Hukum pajak dalam perspektif syariah (fiqh) Islam. Ulama klasik dan
kontemporer berbeda pendapat dalam menyikapi hukum pajak. Apakah boleh
(halal) atau haram. Dengan berbagai landasan hukum dalil Quran hadits
yang mendasari masing-masing pendapat.
DAFTAR ISI
PENDAPAT YANG MENGHARAMKAN PAJAK
Kalangan ulama yang berpendapat bahwa pajak itu haram umumnya berdasarkan pada argumen berikut:
(a) Bahwa hak tanggungan satu-satunya terhadap harta adalah zakat. Setelah membayar zakat, maka bebaslah tanggungannya. Karena itu, ...
(b) Tidak boleh bagi penguasa untuk mengenakan atau membebankan tanggungan yang selain zakat seperti pajak, dan lain-lain.
(c) Islam menghormati, mengakui dan melindungi kepemilikan pribadi (al-milkiyyah al-syakhsyiyah الملكية الشخصية). Karena itu, haram mengambil harta seseorang--kecuali zakat--seperti haramnya darah mereka.
(d) Nabi mencela makis (ماكس) yaitu pemungut cukai/pajak jalanan. Kalangan ini menyamakan pajak sekarang dengan istilah mukus di era Nabi.
Ulama kontemporer yang mengharamkan pajak didominasi oleh tokoh ulama Wahabi. Berikut kutipan pendapat mereka:
1. Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan dalam Silsilatul Huda wan Nur demikian:
الضرائب هي مكوس ، وهي مما لا يجوز في الإسلام
Artinya: pajak itu tidak boleh dalam Islam.
2. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam Majmuatul Fatawa VIII/208 menyatakan: . . وأما الشيء الذي هو منكر ، كالضريبة
Artinya: Pajak itu adalah termasuk sesuatu yang munkar.
3. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan:
كل شيء يؤخذ بلا حق فهو من الضرائب، وهو محرم، ولا يحل للإنسان أن يأخذ مال أخيه بغير حق
Artinya: Segala harta yang diambil tanpa hak seperti pajak adalah haram. Tidak halal bagi manusia mengambil harta raudaranya dengan tanpa hak. (Liqa'il Bab al-Maftuh).
Dasar hukum:
1. Hadits لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
Artinya: Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. (HR Ibnu Majah)
2. Hadits: لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Artinya: Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim) “ ( HR Abu Daud, hadits ini sahih menurut al-Hakim; dan dhaif menurut AlBani).
3. Hadits: إذا أديت زكاة مالك؛ فقد قضيت ما عليك
Artinya: Apabila kamu sudah menunaikan zakat, maka berarti sudah melaksanakan kewajibanmu (HR Ibnu Hibban).
4. Imam Adz-Dzahabi dalam Kitab Al-Kabair menganggap pemungut pajak/cukai pelaku dosa besar.
المكاس من أكبر أعوان الظلمة، بل هو من الظلمة أنفسهم؛ فإنه يأخذ ما لا يستحق، ويعطيه من لا يستحق
Artinya: pemungut pajak/cukai termasuk orang yang sangat dzalim. Karena ia mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dan memberikan pada yang tidak berhak.
PENDAPAT YANG MENGHALALKAN PAJAK
Jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bahwa pungutan pajak itu halal. Baik ulama mutaqaddimin (ulama klasik), maupun ulama muta'akhirin (kontemporer).
A. ULAMA KLASIK (MUTAQADDIMIN)
Madzhab Syafi'i: Imam Ghazali dalam kitab المستصفى من علم الأصول (I/426) menyatakan bahwa memungut uang selain zakat pada rakyat diperbolehkan apabila diperlukan dan kas di Baitul Mal tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan negara baik untuk perang atau lainnya. Akan tetapi kalau masih ada dana di Baitul Mal, maka tidak boleh.
Madzhab Hanafi: Muhammad Umaim Al-Barkati dalam kitab قواعد الفقه dan kitab حاشية رد المحتارmenyebut pajak dengan naibah (jamak, nawaib). Dia berpendapat bahwa naibah boleh kalau memang dibutuhkan untuk keperluan umum atau keperluan perang.
Madzhab Maliki: Al Qurtubi dalam kitab الجامع لأحكام القرآن (II/242) mengatakan bahwa ulama sepakat atas bolehnya menarik pungutan selain zakat apabila dibutuhkan. Berdasarkan Al Quran وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ (Al Baqarah 2:177).
Madzhab Hanbali: Ulama madzhab Hanbali juga membolehkan pengumpulan pajak yang mereka sebut dengan al-kalf as-sulthaniyah ( الكلف السلطانية) . Bahkan mereka menganggapnya sebagai jihad dengan harta. Ibnu Taimiyah dalam الفتاوى menganggap pajak yang diambil dari orang kaya merupakan jihad harta. Ibnu menyatakan:
وإذا طلب منهم شيئًا يؤخذ على أموالهم ورءوسهم، مثل الكلف السلطانية التي توضع عليهم كلهم، إما على عدد رءوسهم، أو على عدد دوابهم، أو على أكثر من الخراج الواجب بالشرع، أو تؤخذ منهم الكلف التي أحدثت في غير الأجناس الشرعية، كما يُوضع على المتابعين للطعام والثياب والدواب والفاكهة وغير ذلك، يُؤخذ منهم إذا باعوا، ويُؤخذ تارة من البائعين، وتارة من المشترين
B. ULAMA KONTEMPORER (MUTA'AKHIRIN)
Ulama fiqih kontemporer yang membolehkan pajak antara lain Rashid Ridha, Mahmud Syaltut, Abu Zahrah dan Yusuf Qardhawi dengan argumen sebagai berikut:
1. Rashid Ridha dalam Tafsir Al-Manar (تفسير المنار) V/39 dalam menafsiri Quran surat An-Nisai 29 demikian:
ذلك بأن الإسلام يجعل مال كل فرد من أفراد المتبعين له مالا لأمته كلها، مع احترام الحيازة والملكية، وحفظ حقوقها؛ فهو يوجب على كل ذي مال كثير حقوقًا معينة لصالح العامة، كما يوجب عليه وعلى صاحب المال القليل حقوقًا أخرى لذوي الاضطرار من الأمة، ويحث فوق ذلك على البر والإحسان
Arti kesimpulan: ... adanya kewajiban bagi orang kaya untuk memberikan sebagian hartanya (dalam bentuk zakat) untuk kemaslahatan umum, dan mereka hendaknya dimotivasi untuk mereka mengeluarkan uang (di luar zakat) untuk kebaikan.
2. Yusuf Qardhawi (Qaradawi) dalam kitab Fiqhuz Zakah (II/1077) menyatakan
ومن الطبيعي جدًّا أن زيادة عدد السكان تحتاج إلى زيادة في الإنفاق، كل هذا يفتقر إلى مقادير كبيرة من المال، قد تعجز الدولة إيجاده وتوفيره ولا يكون سبيل إلى ذلك إلا بفرض الضرائب؛ وعندها تكون هذه الضرائب نوعًا من الجهاد بالمال، والمسلم مأمور بذلك؛ ليحمي دولته ويقوي أمته ويحمي دينه وماله وعرضه
Arti kesimpulan: Negara terkadang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pembangunannya. Dan tidak ada jalan lain selain dengan mengumpulkan pajak. Dan itu termasuk jihad harta.
3. Mahmud Syaltut, mufti Al-Azhar Mesir dalam kitab Al-Fatawa al-Kubra (الفتاوى الكبرى) menyatakan bahwa
جاز له وقد يجب، أن يضع عليهم من الضرائب ما يحقق به تلك المصالح دون إرهاق أو إعنات
Artinya: ... boleh bagi hakim memungut pajak dari orang kaya untuk kemaslahatan dengan tanpa berlebihan.
4. Muhammad Abu Zahrah membolehkan pajak disamping zakat. Abu Zahrah lebih jauh menyatakan bahwa kalau pajak tidak terdapat pada era Nabi itu disebabkan karena pada masa itu solidaritas tolong menolong antar umat Islam dan semangat berinfak di luar zakat sangatlah tinggi. Dan persaudaraan yang terjalinantara kaum Anshar dan Muhajirin berhasil mempersempit jarak sosial dan ekonomi umat pada saat itu. Sehingga tidak diperlukan campur tangan negara.
APA ITU MUKUS DAN MAKIS
Secara etimologis, mukus bermakna pengurangan atau pendzaliman.
Dalam kitab Aunul Ma'bud, definisi mukus dan makis secara terminologis adalah:
الضريبة التي يأخذها الماكس وهو العشار -ثم قال- وفي شرح السنة: صاحب المكس هو الذي يأخذ من التجار إذا مروا به مكسا باسم العشر
Artinya: Mukus adalah pajak atau pungutan (uang) yang diambil oleh makis (pemungut mukus atau kolektor retribusi) dari para pedagang yang lewat.
Menurut Imam Nawawi, mukus hukumnya haram.
Berdasar hadits sahih riwayat Muslim: والذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له
Arti kesimpulan: seorang perempuan pezina yang betul-betul bertobat itu lebih baik darilpada pemungut mukus.
Apakah pajak atau pungutan yang umum terjadi saat ini di Indonesia atau di negara lain termasuk mukus atau tidak? Menurut Yusuf Qardhawi, pajak yang sekarang berlaku bukan termasuk mukus. Al-Haitsami dalam مجمع الزوائد menyatakan bahwa makis atau orang yang melakukan mukus adalah:
يُحمل صاحب المكس على الموظف العامل الذي يجبي الزكاة فيظلم في عمله، ويتعدى على أرباب الأموال فيأخذ منهم ما ليس من حقه، أو يقل من المال الذي جمعه مما هو حق للفقراء وسائر المستحقين، وقد يدل لذلك ما جاء عن بعض الرواة من تفسير "العاشر" بالذي يأخذ الصدقة على غير حقها
Artinya: Pelaku mukus adalah (a) petugas yang mengumpulkan zakat dan menyelewengkannya yaitu dengan memungut uang melebihi hak pembayar zakat; atau (b) atau mengurangi uang yang semestinya jadi hak penerima zakat. (Al-Haitsami, Mu'jamuz Zawa'id, III/87).
KESIMPULAN HUKUM PAJAK DALAM ISLAM
Pajak hukumnya halal menurut pandangan mayoritas (jumhur) ulama. Baik ulama klasik maupun kontemporer. Adapun yang mengharamkan pajak umumnya didominasi ulama Wahabi dengan argumen bahwa pajak itu sama dengan mukus yang jelas dicela oleh Nabi. Namun, menurut jumhur ulama, pajak bukanlah mukus. Dan karena itu, haramnya mukus tidak bisa dijadikan dalil analogi (qiyas) dengan haramnya pajak yang berlaku saat ini.
DAFTAR ISI
- Pendapat yang Mengharamkan Pajak
- Pendapat yang Menghalalkan Pajak
- Pendapat Ulama Klasik (Mutaqaddimin) tentang Pajak
- Pendapat Ulama Kontemporer (Muta'akhirin) tentang Pajak
- Apa itu Mukus dan Makis
- Kesimpulan Hukum Pajak dalam Islam
PENDAPAT YANG MENGHARAMKAN PAJAK
Kalangan ulama yang berpendapat bahwa pajak itu haram umumnya berdasarkan pada argumen berikut:
(a) Bahwa hak tanggungan satu-satunya terhadap harta adalah zakat. Setelah membayar zakat, maka bebaslah tanggungannya. Karena itu, ...
(b) Tidak boleh bagi penguasa untuk mengenakan atau membebankan tanggungan yang selain zakat seperti pajak, dan lain-lain.
(c) Islam menghormati, mengakui dan melindungi kepemilikan pribadi (al-milkiyyah al-syakhsyiyah الملكية الشخصية). Karena itu, haram mengambil harta seseorang--kecuali zakat--seperti haramnya darah mereka.
(d) Nabi mencela makis (ماكس) yaitu pemungut cukai/pajak jalanan. Kalangan ini menyamakan pajak sekarang dengan istilah mukus di era Nabi.
Ulama kontemporer yang mengharamkan pajak didominasi oleh tokoh ulama Wahabi. Berikut kutipan pendapat mereka:
1. Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan dalam Silsilatul Huda wan Nur demikian:
الضرائب هي مكوس ، وهي مما لا يجوز في الإسلام
Artinya: pajak itu tidak boleh dalam Islam.
2. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam Majmuatul Fatawa VIII/208 menyatakan: . . وأما الشيء الذي هو منكر ، كالضريبة
Artinya: Pajak itu adalah termasuk sesuatu yang munkar.
3. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan:
كل شيء يؤخذ بلا حق فهو من الضرائب، وهو محرم، ولا يحل للإنسان أن يأخذ مال أخيه بغير حق
Artinya: Segala harta yang diambil tanpa hak seperti pajak adalah haram. Tidak halal bagi manusia mengambil harta raudaranya dengan tanpa hak. (Liqa'il Bab al-Maftuh).
Dasar hukum:
1. Hadits لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
Artinya: Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. (HR Ibnu Majah)
2. Hadits: لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Artinya: Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim) “ ( HR Abu Daud, hadits ini sahih menurut al-Hakim; dan dhaif menurut AlBani).
3. Hadits: إذا أديت زكاة مالك؛ فقد قضيت ما عليك
Artinya: Apabila kamu sudah menunaikan zakat, maka berarti sudah melaksanakan kewajibanmu (HR Ibnu Hibban).
4. Imam Adz-Dzahabi dalam Kitab Al-Kabair menganggap pemungut pajak/cukai pelaku dosa besar.
المكاس من أكبر أعوان الظلمة، بل هو من الظلمة أنفسهم؛ فإنه يأخذ ما لا يستحق، ويعطيه من لا يستحق
Artinya: pemungut pajak/cukai termasuk orang yang sangat dzalim. Karena ia mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dan memberikan pada yang tidak berhak.
PENDAPAT YANG MENGHALALKAN PAJAK
Jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bahwa pungutan pajak itu halal. Baik ulama mutaqaddimin (ulama klasik), maupun ulama muta'akhirin (kontemporer).
A. ULAMA KLASIK (MUTAQADDIMIN)
Madzhab Syafi'i: Imam Ghazali dalam kitab المستصفى من علم الأصول (I/426) menyatakan bahwa memungut uang selain zakat pada rakyat diperbolehkan apabila diperlukan dan kas di Baitul Mal tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan negara baik untuk perang atau lainnya. Akan tetapi kalau masih ada dana di Baitul Mal, maka tidak boleh.
Madzhab Hanafi: Muhammad Umaim Al-Barkati dalam kitab قواعد الفقه dan kitab حاشية رد المحتارmenyebut pajak dengan naibah (jamak, nawaib). Dia berpendapat bahwa naibah boleh kalau memang dibutuhkan untuk keperluan umum atau keperluan perang.
Madzhab Maliki: Al Qurtubi dalam kitab الجامع لأحكام القرآن (II/242) mengatakan bahwa ulama sepakat atas bolehnya menarik pungutan selain zakat apabila dibutuhkan. Berdasarkan Al Quran وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ (Al Baqarah 2:177).
Madzhab Hanbali: Ulama madzhab Hanbali juga membolehkan pengumpulan pajak yang mereka sebut dengan al-kalf as-sulthaniyah ( الكلف السلطانية) . Bahkan mereka menganggapnya sebagai jihad dengan harta. Ibnu Taimiyah dalam الفتاوى menganggap pajak yang diambil dari orang kaya merupakan jihad harta. Ibnu menyatakan:
وإذا طلب منهم شيئًا يؤخذ على أموالهم ورءوسهم، مثل الكلف السلطانية التي توضع عليهم كلهم، إما على عدد رءوسهم، أو على عدد دوابهم، أو على أكثر من الخراج الواجب بالشرع، أو تؤخذ منهم الكلف التي أحدثت في غير الأجناس الشرعية، كما يُوضع على المتابعين للطعام والثياب والدواب والفاكهة وغير ذلك، يُؤخذ منهم إذا باعوا، ويُؤخذ تارة من البائعين، وتارة من المشترين
B. ULAMA KONTEMPORER (MUTA'AKHIRIN)
Ulama fiqih kontemporer yang membolehkan pajak antara lain Rashid Ridha, Mahmud Syaltut, Abu Zahrah dan Yusuf Qardhawi dengan argumen sebagai berikut:
1. Rashid Ridha dalam Tafsir Al-Manar (تفسير المنار) V/39 dalam menafsiri Quran surat An-Nisai 29 demikian:
ذلك بأن الإسلام يجعل مال كل فرد من أفراد المتبعين له مالا لأمته كلها، مع احترام الحيازة والملكية، وحفظ حقوقها؛ فهو يوجب على كل ذي مال كثير حقوقًا معينة لصالح العامة، كما يوجب عليه وعلى صاحب المال القليل حقوقًا أخرى لذوي الاضطرار من الأمة، ويحث فوق ذلك على البر والإحسان
Arti kesimpulan: ... adanya kewajiban bagi orang kaya untuk memberikan sebagian hartanya (dalam bentuk zakat) untuk kemaslahatan umum, dan mereka hendaknya dimotivasi untuk mereka mengeluarkan uang (di luar zakat) untuk kebaikan.
2. Yusuf Qardhawi (Qaradawi) dalam kitab Fiqhuz Zakah (II/1077) menyatakan
ومن الطبيعي جدًّا أن زيادة عدد السكان تحتاج إلى زيادة في الإنفاق، كل هذا يفتقر إلى مقادير كبيرة من المال، قد تعجز الدولة إيجاده وتوفيره ولا يكون سبيل إلى ذلك إلا بفرض الضرائب؛ وعندها تكون هذه الضرائب نوعًا من الجهاد بالمال، والمسلم مأمور بذلك؛ ليحمي دولته ويقوي أمته ويحمي دينه وماله وعرضه
Arti kesimpulan: Negara terkadang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pembangunannya. Dan tidak ada jalan lain selain dengan mengumpulkan pajak. Dan itu termasuk jihad harta.
3. Mahmud Syaltut, mufti Al-Azhar Mesir dalam kitab Al-Fatawa al-Kubra (الفتاوى الكبرى) menyatakan bahwa
جاز له وقد يجب، أن يضع عليهم من الضرائب ما يحقق به تلك المصالح دون إرهاق أو إعنات
Artinya: ... boleh bagi hakim memungut pajak dari orang kaya untuk kemaslahatan dengan tanpa berlebihan.
4. Muhammad Abu Zahrah membolehkan pajak disamping zakat. Abu Zahrah lebih jauh menyatakan bahwa kalau pajak tidak terdapat pada era Nabi itu disebabkan karena pada masa itu solidaritas tolong menolong antar umat Islam dan semangat berinfak di luar zakat sangatlah tinggi. Dan persaudaraan yang terjalinantara kaum Anshar dan Muhajirin berhasil mempersempit jarak sosial dan ekonomi umat pada saat itu. Sehingga tidak diperlukan campur tangan negara.
APA ITU MUKUS DAN MAKIS
Secara etimologis, mukus bermakna pengurangan atau pendzaliman.
Dalam kitab Aunul Ma'bud, definisi mukus dan makis secara terminologis adalah:
الضريبة التي يأخذها الماكس وهو العشار -ثم قال- وفي شرح السنة: صاحب المكس هو الذي يأخذ من التجار إذا مروا به مكسا باسم العشر
Artinya: Mukus adalah pajak atau pungutan (uang) yang diambil oleh makis (pemungut mukus atau kolektor retribusi) dari para pedagang yang lewat.
Menurut Imam Nawawi, mukus hukumnya haram.
Berdasar hadits sahih riwayat Muslim: والذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له
Arti kesimpulan: seorang perempuan pezina yang betul-betul bertobat itu lebih baik darilpada pemungut mukus.
Apakah pajak atau pungutan yang umum terjadi saat ini di Indonesia atau di negara lain termasuk mukus atau tidak? Menurut Yusuf Qardhawi, pajak yang sekarang berlaku bukan termasuk mukus. Al-Haitsami dalam مجمع الزوائد menyatakan bahwa makis atau orang yang melakukan mukus adalah:
يُحمل صاحب المكس على الموظف العامل الذي يجبي الزكاة فيظلم في عمله، ويتعدى على أرباب الأموال فيأخذ منهم ما ليس من حقه، أو يقل من المال الذي جمعه مما هو حق للفقراء وسائر المستحقين، وقد يدل لذلك ما جاء عن بعض الرواة من تفسير "العاشر" بالذي يأخذ الصدقة على غير حقها
Artinya: Pelaku mukus adalah (a) petugas yang mengumpulkan zakat dan menyelewengkannya yaitu dengan memungut uang melebihi hak pembayar zakat; atau (b) atau mengurangi uang yang semestinya jadi hak penerima zakat. (Al-Haitsami, Mu'jamuz Zawa'id, III/87).
KESIMPULAN HUKUM PAJAK DALAM ISLAM
Pajak hukumnya halal menurut pandangan mayoritas (jumhur) ulama. Baik ulama klasik maupun kontemporer. Adapun yang mengharamkan pajak umumnya didominasi ulama Wahabi dengan argumen bahwa pajak itu sama dengan mukus yang jelas dicela oleh Nabi. Namun, menurut jumhur ulama, pajak bukanlah mukus. Dan karena itu, haramnya mukus tidak bisa dijadikan dalil analogi (qiyas) dengan haramnya pajak yang berlaku saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar