Senin, 14 April 2014

Al-Qur’an dan Pengakuan-Keselamatan Non-Muslim


Yang menarik, setelah al-Qur'an menjelaskan tentang kitab Taurat dan kitab Injil, ayat berikutnya menjelaskan tentang sebuah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang salah satu fungsinya adalah sebagai pembenar (mushaddiq) terhadap dua kita tersebut, Taurat dan Injil. Inilah bentuk pengakuan terbuka dari Islam terhadap kitab-kitab sebelumnya. Bagi umat Islam, percaya terhadap kitab-kitab Allah menjadi bagian dari enam rukun iman. Sekurangnya, umat Islam mengimani empat kitab Allah, yaitu Zabur, Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Batas minimal mengimani empat kitab suci ini dipahami karena tak seluruh kitab suci atau kitab wahyu disebutkan dalam al-Qur’an dan eksis sampai sekarang.

Islam mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan menerima beberapa prinsip dasar ajarannya. Ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab, setiap agama memiliki kekhasan, keunikan, dan karakteristik yang membedakan antara satu dengan yang lain. Agama yang satu tak membatalkan agama yang lain, karena setiap agama lahir dalam konteks historis dan tantangannya sendiri. Walau begitu, semua agama terutama yang berada dalam rumpun tradisi abrahamik mengarah pada tujuan yang sama, yakni kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat. Dengan memperhatikan kesamaan tujuan ini, perbedaan eksoterik agama-agama mestinya tak perlu dirisaukan. Kesamaan tujuan ini pula yang menyebabkan Islam, di samping melakukan afirmasi terhadap prinsip-prinsip ajaran agama sebelumnya, sekaligus memberi pengakuan teologis akan keselamatan para pengikut agama lain itu.

Ada beberapa ayat yang bisa ditunjuk sebagai bukti pengakuan al-Qur’an terhadap agama-agama lain. Pertama, pengakuan terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam. Taurat dan Injil misalnya disebut al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan) dan penerang (nûr). Allah berfirman di dalam al-Qur’an (al-Ma’idah [5]: 44), “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat yang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya, yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta di kalangan mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya”. Allah berfirman, (al-Ma’idah [5]: 46-47, ”Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israel) dengan Isa ibn Maryam, membenarkan kitab sebelumnya, yaitu Taurat. Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang menerangi dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik”. Disebut dalam al-Qur’an (al-Ma’idah [5]: 66), ”Sekiranya sungguh-sungguh menegakkan Taurat, Injil, dan apa yang diturunkan Tuhan kepada mereka, niscaya mereka akan makan--mendapatkan kemakmuran--dari atas mereka, langit; dan dari bawah mereka, bumi. Di antara mereka ada umat yang lurus, dan kebanyakan mereka adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk”.

Ayat-ayat tersebut memberikan pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci masing-masing sebagai sandaran moral mereka. Ditegaskan, sekiranya mereka berpaling dari kitab sucinya, mereka adalah kafir dan fasik. Menurut analisa Ibn Katsir, orang-orang Yahudi pada zaman Nabi Muhammad banyak yang meninggalkan hukum Taurat. Ayat ini turun mengingatkan orang-orang Yahudi agar kembali kepada hukum yang sudah ditetapkan dalam kitab suci mereka, kitab Taurat. Diketahui bahwa hukum Taurat seperti qishash dan rajam adalah paralel atau dilanjutkan al-Qur'an.

Yang menarik, setelah al-Qur'an menjelaskan tentang kitab Taurat dan kitab Injil, ayat berikutnya menjelaskan tentang sebuah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang salah satu fungsinya adalah sebagai pembenar (mushaddiq) terhadap dua kita tersebut, Taurat dan Injil. Inilah bentuk pengakuan terbuka dari Islam terhadap kitab-kitab sebelumnya. Bagi umat Islam, percaya terhadap kitab-kitab Allah menjadi bagian dari enam rukun iman. Sekurangnya, umat Islam mengimani empat kitab Allah, yaitu Zabur, Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Batas minimal mengimani empat kitab suci ini dipahami karena tak seluruh kitab suci atau kitab wahyu disebutkan dalam al-Qur’an dan eksis sampai sekarang.

Kedua, pengakuan terhadap para pembawa agama sebelumnya seperti Musa dan Isa al-Masih. Sebagaimana perintah mengimani kitab-kitab wahyu, umat Islam diharuskan mengimani para nabi dan rasul, minimal 25 rasul, karena jumlah nabi diperkirakan sampai 124.000 orang nabi dan 315 orang rasul. Menurut Syatha al-Dimyathi, jumlah nabi bisa lebih dari itu. Pengakuan dan iman kepada para nabi ini dipisahkan dari beriman kepada kitab suci karena tak seluruh nabi dilengkapi dengan kitab suci. Nabi Syu’aib misalnya tak membawa kitab suci.

Ketiga, secara eksplisit al-Qur’an menegaskan bahwa siapa saja--Yahudi, Nashrani, Sabi`in, dan lain-lain--yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya akan Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan jerih payahnya. Ayat itu berbunyi, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi’in, dan orang-orang Nashrani, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta melakukan amal kebaikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati” (QS, al-Maidah [5]: 69). Di ayat lain disebut, ”Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS, al-Baqarah [2]: 62).

Ibn Katsir mengutip pendapat al-Suddi bahwa ayat itu turun terkait dengan sahabat-sahabat Salman al-Farisi. Salman bercerita kepada Nabi bahwa sahabat-sahabatnya adalah orang-orang yang shalat, berpuasa, beriman kepada Muhammad, dan bersaksi bahwa Muhammad akan diutus menjadi seorang Nabi. Setelah Salman selesai menceritakan teman-temannya itu, Nabi kemudian bersabda bahwa mereka itu adalah calon penduduk neraka. Mendengar penjelasan Nabi tersebut, Salman berat hati. Maka turunlah ayat yang membantah pernyataan Nabi tersebut. Bahwa orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shabi'ah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta beramal shaleh akan mendapat balasan setimpal dari Allah.

Keempat, al-Qur’an membolehkan umat Islam berteman dengan umat agama lain, selama umat agama lain itu tak memusuhi dan tak mengusir umat Islam dari tempat tinggalnya. Sekiranya mereka melakukan permusuhan dan pengusiran, maka wajar kalau umat Islam diperintahkan melakukan pertahanan dan pembelaan diri. Allah berfirman, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang di antara kalian dengan orang-orang yang kalian musuhi di antara mereka. Allah adalah Maha Kuasa. Allah lagi Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari negeri kalian dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang zalim” (QS, al-Mumtahanah [60]: 7-9).

Dengan empat argumen teologis-Qur’anik itu, dalam konteks ke-Indonesai-an kita tak perlu ragu untuk merajut komunikasi bahkan bekerja sama dengan umat agama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar