Sabtu, 05 April 2014

Adakah Manusia Yang Bisa Bahagia Dengan Duka?


Rasanya tidak mungkin ada manusia yang mau menjadikan duka sebagai suatu kebahagiaan dalam hidupnya. Itulah mengapa banyak orang yang kini rela melakukan kejahatan hanya karena agar dia tidak kehilangan pekerjaan, jabatan, ataupun kehormatan.

Hampir setiap orang menolak yang namanya duka dan berusaha sekuat tenaga untuk hidup bahagia. Akibatnya, tidak sedikit di antara mereka yang bersikap pragmatis, egois, individualis, dan hedonis. Bahkan, mereka mau melakukan apa saja yang penting dia tidak miskin, tidak dikucilkan dan tidak dihukum.

Walaupun kadangkala hatinya menjerit karena letupan-letupan kesadaran yang terkadang muncul akan perilakunya yang telah melanggar aturan Tuhan, mereka tetap saja lebih memilih menjauh dari duka demi hidup bahagia. Ingkar janji, dusta, dan khianat dipaksa menjadi karakter dalam dirinya demi untuk menghindari duka.

Apalagi di zaman sekarang yang himpitan ekonomi begitu berat, kejujuran sudah dianggap bukan masanya lagi, dan korupsi diyakini wajar, sehingga menjadikan sebagian besar umat manusia makin berani menggadaikan imannya. Padahal, kalau dicermati, duka yang mereka hindari dengan cara curang itu, sejatinya adalah jalan tol menuju duka nestapa yang tiada tara.

Duka di dunia hanyalah sementara sebagaimana senang di dunia juga tidak selamanya. Sementara pembalasan Tuhan pasti adanya. Seorang Muslim wajib untuk hidup dengan tidak melanggar aturan Tuhan. Sekalipun terkadang untuk hidup seperti itu harus banyak melakukan pengorbanan, merasakan penderitaan, kesengsaraan, dan duka nestapa yang mendalam.

Tetapi, itulah mahar yang harus kita berikan untuk bisa mendapat kebahagiaan abadi di dalam surga. Apabila kita telah memahami hal ini, insya Allah kita akan bisa menjalani hidup ini tetap bahagia meskipun harus bersahabat dengan duka. Duka sejatinya adalah mahar untuk bahagia.

Hal itulah yang dilakukan oleh Nabi Yusuf AS. Sejak kecil dia hidup tidak dalam kebahagiaan. Dia menjadi anak Nabi Ya’kub yang dibenci oleh saudara-saudaranya dia pun harus rela dilempar ke dalam sumur. Kemudian, dia hidup sebatang kara di negeri orang dengan status sebagai budak belian.

Tak cukup di situ, Nabi Yusuf juga difitnah, hingga harus mendekam dalam penjara. Tetapi, semua itu dilalui dengan nuansa hati yang tetap bersih dari kotoran nafsu. Kebersihan hatinya membuatnya rela di penjara.

“Yusuf berkata, ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh’." (QS Yusuf : 33).

Demikianlah sikap Nabi Yusuf terhadap duka dalam hidupnya. Setiap fase ujian, dilaluinya dengan penuh kesabaran dan harapan akan pertolongan Allah SWT. Hingga ia diangkat derajatnya oleh Allah SWT dengan menjadi pengelola ekonomi di Mesir.

Islam sebagai deen yang sempurna telah memberikan pedoman yang lengkap bagi manusia dalam menghadapi berbagai peristiwa, baik suka maupun duka. Sabda Nabi SAW:

"Sungguh menakjubkan keadaan orang yang beriman, kerana semua perkara adalah baik baginya, dan itu tidak terjadi kepada sesiapa pun kecuali kepada orang yang beriman. Jika dia mendapat nikmat, dia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika dia ditimpa musibah, dia bersabar, maka itu pun baik baginya." (HR Muslim).

Salah satu ajaran Islam adalah berkenaan bagaimana seseorang itu menghadapi musibah. Sebahagian ulama mendefinisikan musibah dengan makna: "segala apa yang dibenci yang terjadi pada manusia" (kullu makruuhin yahullu bi al-insan) (Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, h. 527). Musibah banjir, Tsunami, gempa bumi dan lain-lain benar-benar telah menyebabkan pelbagai perkara yang dibenci berlaku seperti robohnya rumah kediaman, kematian anggota keluarga, rosaknya perkakas rumah dan sebagainya.

Jadi, bagaimanakah Islam memberikan pedoman kepada kita apabila berlakunya musibah? Bagi sahibul musibah (yang terkena musibah), Islam memberikan pedoman sebagai berikut :

1. Iman Dan Ridha Terhadap Ketentuan (Qadha') Allah

Kita wajib beriman bahwa segala musibah yang berlaku seperti gempa bumi, banjir, wabah penyakit adalah ketetapan daripada Allah SWT di Lauhul Mahfuz. Kita juga wajib menerima ketentuan Allah ini dengan berlapang dada (ridha). Allah SWT berfirman :

"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (TMQ al-Hadid [57] : 22)

Oleh sebab itu, adalah tidak benar jika ada orang berkata, “gempa bumi itu terjadi karena ada roh yang sedang marah”. Sebaliknya, bencana itu berlaku karena ia adalah ketentuan daripada Allah SWT dan bukannya ketentuan daripada orang lain.

Kita wajib menerima takdir Allah ini dengan penuh ridha, bukan dengan perasaan geram atau marah kepada Allah SWT misalnya dengan berkata, "Ya Allah, mengapa harus aku? Apakah dosaku ya Allah?". Sikap yang demikian adalah sangat biadab. Allah SWT berfirman :

"Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dilakukan, tetapi merekalah yang akan ditanya”. [TMQ al-Anbiyaa` (21) : 23]

2. Sabar Menghadapi Musibah

Menurut Imam As-Suyuthi dalam tafsir al-Jalalain, sabar adalah menahan diri daripada segala apa yang dibenci (al-habsu li an-nafsi ‘alaa maa takrahu). Sikap inilah yang wajib dimiliki ketika kita menghadapi musibah. Selain itu, kita disunnahkan untuk mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun) ketika berlaku musibah. Allah SWT berfirman :

"Dan sesungguhnya akan Kami berikan ujian kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" . [TMQ al-Baqarah [2] : 155-156]

Maka dari itu bersabarlah. Jangan sampai kita hilang perasaan sabar dengan berputus asa atau berprasangka buruk seakan-akan Allah tidak akan memberikan kita kebaikan pada masa depan. Ingatlah bahwa putus asa itu adalah su`uzh-zhan billah (berburuk sangka kepada Allah)! Su`uzh-zhan kepada manusia pun tidak dibolehkan, apa lagi kepada Allah SWT. Na’uzubillahi min zalik.

Realitanya, orang yang ditimpa musibah akan mudah sekali terjerumus untuk bersikap putus asa (surah ar-Rum ayat 36). Allah SWT menegaskan bahwa sikap tersebut adalah sikap yang kufur sebagaimana firmanNya :

"Sesungguhnya tiada berputus asa daripada rahmat Allah melainkan kaum yang kafir." [TMQ Yusuf (12) : 87] .

3. Mengetahui Hikmah Di Sebalik Musibah

Seseorang Muslim yang mengetahui hikmah di balik musibah akan memiliki kekuatan mental yang baik. Berbeda dengan orang yang hanya memahami musibah secara cetek yaitu dengan hanya melihat secara luarnya saja. Mentalnya sangat lemah dan mudah mengeluh atas segala musibah yang menimpa. Sabda Rasulullah SAW :

"Tiadalah seorang Mukmin yang ditimpa musibah tertusuk duri atau lebih (na'as) daripada itu melainkan dengannya (musibah tersebut) Allah akan menghapuskan sebahagian daripada dosa-dosanya." [HR Bukhari dan Muslim]

Hikmah lain adalah jika anak-anak Muslim meninggal, kelak mereka akan masuk ke syurga. Sabda Nabi SAW :

"Anak-anak kaum Muslimin (yang meninggal) akan masuk ke dalam syurga." [HR Ahmad]

4. Tetap Terus Berikhtiar

Maksud ikhtiar ialah tetap melakukan pelbagai usaha untuk memperbaiki keadaan dan menghindarkan diri dari bahaya yang muncul. Kita tidak disuruh untuk berdiam diri atau pasrah berpangku tangan memangku dagu dengan menunggu bantuan datang ketika musibah menimpa kita.

5. Memperbanyakkan Berdoa Dan Berzikir

Kita sentiasa dianjurkan untuk memperbanyakkan doa dan zikir bagi orang yang ditimpa musibah. Orang yang mahu berdoa dan berzikir adalah lebih mulia di sisi Allah daripada orang yang enggan atau malas. Rasululah SAW mengajarkan doa bagi orang yang ditimpa musibah: "Allahumma jurnii fii musiibatii wa akhluf lii khairan minhaa” (Ya Allah, berilah pahala dalam musibahku ini dan berilah ganti bagiku yang lebih baik daripadanya.) [HR Muslim].

6. Bertaubat

Terdapat 3 rukun dalam melakukan taubat nasuha. Pertama, menyesali atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Kedua, berhenti melakukan perbuatan dosa-dosanya itu. Ketiga, berazam (tekad yang kuat) untuk tidak akan mengulangi lagi dosa-dosa tersebut di masa akan datang. Jika dosa-dosanya berkaitan hubungan sesama manusia seperti belum membayar hutang, pernah memfitnah atau mengumpat seseorang, pernah menyakiti perasaan orang lain dan sebagainya, maka rukun taubat ditambah satu lagi yaitu menyelesaikan masalah urusan sesama manusia dan memohon maaf.

7. Tetap Istiqamah Dengan Islam
Di sinilah seseorang Muslim itu dituntut untuk terus bersikap istiqamah, yaitu konsisten di atas satu jalan dengan mengamalkan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan (mulazamah al-thariq bi fi’li al-wajibat wa tarki al-manhiyyat). Allah SWT telah mewajibkan kita untuk beristiqamah :

"Maka tetaplah kamu (di jalan yang benar) sebagaimana yang diperintahkan kepadamu dan orang yang telah bertaubat bersama kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan". [TMQ Huud [11] : 112].

"Barangsiapa yang murtad di antara kamu daripada agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." [TMQ al-Baqarah [2] : 217]

Khatimah

Demikianlah Islam memberi pedoman kepada pemeluknya ketika ditimpa berbagai musibah dalam kehidupan yang penuh pancaroba, khususnya bagi sahibul musibah (yang terkena musibah). Dengan berpegang teguh pada pedoman-pedoman Islam di atas, mudah-mudahan Allah SWT akan memberikan rachmat, hidayah dan ‘inayahNya kepada kita semua, insyaAllah. Amin ya rabbal 'alamin.

1 komentar: