Minggu, 29 Juni 2014

Muttafaqun Alaih

Apa Itu Hadist ‘Muttafaq’alaihi’?
Selama ini mungkin kita kadang agak bingung jika menemukan hadist kemudian perawinya adalah muttafaq’alaihi. Karena biasanya yang sering kita dengar adalah HR. Bukhori ataupun HR Muslim. Apa artinya alaihi ini sebenarnya?

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzCSHBeKUyOUkEUC4EkTX5IQN9QfO9UN7qmZvfLdVI6ftyk40EaCc6LutVu_ynGvI8PdV4fprHqgQf1i0h9O_9LvD_PIPxaN99PG3pkCUoihc0cJ22aQOTXzMdoRjOwZ2jKTh3ggRzBr4/s320/annisa.jpg
Hadits secara harfiah berarti “berbicara”, “perkataan” atau “percakapan”. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW. Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi’tsah) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda. Istilah muttafaq ‘alaih secara bahasa berarti disepakati atasnya. Dalam ‘urf para ahli hadis, istilah ini biasanya digunakan untuk hadis yang disepakati kesahihannya oleh dua imam hadis: Imam al-Bukhâri dan muridnya, Imam Muslim-rahimahumallâh. Atau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari – Muslim. [hacmadi]

Muttafaqun 'alaih

PENDAHULUAAN
Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan nikmat kepada kita semua dan selawat beserta salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad saw.

Kaedah-kaedah fiqh adalah merupakan kaedah atau pedoman yang memudahkan untuk mengistinbat hukum bagi suatu masalah. Mengingat pentingnya agar kaedah-kaedah itu dapat dengan mudah dipahami maka kami mencoba dalam makalah yang singkat ini mencantumkan beberapa kaedah-kaeadah fiqh baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan walaupun pembahasan kami ini hanya beberapa kaedah saja.

Kami menyadari dalam makalah ini masih bayak terdapat kekurangan maka kami meminta keritikan yang membangun dari teman-teman dalam rangka perbaikan makalah ini.dan tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak dosen yang tidak bosan-bosannya mengajari kami dan membimbing kami dalam penyelesain makalah ini. Dan mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfa’at bagi kita semua. Amin ya rabbal ‘alamin.

PEMBAHASAN

A. Muttafaq ‘alaihi (متفق عليه )

Dalam pembahasan ini akan dikupas tentang empat puluh kaedah, walaupun kaedah ini kududukannya bukan ksebagai kaedah asasiah namun kedudukannya sangat penting dalam hukum islam, dan para fuqahapun telah sepakat tentang kehujahan ini. karena dengan berpijak kepada empat puluh kaedah ini akan dapat menentukan berbagai macam hukum yang tidah terhingga, dan tentu saja kaedah tersebut tidak lepas dari sumber-sumber hukum islam, karena itulan kaedah ini disebut sebagai ‘‘kaedah kulliah’’.( kaedah yang universal).[1] Kaedah-kaedah tersebut ialah.

1. الاجتهاد لاينقض بالاجتهاد

‘‘Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad’’
Maksud kaedah terdebut adalah kaedah yang telah disepakati sebelumnya tidak dapat diganggu gugat atas ijtihad yang baru, karena kedudukan masing- masing ijtihad sama,

karena itu masing-masing ijtihad tidak ada yang lebih istimewa, sehingga masing- masing tidak dapat membatalkan.

Yang dijadikan dasar oleh para ulama’ tentang kaedah ini adalah ijma’ para shahabat Ra. Sebagaimana yang telah dinukil oleh imam Ibnu Shibagh, bahwasanya shahabat Abu Bakar Ra. pernah berijtihad mengenai hukum dari beberapa kasus akan tetapi setelah itu shahabat Umar berijtihad juga, yang mana ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihadnya shahabat Abu Bakar, akan tetapi hasil ijtihad yang pertama tidak menjadi batal dengan ijtihad yang kedua.[2]
Walaupun demikian bisa juga hasil ijtihad dibatalkan oleh ijtihad yang lain dengan ketentuan sebagai berikut:

a. ijtihad yang kedua kebih kuat dari ijtihad yang pertama, misalnya qoul jadidnya Imam Syafi’i dapat mengubah qoul qodimnya.
b. ijtihad terdahulu tidak relevan dengan kondisi atau keadan yang dihadapi desa ini, sehingga hasil ijtihad terdebut perlu direfisi sebagaimana dalam kaedah fiqih:

تغير الاحكام بتغير الازمنة والا مكنة والاحوال

Contoh kaedah diatas, bila seorang mau shalat tetapi tidak menemukan air maka ia berijtihad untuk bertayamum, selesai shalat ia menemukan air maka ia tidak wajib mengulang shalatnya

2. اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام

‘‘Apabila antara yang halal dan haram berkumpul maka dimenangkan yang haram.

Pada kaedah ini disebutkan adanya perioritas bagi mendahulukan yang haram, ini berarti bahwa apabila ada dua dalil yang bertentangan mengenai suatu masalah ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan maka dua dalil itu dipilih yang meng haramkan karena itu lebih hati- hati (ikhtiyath), misalnya ketetapan khalifah Utsman bin Affan ketika ditanya tentang ketentuan mengawini dua saudara, yang satu bersetatus

merdeka dan yang lainnya budak, menurut al-Quran tidak boleh mengumpulkan dua saudara perempuan untuk dinikahi.

3. اذا جتمع في العبادة جانب الحضر وجانب السفر غلب جانب السفر

‘‘apa bila aspek dirumah dengan aspek barpergian berkumpul dalam satu ibadah, maka dimenangkan yang aspek berpergian.
Misalnya seorang yang telah berpuasa dirumah, kemudian ditengah tengah siang ia berpergian, maka diharamkan berbuka puasa.

4.اذا تعارض والمقتضي قدم المانع

‘’Apabila yang mencegah dan yang mengharusakn berlawanan, maka didahulukan yang mencegah’’.

Misalnya ada seorang mati syahid dalam keadan junub, orang junub diserukan untuk mandi sedangkan orang mati syahid dilarang dimandikan, maka menurut kaedah diatas orang tersebut tidak perlu dimandikan, bahkan diharamkan jika air untuk memandikan terlalu sedikit atau kondisi dalam keadaan darurat.

5.الايثار باالقرب مكروه و في غيرها محبوب

‘Mengutamakan orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah dianjurkan’’.

Kaedah tersebut diambil dari firman Allah dala surat al Hasyr ayat 9 sebagai berikut:

 وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah, dan telah beriman (Anshar), sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka, terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." – (QS.59:9)

Misalnya dalam kaitan ibadah seseorang tidak boleh mendahulukan orang lain dan mengalahkan dirinya sendiri, seperti mendapatkan kesempatan barisan pertama dalam shalat, mendapatkan kesempatan bersuci dalam berwudu’. Sedang masalah kedunian maka disunahkan mendahulukan orang lain, seperti mendahulukan orang lain menerima harta zakat, mendahulukan kesempatan orang lain dalam bekerja.

6. التابع تابع

‘‘pengikut (hukumnya ) itu sebagai yang mengikuti.
Termasuk dalam katagori kaedah diatas sebagai berikut:

a. التابع لايفرد بالحكم

‘‘pengikut tidak diberi hukum tersendiri’’
Misalnya anak kambing dalam perut tidak boleh dijual dengan sendirinya, terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing tersebut.

b. ساقط بسقوط المتبوع التابع

‘‘pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti.’’

Misalnya tidak boleh mengawini saudara wanita istri, namun jika istrinya telah dicerai maka wanita tersebut boleh dikawini. demikian juga apabila batal jaminan keamanan pada suatu Negara maka batal pula jaminan keamanan terhadap anak dan istri mereka, karena anak dan istri sebagai pengikut saja.

تصرف الامام علي رعية منوط بالمصلحة 7

‘‘Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.’’

Kaedah tersebut bersumber dari perkataan imam syafi’I bahwa kedudukan imam terhadap rakyatnya sama dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. kemudian setelah ditelusuri lebih jauh ternyata perkataan itu berasal dari umar bin khattab yang berbunyi,

sesungguhnya aku menepatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil dari padanya, dan apabila ada sisa akan aku kembalikan, dan ketika aku tidak membutuhkan maka aku akan menjauhinya.

Kemaslahatan yang ditempuh pemimpin harus mempertimbangkan kemaslahatan yang universal mencakup totalitas masyarakat, tidak mementingkan golongan atau individidu.

الحدود تسقط بالشبهاة 8

‘‘ Hukuman had gugur apabila masih meragukan (syubhat).’’

Had adalah hukuman yang telah ditentukan batas kadarnya. Karena melanggar jarimah yang merupakan hak Allah, seperti hukuman potong tangan bagi pencuri, hukuman dera atau razam bagi penzina.

Contoh hukuman yang masih subhat adalah adanya hubungan seksual laki-laki terhadap wanita yang dikiranya istrinya.

الحرلايدخل تحت اليد 9

‘‘Orang yang merdeka tidak masuk dalam belenggu kekuasaan.’’
Misalnya seorang merdeka dipenjara karena melakukan kesalahan, dan ketika dipenjara mati terkena runtuhan, maka kematiannya tersebut tidak mewajibkan ganti rugi bagi pihak keamanan,namun kalau kematian itu seorang hamba maka pihak keamanan harus menggati rugi kepada tuannya karena budak meskipun manusia dia diibaratkan sebagai harta benda yang dapat dijual dan diwariskan.

B. Mukhtalaf ‘alihi (مختلف عليه)

Kaedah-kaedah yang dipersilisihkan ini, tidak dapat dikuatkan salah satunya, karena perselisihannya dalam furu’. Atau masing-masing punya dalil yang tidak dapat dikesampingkan. Kaedah- kaedah yang seperti ini jumlahnya ada dua puluh.[3]yaitu;

1.الجمعة ظهر مقصورة او حالها قولان صلاة علي

‘‘sholat jum’at merupakan shalat zuhur yang dipendekan, ataukah merupakan sholat menurut keadannya yang semestinya’’.

Dalam hal ini ada dua pendapat :Diantara furu’ yang berkenaan dengan kaedah ini adalah:

Sholat jum’at benar dikatakan sebagai: zuhur yang dipendekan’’ dalam hubungannya dengan orang yang sedang musafir. Orang yang musafir boleh menjama’ sholat dengan sholat ashar, karena shalat jum’at merupakan sholat zuhur yang dipendekan.

Kalau sholat jum’at itu merupakan `sholat menurut keadaan yang semestinya maka tidak boleh dijama’ dengan sholat ashar. Dalam mengerjakan sholat jum’at itu harus tegas berniat sholat jum’at. Disebabkan disyariatkannya niat diantaranya adalah untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya.
Kalau sholat jum’at dilaksanakan dengan niat sebagai ‘‘Dzuhur Maqshuroh’’ terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan sah sholat jum’atnya karena sudah sesuai dengan hakikatnya, dan ada yang mengatakan tidak sah Karena niat fungsinya diantaranya adalah untuk membedakan amal satu dengan amal yang lain.

2. الصلاة خلف المحدث المجهول الحال اذا قلنا بالصحة هل هي صلاة جماعة او انفراد وجهان

‘‘sholat makmum dibelakang orang yang berhadast yang tidak diketahui keadaannya. Apabila kita katakan sholatnya sah, maka sholatnya itu merupakan sholat jama’ah ataukah sendiri’’.

Ada dua pendapat: Diantaranya furu’ dari kaedah ini adalah: seandainya imam telah lupa bahwa dia telah berhadast, atau makmum yang lupa akan hadastnya imam, kemudian ingat dan memisahkan diri sebelum salam, maka kalau dikatakan sholatnya jama’ah ,maka hendaknya makmum sujud syahwi karena lupanya imam, bukan karena kelupaan mereka.

Pendapat bahwa sholat mereka jama’ah adalah pendapat yang lebih soheh. Kalau makmum mendapatkan imam sedang ruku’ kemudian mengikutinya, kemudian mengetahui tentang hadastya imam sebelum salam dan memisahkan diri, maka yang lebih sah adalah sholatnya dianggap sendiri, dan rokaat pertama bersama imam Dianggap tidak sah

3.من اتي بما ينافي الفرض دون النفل في اول فرض او اثناءه بطل فرضه وهل تبقي صلاته نفلا او تبطل فيه قولان

‘‘barang siapa melakukan perbuatan yang membathalkan perbuatan fardunya, bukan perbuatan yang sunah, diawal perbuatan fardunya atau ditengah-tengahnya, maka batal fardunya, dan apakah sholat fardunya menjadi sholat sunah atau batal’’.
Ada dua pendapat, di antara furu’ nya adalah:

Apabila orang melakukan sholat fardu kemudian karena untuk dapat mengikuti sholat jama’ah, maka dia salam setelah dua rakaat, maka sholatnya sah dan menjadi sholat sunah. Demikian pula apabila dia melakukan takbiratul ihram untuk sholat fardu sebelum masuk waktu karena tidak mengetahui, maka sholatnya sah dan menjadi sholat sunah.

Apabila dalam melakukan sholat fardu tadi dia sudah tau bahwa akan ada sholat jama’ah atau kalau dia membatalkan itu, kemudian dia menukar fardunya, bukan perbuatan yang sunah, diawal perbuatan fardunya atau ditengah-tengahnya, maka batal fardunya, dan apakah sholat fardunya menjadi sholat sunah atau batal’’.

4. النذر هل يسلك به مسلك الواجب او الجائز قولان

‘‘pelaksanaan nazar apakah harus dilaksanakan seperti melaksanakan pekerjaan wajib, ataukah boleh dilaksakan seperti melaksanakan perbuatan jaiz.
Ada dua pendapat:

Di antara furu’ yang berkenaan dengan kaedah ini adalah :
Apabila nadzar sholat, puasa atau kurban. Nadzar sholat harus dilaksanakan seperti melaksanakan shalat wajib, sehingga harus berdiri kalau mampu.dan begitu pula puasa harus berniat pada waktu masih malam, dan kalau kurban harus cukup umur dan tidak cacat. Demikian pula nazar puasa hari tertentu, atau nazar sholat dua rokaat. Nazar puasa hari tertentu dapat dilaksanakan dengan cara tidak seperti melakukan puasa Ramadan yang berhubungan dengan niat dan wajib membayar kafarat jika melakukan hubungan diwaktu siang. Sedangkan sholat dua rokaat dilaksanakan dengan cara dengan melaksanakan sholat empat rokaat satu salam, baik dengan dua tasyahud maupun satu tasyahud.

5. هل العبرة بصيغ العقود او بمعانيها خلاف

‘‘yang dianggap itu apakah siqhat lafaz atau maknanya’’
Ada beberapa perbedaan pendapat. Diantara furu’ kaedah ini adalah:

Apabila orang berkata: saya beli baju dari kamu dengan syarat-syarat demikian, dan uangnya sekian, kemudian penjualnya mengatakan: ya jadi’’maka menurut lafaz dianggap jual beli, dan menurut maknanya adalah salam.
Apabila seseorang memberi dengan syarat memberi imbalan apakah itu termasuk jual beli berdasarkan makna, ataukah hibah berdasarkan lafaz.maka dalam hal ini yang lebih sah adalah jual beli.

Apabila orang berkata : saya jual barang ini kepadamu, dengan tidak menyebutkan harganya.apabila dilihat dari maknanya maka berarti hibah, tetapi dari segi lafaz berarti jual beli, dan demikian itu adalah jual beli yang fasit.

6. العين المستعارة للرحن هل المغلب فيها جانب الضمان او جانب العارية قولان

‘‘barang yang dipinjam untuk gadai, apakah yang lebih umum pada barang itu berlaku segi dloman(borg/ jaminan)ataukah segi pinjaman.
Ada dua pendapat:

Diantara furu’ yang berkenaan dengan kaedah ini adalah.

Sesudah barang pinjaman untuk borg gadai dipegang oleh pemberi gadai, apakah orang yang mempunyai barang meminta kembali barang tersebut.
Kalau barang tersebut dianggap sebagai barang pinjaman maka boleh diminta kembali tetapi kalau sebagi barang jaminan, tidak dapat kembali inilah yang lebih sah.

7. الحوالة هل هي بيع او استيفاع خلاف

‘‘hiwalah (memindahkan hutang )itu merupakan jual beli ataukah kewajiban yang harus dipenuhi’’

Ada beberapa pendapat:
Furu’ yang berkenaan dengan kaedah ini adalah:
Apakah dalam Hiwalah itu ada khiyar?

Kalau dianggap sebagai kewajiban yang harus di penuhi maka tidak ada khiyar.
Apabila ada seseorang yang mempunyai hutang memindahkan pembayaran hutang (muhil)kepada orang berpiutang (muhtal) dari dirinya kepada orang ketiga (muhal ‘alaihi), kemudian orang yang berpiutang meminta jaminan barang dari orang ketiga yang harus membayar kepadanya, maka disini ada dua kemunkinan:

    apa bila dianggap sebagai jual beli, boleh minta persyaratan yang demikian
    tetapi kalau dianggap sebagai ‘‘istifa’’tidak boleh .

dan pendapat kedua inilah yang lebih sah.

8. الابراء هل هو اسقاط او تمليك قولان

‘‘pembebasan hutang apakah merupakan pengguguran hutang ataukah merupakan pemberian untuk dimiliki.

Ada dua pendapat: diantara furu’ dalam kaedah ini adalah: pembebasan hutang yang tidak diketahui jumlahnya oleh orang yang membebaskan,maka disini yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki, tidak sah pengguguran.
Sedangkan kalau pemberi pembebasan tau jumlah hutang, maka yang lebih sah adalah isqoth. Demikian juga pembebasan hutang terhadap salah satu dari dua orang, maka disini yang lebih sah adalah tamlik (pemberian untuk dimiliki)dan tidak ibra’, juga kalau ibra’ ya dikaitkan dengan sesuatu (keadaan tertentu) maka yang lebih sah adalah tamlik, kalau di syaratkan adanya qobul (penerimaan) maka nyang lebih sah adala isqot.

Dalam tamlik tidak disyaratkan adanya qobul.
[1] Kaedah-kaedah istinbat hukum islam, mukhlis usman , cet 1 hal 144.
[2] Al-isbah wan-naza’ir, assuyuti, dar-alfikr, hal 134.
[3] Kaedah-kaedah iilmu fiqh, abd mujib, cet 2.hal 102.

Kaidah-Kaidah Fiqh Yang Muttafaq 'Alaih

Kaidah-kaidah fiqh adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumna di nash. Adapun manfaatnya adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi fiqh yang lain yang tersebar di berbagai kitab fiqh serta memudahkan di dalam memberikan kepastian hukum.

Di bawah ini diuraikan beberapa kaidah fiqh yang terdapat di dalam beberapa kitab-kitab kaidah yang dianggap mencakup pula kepada berbagai bidang fiqh, antara lain:

1.      Kaidah Fiqh Pertama

الاجتهاد لاينقص بالاجتهاد

“ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian”
Maksud dari kaidah di atas adalah bahwa suatu hasil ijtihad di masa lalu tidak berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam kasus yang sama. Seperti yang dikatakan oleh Umar Ibn al-Khattab:” itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”

Contoh dari kaidah di atas adalah bila seseorang menginginkan sholat akan tetapi tidak menemukan air, maka ia diperbolehkan untuk bertayamum (ijtihad I), seusai sholat ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang sholatnya (ijtihad II). Contoh lain adalah seorang hakim dengan ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku kejahatan dengan dijatuhi hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, datang lagi pelaku kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan lain yang berbeda dengan  pelaku kejahatan yang pertama. Jadi bukan keadilan yang berbeda, tapi pertimbangan keadaan dan hukumnya yang berbeda, maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi dan lain-lain.

2.      Kaidah Fiqh Kedua

الايثار بالقرب مكروه وفى غيرها محبوب

“mengutamakan orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah disenangi”

Kaidah di atas menjelaskan bahwa tidak boleh mendahulukan orang lain dalam hal ibadah seperti mendapatkan kesempatan barisan pertama dalam sholat, meminang seorang wanita dan mendapatkan kesempatan air suci dalam berwudhu. Sedang dalam masalah keduniaan maka disunnatkan mendahulukan orang lain seperti mendahulukan orang lain dalam menerima zakat dan lain-lain.

3.      Kaidah Fiqh Ketiga

اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام

“apabila antara yang halal dan yang haram berkumpul maka dimenangkan yang haram.”

        Pada kaidah tersebut menunjukkan adanya prioritas untuk mendahulukan yang haram, ini berarti apabila ada dua dalil yang bertentangan mengenai satu masalah, ada yang menghalalkan dan ada pula yang mengharamkan, maka dua dalil itu dipilih yang mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat. Seperti ketetapan khalifah Utsman bin Affan ketika ditanya ketentuan mengawini dua saudara, yang satu berstatus merdeka dan yang lain berstatus budak sahaya. Dalam QS. An-Nisa’:22, tidak boleh mengumpulkan dua saudara wanita untuk dinikahi. Sedang dalam QS. An-Nisa’:23, memperbolehkannya asal yang satu menjadi budak sahaya, maka keputusan beliau adalah melarangnya, sesuai dengan kaidah di atas.

4.      Kaidah Fiqh Keempat

التابع تابع

“pengikut (hukumnya) itu tetap sebagai pengikut yang mengikuti”

Cabang dari kaidah ini adalah :

التابع لايفرد بالحكم

“pengikut itu tidak menyendiri di dalam hukum”
Contohnya : anak kambing di dalam perut tidak boleh dijual dengan sendirinya, terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing tersebut.
Cabang Kedua:

التابع ساقط بسقوط المتبوع

“pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”
Contohnya: tidak boleh mengawini saudara wanita istri, tapi jika istrinya telah dicerai maka wanita tersebut boleh dikawininya.
Cabang Ketiga :

التابع لايتقدم على المتبوع

“Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”
Contohnya : tidak sah makmum mendahului imam.
Cabang Keempat :

يغتفر فى التوابع مالا يغتفر فى غيرها

“dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya : mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya sudah rusak, maka wakaf itu sah, karena yang rusak adalah tanaman yang mengikuti kebun.

5.      Kaidah Fiqh Kelima

تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة

“tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatannya”

Kaidah tersebut bersumber dari perkataan Imam Syafi’I, bahwa kedudukan imam (Pemimpin) terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Ungkapan tersebut berasal dari qaul Umar bin Khattab yang berbunyi “sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”. Jadi, kaidah di atas menyangkut kebijakan pemimpin harus bertujuan memberi kemaslahatan manusia.

6.      Kaidah Keenam

الحدود تسقط بالشبهات
 
“hukuman had gugur bila masih meragukan (Syubhat)”

    Contohnya : hubungan seksual laki-laki terhadap wanita yang dikira    istrinya. Hal ini tidak dapat dijatuhkan had sebab hukumnya masih syubhat.

7.      Kaidah Ketujuh

الحريم له حكم ما هو حريم له

“yang menjaga sesuatu hukumnya sama dengan apa yang dijaga”

Contoh : wajib mencuci sebagian leher dan kepala ketika mencuci muka, sebagian lengan atas (sampai siku-siku), mencuci sebagian atas mata kaki dalam wudhu.

8.      Kaidah Kedelapan

اذاجتمع امران من جنس واحد لم يختلف مقصودهما دخل احدهما فى الاخر غالبا
       
“apabila dua perkara sejenis berkumpul serta tidak berbeda maksudnya, maka yang satu dimasukkan kepada yang lain menurut kebiasaannya”

Contoh : seseorang yang berhadas kecil dan berhadas besar kemudian ia mandi untuk menghilangkan hadas besar, maka kedua hadas tersebut sudah hilang. Karena kedua masalah tersebut sama, yang besar dapat mengikuti yang kecil, namun sebaliknya tidak. Demikian juga dengan seseorang yang terbiasa berpuasa senin kamis kemudian di tujuh hari pertama bulan syawal berpuasa, maka kedua puasa itu dianggap sah dan mempunyai dua pahala.

9.      Kaidah Kesembilan

اعمال الكلام اولى من اهماله

“mengamalkan suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya”

Contoh : seseorang mengatakan kepada istrinya “engkau saya talak, engkau saya talak” dengan tidak ada niatan dalam pengulangan itu, maka pengulangan itu dianggap ta’sis, yakni jatuhnya dua talak, bukan sebagai penguat talak satu.
 
10.   Kaidah Kesepuluh

الخرج بالضمان

“berhak mendapatkan hasil disebabkan karena keharusan mengganti kerugian”


Contoh : seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi, sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.

11.  Kaidah Kesebelas

الخروج من الخلاف مستحب

“keluar dari pertentangan itu diutamakan”

Contoh : membasuh atau mengusap sebagian rambut kepala dalam berwudu. Bagi Imam Syafi’I cukup mengusap sebagian kecil, sedang Imam Abu Hanifah memberi batasan minimal sepertiga rambut kepala, sedangkan Imam Malik mengharuskan keseluruhannya. Agar tidak terjadi kekhilafan maka terbaik mengikuti Imam Malik, karena itu berarti mengikuti pula pendapat Imam Syafi’I dan Imam Abu  Hanifah. Lagi pula kedua imam tersebut memberi hukum sunnat terhadap pengusapan keseluruhan.
 
12.  Kaidah Fiqh Kedua Belas

الدفع ى من الرفعاقو

“menolak gugatan lebih kuat dari pada menggugat”

Contoh : untuk menjadi pemimpin memerlukan persyaratan-persyaratan. Maka lebih mudah menolak calon-calon yang tidak memenuhi syarat daripada menggugat pemimpin yang sudah diangkat.

13.  Kaidah Fiqh Ketiga Belas

الرخص لاتناط بالمعاصى

“keringanan-keringanan tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”

Contoh : tidak diperkenankan mengqashar atau menjamak shalat atau juga berbuka puasa di bulan ramadhan ketika dalam perjalanan menuju maksiat, misalnya untuk berjudi, bertemu dengan wanita atau lelaki yang tidak halal dengan tujuan berkhalwat dan lain-lain.

14.  Kaidah Keempat Belas

الرخص لاتناط بالشك

“keringanan-keringanan tidak dikaitkan dengan keragu-raguan”

Contoh : seseorang ragu seberapa jauh jarak yang dia tempuh dalam perjalanan, maka kondisi seperti ini ia tidak boleh menjamak atau mengqashar sholat.

15.  Kaidah Kelima Belas

الرضا بالشئ رضا بما بتولد منه

“Ridha terhadap sesuatu berarti ridha pula dengan akibat yang muncul dari sesuatu tersebut”

Contoh : seseorang ridha membeli rumah yang sudah rusak, maka dia juga harus ridha apabila rumah itu runtuh. Apabila ridha beragama Islam, maka harus melaksanakan kewajibannya.

16.  Kaidah Fiqh Keenam Belas

السؤال معاد فى الجواب

“pertanyaan itu terulang dalam jawaban”

Maksud dari kaidah ini adalah hukum dari jawaban itu terletak pada soalnya. Misalnya, seorang hakim bertanya kepada tergugat (suami) “apakah engkau telah menalak istrimu?” dijawab “ya”. Maka bagi istri telah berlaku hukum sebagai wanita yang ditalak.

17.  Kaidah Fiqh Ketujuh Belas

لا ينسب الى ساكت قول ولكن السكوت فى معرض الحاجة الى البيان بيان

“perkataan tidak bisa disandarkan pada yang diam, tapi sikap diam pada hal yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan”

Kaidah tersebut menetapkan bahwa suatu keputusan hukum tidak bisa diambil dengan diamnya seseorang, kecuali ada qarinah, tanda-tanda atau alasan lain yang menguatkannya, maka diamnya orang tersebut merupakan keterangan juga. Contohnya, apabila seorang tergugat ditanya oleh hakim, dan dia diam saja, maka diperlukan bukti-bukti lain untuk menguatkan gugatan penggugat. Akan tetapi, apabila seorang perawan yang diminta izinnya untuk dinikahkan lalu dia diam saja tanpa ada perubahan apa-apa ada perangainya, maka diamnya itu menunjukkan persetujuannya.

18.  Kaidah Fiqh Kedelapan Belas

الفضيلة المتعلقة بذات العبادة اولى من المتعلقة بمكانها

“keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”

Misalnya : sholat sendirian (munfarid) di lingkungan Kakbah adalah lebih utama daripada di luar lingkungan Kakbah. Akan tetapi sholat di luar lingkungan Kakbah dengan berjamaah lebih utama daripada sholat sendirian di lingkungan Kakbah, begitu pula di masjid.

19.  Kaidah Fiqh Kesembilan Belas

الواجب لايترك الا لواجب

“sesuatu yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib pula”

Contohnya : seorang istri berpuasa senin atau kamis, namun suaminya tidak menginginkan puasanya karena sebab-sebab tertentu, maka istri tersebut wajib meninggalkan puasanya untuk memenuhi keinginan suaminya.

20.  Kaidah Fiqh Kedua Puluh

ماحرم استعماله حرم اتخاذه

“apa  yang haram diambilnya haram pula diberikannya”

Kaidah di atas menetapkan bahwa tidak diperkenankan seseorang memberikan harta haramnya pada orang lain, apabila diberikan maka ia termasuk menolong dan mendorong atas pekerjaan dosa dan diharamkan.

21.  Kaidah Fiqh Keduapuluh Satu

المشغول لا يشغل

“sesuatu yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan objek perbuatan lainnya”

Contohnya : apabila seseorang telah menggadaikan hartanya pada Bank Syari’ah misalnya, maka ia tidak bisa menggadaikan lagi kepada bank yang lain, atau menjualnya.

22.  Kaidah Fiqh Keduapuluh Dua

من استعجل شيئا قبل اوانه عوقب بحرمانه

“barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”


Contohnya : belum masuk waktunya sholat lalu ia sholat, atau belum waktunya berbuka ia berbuka, maka baik sholat maupun puasanya menjadi batal. Contoh lain adalah seorang ahli waris membunuh pewarisnya, maka ia tidak berhak atas warisan tersebut.

23. Kaidah Fiqh Keduapuluh Tiga

الولاية الخاصة اقوى من الولاية العامة

“kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada kekuasaan yang umum”

Contohnya : Camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada Gubernur, Ketua RT lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada kepala Desa, wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya daripada lembaga peradilan agama, dan seterusnya.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

    II. TAUHID ILMI I’TIQADI

        1. Perhatikan Ibnu Taimiyah: Ar-Risalah At-Tadmuriyyah-hal 7-8

        2. Perhatikan Syarhut-Thahawiyah hal. 134-135, dan Syarhul Aqidah Al-Wasitiyyah-Ibnu-Taimiyah: Muhammad Khalil Harras Maktabah At-Turatsil Islami Kairo, hal. 26 yang menukil dari Syaikh Nu’man bin Hammad syaikhnya Imam Bukhari.

        Selanjutnya simak pula foot note tentang masalah tersebut.

        3. Hal itu telah disepakati oleh ulama salaf. Perhatikan misalnya Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah. Jld. III hal. 392-394.

        4. Iman kepada Malaikat adalah satu rukun iman.

        Di dalam Hadits Jibril yang masyhur (muttafaq ‘alaih), ketika Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakan tentang Islam, Iman dan Ihsan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang IMAN:

        أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.

        “Agar kamu beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan agar kamu beriman kepada taqdir, baiknya dan buruknya”.

        Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, dan oleh Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. (Lihat takhrij haditsnya dalam: Al-Iman; Arkanuhu, haqiqatuhu, nawaqidluhu-Dr. Muhammad Na’im Yasin, cet. v- Maktabah al-Falah Kuwait. 1407 H. / 1987 M. hal. 9).

        Akan tetapi karena malikat merupakan makhluk ghaib, maka untuk memahami serta mengenal rincian nama-nama, sifat-sifat, serta tugas-tugas mereka harus didasarkan pada dalil yang shahih dan jelas (pent.), sebagaimana halnya ketika harus memahami Dzat, Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan) Allah serta perkara-perkara ghaib lainya.

        5. Perhatikan hadits Jibril pada no-4.

        Sebagian Kitab Allah ada yang disebut namanya seperti Taurat: QS. Al-Maidah 5: 44, Injil: QS. Al-Maidah 5: 46, Zabur untuk Dawud: QS. Al-Isra’ 17: 55, suhuf Ibrahim dan Musa; QS Al-‘Ala 87: 14-19, maka harus diimani sebagaimana adanya. Sedangkan Kitab-kitab Allah yang tidak disebutkan namanya, maka wajib diimani secara global, QS. Al-Baqarah 2: 213. (perhatikan al-Iman, Arkanuhu, haqiqatuhu, nawaqidluhu-Dr. Muhammad Na’im Yasin…hal. 83-93, di dalamnya dinyatakan bahwa selain Al-Qur’an telah banyak dipalsukan, dan hanya Al-Qur’an yang wajib diikuti.

        6. Simak Syarhut-Thahawiyah …hal.446. (juga Hadits Jibril pada no. 4) Simak pula Firman Allah: “Dan sesungguhnya telah kami utus beberapa orang rosul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu”. (QS. 40:78).

        Muhammad adalah nabi dan makhluk terafdal. Para ulama Salaf menafsirkan ayat: “Dan Allah mengangkat sebagian mereka diatas sebagian yang lain” (QS. Al-Baqarah 2: 253), yang dimaksud derajatnya diangkat di atas sebagian yang lain ialah: Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

        Juga hadits Abu Hurairah: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

        أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

        “Saya adalah sayyidnya anak Adam pada hari Kiamat … al-Hadits”. (HR. Muslim)

        (Al-Iman, Arkanuhu, haqiqatuhu…. Dr. Muh. Na’im Yasin-hal. 71)

        Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah nabi penutup dan diutus untuk semua manusia: “Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang diantara kamu, akan tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para nabi…”. (QS. Al-Ahzab 33: 40)

        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

        مَثَلِيْ وَمَثَلُ اْلأَنْبِيَاءِ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بُنْيَانًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلاَّ مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ مِنْ زَوَايَاهُ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوْفُوْنَ بِهِ وَيُعْجِبُوْنَ لَهُ وَيَقُوْلُوْنَ هَلاَّ وَضَعْتَ هَذِهِ اللَّبِنَةُ، قَالَ: فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ.

        “Perumpamaanku dan perumpamaan para nabi ialah seperti seorang yang membangun sebuah bangunan, lalu ia memperbaiki dan mengelok-elokannya, kecuali (tinggal) satu tempat batu-bata di sebuah sudut diantara sudut-sudutnya. Kemudian orang-orang mengelilinginya dan merasa heran, mereka berkata: Mengapa batu-bata ini tidak dipasang ? Rasulullah bersabda; (Akulah batu-bata itu dan akulah penutup para nabi)”. (muttafaq ‘alaih, dan lafadhnya lafadh Muslim). (Al-Iman; Arknahu, haqaiqastu, nawaqidhuhu…hal. 72.-730)

        Selanjutnya simak Firman Allah Ta’ala:

        وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ [سبأ/28]

        “Dan tidaklah kami utus engkau melainkan untuk manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti”. (QS. Saba’ 34: 28)

        7. Perhatikan hadits penutup para nabi yang muttafaq ‘alaih pada no. 6 dan juga hadits berikut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

        وَإِنَّهُ سَيَكُوْنُ فِيْ أُمَّةِ ثَلاَثُوْنَ كَذَّبُوْنَ، كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ.

        “Dan sesungguhnya akan terjadi di tengah umatku tigapuluh orang pendusta, masing-masing mengaku nabi, dan akulah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku”. (HR. Muslim) (Al-Imaan; Arkanahu, haqiqatuhu, nawaqidluhu..hal. 73)

        8. Salah satu rukun iman yang lain ialah iman kepada hari akhir seperti disebut pada Hadits Jibril pada no. 4.

        Berita-berita di seputar hari kiamat:

        Tentang saat terjadinya kiamat; keadaan bumi, gunung-gunung dan langit-langit seperti dikisahkan dalam banyak surat Al-Qur’an misalnya: Surat Al-Qari’ah, Al-Qiyamah, Ath-Thaammah, Ash-Shaakhah, Al-Ghasyiyah, Al-Haaqqah dan surat-surat atau ayat-ayat lainya. (Kitab: Al-Yaumul Akhir fi Dhilail Qur’an, Ahmad Faiz, cet. III th 1400H/1980M. tanpa nama penerbit, hal. 155-161).

        Tentang “PENIUPAN SANGKAKALA”, Firman Allah Ta’ala:

        وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَنْ شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنْظُرُونَ (68) وَأَشْرَقَتِ الْأَرْضُ بِنُورِ رَبِّهَا وَوُضِعَ الْكِتَابُ وَجِيءَ بِالنَّبِيِّينَ وَالشُّهَدَاءِ وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (69) [الزمر/68-70]

        “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusan masing-masing). Dan terang-benderanglah bumi dengan cahaya Rabbnya; dan diberikanlah buku (perhitungan amal masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi (malaikat) dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan”. (QS. Az-Zumar 39: 68-69).

        Kecuali yang dikehedaki Allah (Dalam ayat diatas ); di antaranya adalah para syuhada dan para penjaga perbatasan dalam rangka fi Sabilillah (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al-Bani & HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh Al-Mundziri)

        (Simak Kitab: Awalul Qiyamah-Abdul Malik ‘Ali al-Kulaib, Jam’iyyah Ihya’it-Turatsil Islami-Kuwait, hal. 33-34)

        Tentang manusia di hari kiamat dalam keadaan telanjang dan tidak beralas kaki:

        عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلاً. قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، النِّسَاءُ وَالرِّجَالُ جَمِيْعًا يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ؟ قَالَ: يَا عَائِشَةَ، اْلأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يَنْظُرَ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ.

        “Dari Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (Manusia dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan dalam keadaan tidak khitan) aku bertanya: “Wahai Rasulullah, wanita dan laki-laki semuanya saling memandang satu sama lain?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: (Hai ‘Aisyah, persoalannya lebih berat daripada untuk saling memandang satu sama lain”). Muttafaq ‘alaih.

        Di antara, tentang Mahsyar, Hisab, Mizan, Ash-Shirath, Al-Haudhl dan lain-lain.

        Simak buku-buku antara lain: Syarhut-Thahawiyah pada bab-bab yang membicarakan masalah-masalah tersebut misalnya; Al-Haudl hal. 177, Al-Mizan, hal. 371-372, Ash-Shirath hal 369-370 dll. Tentang Mahsyar, perhatikan hadits ‘Asiyah di atas.

        Tentang tanda-tanda hari kiamat:

        Alamat kecil: Seperti diutusnya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hari terakhir merupakan pertanda hari kiamat semakin dekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

        بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ. وَأَشَارَ بِالشَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى.

        “Diutusnya aku dengan hari kiamat seperti dua buah ini” beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengahnya.” (HR. Bukhari-Muslim)

        Tanda-tanda besar: misalnya: keluarnya Dajjal (benar-benar haqiqi), turunnya kembali nabi Isa ‘alaihis salam (bukan sebagai nabi, tetapi sebagai hakim adil), keluarnya binatang-binatang, keluarnya Ya’juj wa Ma’juj, terbitnya matahari dari arah barat dsb. (perhatikan: Al-Iman; Arkanahu, haqiqatahu, nawaqidluhu…hal. 118-132 dan Syarhut-Thahawiyah…hal. 453-454, juga Al-Yaumul Akhir fi Dhilail Qur’an…hal. 102-144).

        9. Lihat foot note LAUH MAHFUDH

        10.Lihat pula foot note setelahnya. Lihat pula ayat-ayat atau hadits-hadits tentang Surga dan Neraka.

        Tentang nikmat atau siksa kubur, terdapat banyak riwayat yang shahih di antaranya: Dalam Al-Bukhari dari Sa’id dari Qatadah dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

        إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِيْ قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ أَنَّهُ يَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، فَيَأْتِيْهِ مَلَكَانِ فَيَقْعُدَانِهِ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ: مَا كُنْتَ تَقُوْلُ فِيْ هَذَا الرَّجُلِ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيَقُوْلُ أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، فَيَقُوْلُ لَهُ: اُنْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ أَبْدَلَكَ اللهُ بِهِ مَعْقَدًا مِنَ الْجَنَّةِ، فَيَرَاهُمَا جَمِيْعًا.

