪُﺻ َﻚْﻨَﻋ َﻥﻭُّﺪُﺼَﻳ َﻦﻴِﻘِﻓﺎَﻨُﻤْﻟﺍ َﺖْﻳَﺃَﺭ ِﻝﻮُﺳَّﺮﻟﺍ

“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan
dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafiq menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu”. (QS. An Nisa [4]: 61)

Jika ada yang serupa dengan ajaran Islam dalam hukum mereka itu, tidak lebih dari apa yang tidak bertentangan dengan selera dan kepentingan mereka, dan itu setelah proses tarik menarik dan diskusi panjang antara mengiakan dengan tidak, tak ubahnya dengan orang-orang yang Allah firmankan:

ﺍَﺫِﺇ ْﻢُﻬَﻨْﻴَﺑ َﻢُﻜْﺤَﻴِﻟ ِﻪِﻟﻮُﺳَﺭَﻭ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ ﺍﻮُﻋُﺩ ﺍَﺫِﺇَﻭ
ﺍﻮُﺗْﺄَﻳ ُّﻖَﺤْﻟﺍ ُﻢُﻬَﻟ ْﻦُﻜَﻳ ْﻥِﺇَﻭ (٤٨) َﻥﻮُﺿِﺮْﻌُﻣ ْﻢُﻬْﻨِﻣ ٌﻖﻳِﺮَﻓ
ﺍﻮُﺑﺎَﺗْﺭﺍ ِﻡَﺃ ٌﺽَﺮَﻣ ْﻢِﻬِﺑﻮُﻠُﻗ ﻲِﻓَﺃ (٤٩) َﻦﻴِﻨِﻋْﺬُﻣ ِﻪْﻴَﻟِﺇ
ْﻞَﺑ ُﻪُﻟﻮُﺳَﺭَﻭ ْﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻒﻴِﺤَﻳ ْﻥَﺃ َﻥﻮُﻓﺎَﺨَﻳ ْﻡَﺃ
َﻥﻮُﻤِﻟﺎَّﻈﻟﺍ ُﻢُﻫ َﻚِﺌَﻟﻭُﺃ

“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk(kemaslahatan)  mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu- ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka Itulah orang-orang yang zhalim”. (QS. An Nur [24]: 48-50)

Apakah anda masih meragukan bahwa Demokrasi itu dien kufriy…?
Apakah Islam atau Ad Dimoqrathiyyah…?

ﻲِﻓ ْﻦَﻣ َﻢَﻠْﺳَﺃ ُﻪَﻟَﻭ َﻥﻮُﻐْﺒَﻳ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﻦﻳِﺩ َﺮْﻴَﻐَﻓَﺃ
َﻥﻮُﻌَﺟْﺮُﻳ ِﻪْﻴَﻟِﺇَﻭ ﺎًﻫْﺮَﻛَﻭ ﺎًﻋْﻮَﻃ ِﺽْﺭﻷﺍَﻭ ِﺕﺍَﻭﺎَﻤَّﺴﻟﺍ

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”. (QS. Ali Imran [3]: 83)

3. Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat Demokrasi adalah dien yang melindungi semua agama, mengakui serta menjamin kebebasannya. Orang Nashrani bila mau masuk Islam maka Demokrasi mempersilahkan dan mengakuinya, dan begitu juga orang Islam jika ingin masuk
Nashrani atau agama lainnya, maka dien Demokrasi tidak mempersalahkannya apalagimemberikan sanksi  terhadapnya.

Dari itu berarti dien Demokrasi telah menghalalkan pintu-pintu kemurtadan serta menggugurkan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, padahal Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah”.

Andai seorang muslim karena ghirahnya sangat tinggi lalu dia membunuh orang murtad, maka tentulah dia mendapat hukuman. Begitu juga dien demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan fikiran dan pendapat, walaupun fikiran dan pendapat itu adalah kekufuran. Jadi Demokrasi membuka pintu kekufuran dari berbagai sisi. Dari sinilah rahasia kenapa sanksi-sanksi yang bersifat keagamaan ditiadakan dan tidak diberlakukan, karena itu bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan.

Saat seorang bapak meninggal dunia dan si anaktelah murtad, maka hukum demokrasi masih menetapkan warisan baginya. Saat si suami murtad, sedangkan isteri masih muslimah… namun dien Demokrasi tidak
mengharuskan pisah (fasakh) di antara keduanya. Allah dan Rasul-Nya dibiarkan dihina siang dan malam, dan ajaran Islam dicemoohkan dan dilecehkan dengan dalih kebebasan mengeluarkan fikiran dan pendapat. Memang Demokrasi itu memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi semua faham dan aliran kecuali Tauhid, karena seandainya ada muwahhid yang mencela dan menghina atau berupaya membunuh thaghut
mereka, tentulah dia dikenakan pasal hukuman, padahal itu ajaran Tauhid.

Begitulah kebebasan yang dimaksud oleh dien Demokrasi… Kebebasan kufur, syirik, ilhad, zandaqah, dan riddah… bukan kebebasan Tauhid…!

4. Kebenaran adalah suara terbanyak Hal yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah bahwa dien Demokrasi memiliki ajaran bahwa al haq itu bersama suara rakyat atau mayoritasnya. Adapun yang diinginkan oleh mayoritas, maka itu adalah kebenaran yang harus diterima dan diamalkan meskipun jelas-jelas bertentangan dengan Tauhid. Oleh karena itu setiap partai politik yang ingin menguasai Parlemen dan Pemerintahan pasti dia mencari dukungan sebanyak-banyaknya dari rakyat, kemudian setelah itu mereka bisa menerapkan putusan apa saja meskipun melanggar aturan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam, asal tidakmelenceng dari Tuhan mereka tertinggi yangpadahal mereka sendiri yang membuatnya, yaitu Undang Undang Dasar. Padahal kebenaran itu hanyalah bersumber dari Allah, baik mayoritas menyukainya atau tidak. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

َﻦﻳِﺮَﺘْﻤُﻤْﻟﺍ َﻦِﻣ ْﻦُﻜَﺗ ﻼَﻓ َﻚِّﺑَﺭ ْﻦِﻣ ُّﻖَﺤْﻟﺍ

“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-
ragu”. (QS. Ali Imran [3]: 60)
 

Juga firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:

َﻦﻳِﺮَﺘْﻤُﻤْﻟﺍ َﻦِﻣ َّﻦَﻧﻮُﻜَﺗ ﻼَﻓ َﻚِّﺑَﺭ ْﻦِﻣ ُّﻖَﺤْﻟﺍ

“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, Karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-
ragu”. (QS. Al Baqarah [2]: 147)

Dikarenakan kebenaran adalah datang dari Allah Subhaanahu Wa Ta’ala melalui lisan Rasul-Nya,
maka bila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu putusan atau hukum, tidak boleh manusia mempertimbangkan antara menerima atau tidak serta tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan
tunduk kepadanya.

ُﻪُﻟﻮُﺳَﺭَﻭ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَﻀَﻗ ﺍَﺫِﺇ ٍﺔَﻨِﻣْﺆُﻣ ﻻَﻭ ٍﻦِﻣْﺆُﻤِﻟ َﻥﺎَﻛ ﺎَﻣَﻭ
ِﺺْﻌَﻳ ْﻦَﻣَﻭ ْﻢِﻫِﺮْﻣَﺃ ْﻦِﻣ ُﺓَﺮَﻴِﺨْﻟﺍ ُﻢُﻬَﻟ َﻥﻮُﻜَﻳ ْﻥَﺃ ﺍًﺮْﻣَﺃ
ﺎًﻨﻴِﺒُﻣ ﻻﻼَﺿ َّﻞَﺿ ْﺪَﻘَﻓ ُﻪَﻟﻮُﺳَﺭَﻭ َﻪَّﻠﻟﺍ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS.Al Ahzab [33]: 36)

Dan firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:

ُﺓَﺮَﻴِﺨْﻟﺍ ُﻢُﻬَﻟ َﻥﺎَﻛ ﺎَﻣ

“sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” (QS. Al Qashash [28]: 68)

Para ahli tafsir menyatakan bahwa bila Allah telah menentukan sesuatu, maka manusia tidak dapat
memilih yang lain lagi dan harus mentaati dan menerima apa yang telah ditetapkan Allah. Namun agama Demokrasi mengatakan lain, rakyat bebas memilih apa yang mereka inginkan dan mereka memiliki pilihan. Tapi bila rakyat (wakil- wakil mereka tentunya) atau mayoritasnya menentukan sesuatu, maka tidak ada pilihan lagi kecuali mengikutinya, karena Tuhan yang berhak menetapkan ketentuan dalam ajaran Demokrasi
adalah para wakil rakyat itu, bukannya Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.

Bila dien Demokrasi memiliki tolak ukur kebenaran itu berdasarkan pada suara aghlabiyyah (mayoritas), sehingga apapun yang disuarakanoleh mereka, maka itulah kebenaran yang mesti diikuti, padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menghati-hatikan dari mengikuti keinginan mayoritas manusia…

ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﻞﻴِﺒَﺳ ْﻦَﻋ َﻙﻮُّﻠِﻀُﻳ ِﺽْﺭﻷﺍ ﻲِﻓ ْﻦَﻣ َﺮَﺜْﻛَﺃ ْﻊِﻄُﺗ ْﻥِﺇَﻭ
َﻥﻮُﺻُﺮْﺨَﻳ ﻻِﺇ ْﻢُﻫ ْﻥِﺇَﻭ َّﻦَّﻈﻟﺍ ﻻِﺇ َﻥﻮُﻌِﺒَّﺘَﻳ ْﻥِﺇ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS. Al An’am [6]: 116)

Ini dikarenakan mayoritas (manusia) musyrik…

َﻥﻮُﻛِﺮْﺸُﻣ ْﻢُﻫَﻭ ﻻِﺇ ِﻪَّﻠﻟﺎِﺑ ْﻢُﻫُﺮَﺜْﻛَﺃ ُﻦِﻣْﺆُﻳ ﺎَﻣَﻭ

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah”. (QS. Yusuf [12]: 106)
 

Mayoritasnya tidak beriman…

َﻦﻴِﻨِﻣْﺆُﻤِﺑ َﺖْﺻَﺮَﺣ ْﻮَﻟَﻭ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ُﺮَﺜْﻛَﺃ ﺎَﻣَﻭ

“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya”.

(QS. Yusuf [12]: 103)
 

Mayoritasnya benci akan kebenaran…

َﻥﻮُﻫِﺭﺎَﻛ ِّﻖَﺤْﻠِﻟ ْﻢُﻫُﺮَﺜْﻛَﺃَﻭ

“…dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu”.(QS. Al Mukminun [23]: 70)
 

Mayoritasnya tidak mengetahui kebenaran…

َﻥﻮُﻤَﻠْﻌَﻳ ﻻ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﺮَﺜْﻛَﺃ َّﻦِﻜَﻟَﻭ

“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Al Jaatsiyah [45]: 26)
 

Mayoritasnya tidak memahami kebenaran…

َﻥﻮُﻠِﻘْﻌَﻳ ﻻ ْﻢُﻫُﺮَﺜْﻛَﺃ ْﻞَﺑ

“…tetapi kebanyakan mereka tidak memahami (nya)”. (QS. Al Ankabut [29]: 63)
 

Mayoritas mereka itu kaum yang tidak beriman…

َﻥﻮُﻨِﻣْﺆُﻳ ﻻ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﺮَﺜْﻛَﺃ َّﻦِﻜَﻟَﻭ

“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 59)
 

Mayoritas mereka itu tidak bersyukur…

َﻥﻭُﺮُﻜْﺸَﻳ ﻻ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﺮَﺜْﻛَﺃ َّﻦِﻜَﻟَﻭ

“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 61)
Itulah sifat-sifat orang yang dijadikan Tuhan (arbaab) dalam agama Demokrasi; musyrik, kafir, sesat, bodoh, kurang akal, benci terhadap kebenaran, tidak mau bersyukur lagi menyesatkan. Orang yang ridha dan beribadah kepada tuhan- tuhan itu, maka ia lebih sesat dan lebih bodoh dari kerbau piaraannya…!

ُّﻞَﺿَﺃ ْﻢُﻫ ْﻞَﺑ ِﻡﺎَﻌْﻧﻷﺎَﻛ َﻚِﺌَﻟﻭُﺃ

“…mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi…” (QS. Al A’raf [7]: 179)
Enyahlah kalian dan apa yang kalian ibadati selain Allah… maka apakah kamu tidak berakal…??!

5. Tuhannya banyak dan beraneka ragamSudah dijelaskan di awal pembahasan ini bahwa hukum adalah hak khusus Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan ia adalah ibadah, bila ia disandarkan kepada selain Allah maka itu adalah syirik, dan yang menerima penyandarannya itu adalah Tuhan (arbaab) selain Allah.
 
Sudah diketahui bahwa rakyat (wakil-wakilnya) adalah pemegang kewenangan hukum, itu dalam dien Demokrasi, sedangkan wakil-wakil rakyat itu jumlahnya sangat banyak, berarti tuhan-tuhan mereka itu beraneka ragam. Ada tuhan yang katanya mengaku Islam, ada yang Nashrani, ada yang dari Budha, Hindu, Dukun, Paranormal, Tentara, Polisi, dan lain sebagainya.

Sedangkan Tauhid mengajarkan bahwa sumber yang berwenang menentukan hukum hanyalah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui…

ُﺭﺎَّﻬَﻘْﻟﺍ ُﺪِﺣﺍَﻮْﻟﺍ ُﻪَّﻠﻟﺍ ِﻡَﺃ ٌﺮْﻴَﺧ َﻥﻮُﻗِّﺮَﻔَﺘُﻣ ٌﺏﺎَﺑْﺭَﺃَﺃ

“…manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf [12]: 39)
 

Di dalam Al Qur’an, para pembuat hukum itu diberi beberapa nama oleh Allah: Arbaab, thaghut, syuraka, auliaa-usy syaithan (wali-wali syaitan). Dia Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﻥﻭُﺩ ْﻦِﻣ ﺎًﺑﺎَﺑْﺭَﺃ ْﻢُﻬَﻧﺎَﺒْﻫُﺭَﻭ ْﻢُﻫَﺭﺎَﺒْﺣَﺃ ﺍﻭُﺬَﺨَّﺗﺍ
ﺎًﻬَﻟِﺇ ﺍﻭُﺪُﺒْﻌَﻴِﻟ ﻻِﺇ ﺍﻭُﺮِﻣُﺃ ﺎَﻣَﻭ َﻢَﻳْﺮَﻣ َﻦْﺑﺍ َﺢﻴِﺴَﻤْﻟﺍَﻭ
َﻥﻮُﻛِﺮْﺸُﻳ ﺎَّﻤَﻋ ُﻪَﻧﺎَﺤْﺒُﺳ َﻮُﻫ ﻻِﺇ َﻪَﻟِﺇ ﻻ ﺍًﺪِﺣﺍَﻭ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Arbaab (Tuhan) selainAllah dan  (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruhmenyembah Tuhan  Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka   persekutukan”. (QS. At Taubah [9]: 31)

Dalam ayat ini Allah menamakan orang-orang alim dan para rahib Yahudi dan Nashrani sebagai ARBAAB, saat ayat ini dibacakan oleh Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallam di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim ~saat itu asalnya Nashrani kemudian masuk Islam~, maka dia langsung mengatakan: “Kami tidak pernah sujud dan shalat kepada mereka…”, maka Rasulullah menjelaskanmakna “mereka menjadikan para rahib dan alim itu sebagai Arbab”: “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”,maka ‘Adiy menjawab: “Ya, benar”. Dan Rasulullah berkata:


“Itulah bentuk ibadah kepada mereka”. (Atsar ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah). Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Bab: Orang yang mentaati
ulama dan penguasa dalam mengharamkan apa yang Allah haramkan atau (dalam) menghalalkan
apa yang Allah haramkan: “maka ia telah menjadikan mereka sebagai Arbaab selain Allah”.
 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

َﻝِﺰْﻧُﺃ ﺎَﻤِﺑ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ ْﻢُﻬَّﻧَﺃ َﻥﻮُﻤُﻋْﺰَﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ َﺮَﺗ ْﻢَﻟَﺃ
ﺍﻮُﻤَﻛﺎَﺤَﺘَﻳ ْﻥَﺃ َﻥﻭُﺪﻳِﺮُﻳ َﻚِﻠْﺒَﻗ ْﻦِﻣ َﻝِﺰْﻧُﺃ ﺎَﻣَﻭ َﻚْﻴَﻟِﺇ
ِﺕﻮُﻏﺎَّﻄﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak
berhakim kepada thaghut…” (QS. An Nisa [4]: 60)
 

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata tentang beberapa tokoh
thaghut: “Penguasa yang zhalim yang merubah ketentuan-ketentuan Allah”, terus beliau tuturkan
ayat di atas. Mujahid rahimahullah berkata: “Thaghut adalah syaitan berwujud manusia yang mana orang-
orang berhakim kepadanya sedang dia adalah pemegang kendali mereka”

Dan dalam catatan kaki Terjemahan Mushhaf Departemen Agama RI: “Termasuk thaghut juga adalah; orang yang menerapkan hukum secara curang menurut hawa nafsu”. Maka ketahuilah… sesungguhnya selain aturan Allah adalah curang lagi bersumber dari hawa nafsu…!!! Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

ْﻥَﺫْﺄَﻳ ْﻢَﻟ ﺎَﻣ ِﻦﻳِّﺪﻟﺍ َﻦِﻣ ْﻢُﻬَﻟ ﺍﻮُﻋَﺮَﺷ ُﺀﺎَﻛَﺮُﺷ ْﻢُﻬَﻟ ْﻡَﺃ
ُﻪَّﻠﻟﺍ ِﻪِﺑ

“Apakah mereka mempunyai syurakaa (sembahan-sembahan) selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien (aturan) yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syuura [42]: 21) 


Anda harus ingat dalam memahami ayat ini dan yang lainnya bahwa hukum atau aturan atau undang-undang adalah dien. Kemudian tentang penamaan para pembuat hukum selain Allah sebagai wali-wali syaitan, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang upaya kaum musyrikin yang mendebat kaum muslimin supaya setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dia berfirman:

ْﻢِﻬِﺋﺎَﻴِﻟْﻭَﺃ ﻰَﻟِﺇ َﻥﻮُﺣﻮُﻴَﻟ َﻦﻴِﻃﺎَﻴَّﺸﻟﺍ َّﻥِﺇَﻭ
َﻥﻮُﻛِﺮْﺸُﻤَﻟ ْﻢُﻜَّﻧِﺇ ْﻢُﻫﻮُﻤُﺘْﻌَﻃَﺃ ْﻥِﺇَﻭ ْﻢُﻛﻮُﻟِﺩﺎَﺠُﻴِﻟ

“…Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada wali-wali mereka agar membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu adalah benar- benar musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
 

Bisikan syaitan kepada mereka adalah ucapan yang mereka lontarkan kepada kaum muslimin: “Kalian
makan apa yang kalian bunuh (maksudnya sembelihan) dan tidak makan apa yang dibunuh Allah (maksudnya bangkai)”.

Jadi para pembuat hukum dan undang-undang itu adalah wali-wali syaitan, dan sedangkan undang- undang dan hukumnya itu adalah syari’at syaitan. Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawanin wadl’iyyah (undang- undang) yang disyari’atkan oleh syaitan lewat lisan wali-walinya…”

Jadi, Demokrasi adalah ajaran syaitan, sedangkan para penganutnya adalah para penyembah syaitan…
 
6. Persamaan Hak
Di dalam ajaran Demokrasi, semua rakyat dengan berbagai macam agama dan keyakinannya adalah sama, tidak ada perbedaan antara muslim dengan kafir, juga antara orang yang taat dengan yang fasiq. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala membedakan di antara mereka:

ُﺓَﺮْﺜَﻛ َﻚَﺒَﺠْﻋَﺃ ْﻮَﻟَﻭ ُﺐِّﻴَّﻄﻟﺍَﻭ ُﺚﻴِﺒَﺨْﻟﺍ ﻱِﻮَﺘْﺴَﻳ ﻻ ْﻞُﻗ
ِﺚﻴِﺒَﺨْﻟﺍ

“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik
hatimu…” (QS. Al Maidah [5]: 100)

Orang kafir adalah yang buruk sedangkan orang muslim adalah yang baik…

ُﺏﺎَﺤْﺻَﺃ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ُﺏﺎَﺤْﺻَﺃَﻭ ِﺭﺎَّﻨﻟﺍ ُﺏﺎَﺤْﺻَﺃ ﻱِﻮَﺘْﺴَﻳ ﻻ
ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ

“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah…” (QS. Al Hasyr [59]: 20)

ﺎًﻘِﺳﺎَﻓ َﻥﺎَﻛ ْﻦَﻤَﻛ ﺎًﻨِﻣْﺆُﻣ َﻥﺎَﻛ ْﻦَﻤَﻓَﺃ

“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasiq?” (QS. As Sajdah [32]: 18)
 

Dan ayat-ayat lainnya…

Dengan risalah ini kami bermaksud untukmenggugah anda agar mengetahui bahwa Demokrasi itu adalah agama kafir lagi syirik, sedang para pengusungnya serta para penganutnya adalah kaum musyrikin walaupun
mereka menyatakan bahwa dirinya muslim, shalat, zakat, shaum, haji dan yang lainnya. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Muhammad, keluarga, dan para shahabat. Wal hamdu lillaahi rabbil ‘alamin…

.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!











Tidak ada komentar:

Posting Komentar