        Sesungguhnya seorang hamba apabila telah diletakkan di kuburnya dan sahabat-sahabatnya (yang masih hidup-pent) telah pergi, sebenarnya ia benar-benar mendengar beradunya sandal mereka, lalu datanglah kepadanya dua malaikat, maka keduanya mendudukkannya dan bertanya: “Apa katamu tentang orang ini-Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam-? Adapun orang yang beriman pasti menjawab: (Aku bersaksi bahwa ia adalah hamba dan utusan Allah). Maka malaikat itu berkata kepadanya: “Lihatlah tempat dudukmu dari neraka, Allah telah menggantikannya buatmu tempat duduk di surga”. Maka ia pun melihat kedua-duanya semuanya”.

        وَفِي الصَّحِيْحَيْنِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ: إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِيْ كَبِيْرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَبْرِئُ مِنَ الْبَوْلِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِيْ بِالنَّمِيْمَةِ. فَدَعَا بِجَرِيْدَةِ رُطْبَةٍ فَشَقَّهَا نِصْفَيْنَ فَقَالَ: لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبِسَا.

        Dalam shahih bukhari dan shahih Muslim dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Sesunguhnya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lewat di dua buah kuburan, maka beliau bersabda: (Sungguh keduanya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena dosa besar. Adapun yang seorang diantaranya disebabkan tidak tuntas kencingnya. Sedangkan yang lain karena namimah (adu domba), maka beliau minta didatangkan pelepah korma, yang masih basah, lalu dibelah menjadi dua. Beliau bersabda: (mudah-mudahan siksa keduanya bisa diringankan selagi (pelepah korma) itu belum kering). Dll. (Lihat Syarhut-Thahawiyah…hal. 353-354).

        11. Hadits-hadits tentang syafaat secara mutawatir telah disebut dalam kitab-kitab Hadits dengan kisah yang panjang-panjang. Dan sebagai petunjuk awal, bisa dilihat dalam Syarhut-Thohawiyah dari hal. 19-80-187. Di hal. 87 juga dinukilkan sebuah hadits shahih dari Abu Sa’id Al-Khurdiry, marfu’ kepada nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang yang beriman…

        12. Allah Ta’ala berfirman:
        وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23) [القيامة/22، 23]
        “Pada hari itu wajah-wajah (orang-orang mukminin) berseri-seri, kepada Rabbnya mereka MELIHAT” (Al-Qiyamah 75: 22-23).

        Seluruh ulama ahlus-Sunnah dari mereka semenjak shahabat, Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in serta semua yang mengikuti mereka, semuanya telah sepakat bahwa kelak di surga kaum Mukminin akan melihat kepad Rabb-Nya, melihat wajah-Nya secara hakiki, tanpa takwil (tahrif) atau Takthil. (perhatikan Syarhut-Thahawiyah dan penafsiran tentang “melihat” dalam ayat tersebut di atas yang ma’tsur dari shahabat dan mufassirin Ahlus-Sunnah wal jamaah ma’alim inthilaqi (kubra), hal. 135-140).

        Hadits-hadits tentang ru’yah tersebut juga Mutawatir, antara lain yang dikeluarkan dalam shahih Bukhari dan Muslim dari hadits Jabir Ibni Abdillah Al-Bajali, ia mengatakan:

        كُنَّا جُلُوْسًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَقَالَ: إِنَّكُمْ سَتَرْوَنَ رَبَّكُمْ عِيَانًا كَمَا تَرَوْنَ هَذَا، لاَ تُضَارُّوْنَ فِيْ رُؤْيَتِهِ.

        “Kami duduk-duduk bersama nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau melihat-kearah bulan tanggal empat belas, maka beliau bersabda; (sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan sejelas-jelasnya, sebagaimana kalian melihat ini. Kalian tidak mengalami bahaya ketika melihat-Nya”.

        (Dinukil dari Syarhut Thahawiyah hal. 140)

        13. Karomah bagi para wali (kekasih) Allah.

        Karomah (mukjizat) nabi shallallahu ‘alaihi wasallam misalnya:

            Terbelahnya bulan (Bukhari Muslim)

            Datangnya sebatang pohon kepada nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Muslim dari Jabir)

            Makanan sedikit tapi menjadikan seluruh peserta pasukan Khandaq kenyang (Bukhari-Muslim dari Jabir).

            Dari makanan yang sedikit pula, nabi memenuhi tempat-tempat makanan pasukan pada perang Tabuk, tanpa mengurangi sedikitpun makanan yang sedikit tadi. (Shahih Muslim)

            Dan lain-lain

        Keramahan para shahabat Tabi’in, misalnya:

            Karamah Usaid bin Hudlair berupa bayang-bayang yang menaunginya serta lampu-lampu yang meneranginya. Ketika beliau membaca surat Al-Baqarah (Al-Bukhari)

            Kisah Abu bakar AS-Shidiq radhiallahu ‘anhu ketika beliau membawa tiga orang ke rumahnya, maka tidak ada sesuap santapanpun yang dimakan kecuali tumbuh di bawahnya lebih banyak lagi di banding suapan–suapan tadi, akhirnya tamu-tamu itu kenyang semuanya, dan makanannya malah bertambah banyak. Maka Abu bakar melaporkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian datanglah sejumlah banyak makanan itu hingga semuanya kenyang (Bukhari-Muslim)

            Khabib bin ‘Adi ketika ditawan oleh kaum musyrikin di Makkah, tiba-tiba datang anggur kepadanya, padahal pada waktu itu di Makkah tidak ada Anggur (Al-Bukhari di dalam Al-Maghazi).

            Ketika Uwais Al-Qarni (Tabi’in) wafat, tiba-tiba didapatkan kain kafan, padahal sebelumnya mereka tidak mendapatkannya, disamping itu juga tiba-tiba telah tergali liang lahad baginya, maka kemudian beliau dikafani dan dikuburkan di situ (Shahih Muslim).

        Dan masih banyak kisah karamah dari para wali-wali Allah baik dari kalangan shahabat Tabi’in maupaun orang-orang shalih yang lain.

        (Periksa Majmu’atut-Taihid-Maktabah As-Salafiyah-tanpa tahun, yang dikumpulkan dari kitab-kitabnya Muh. Bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah, hal. 587-600, dari kitabnya Ibnu Taimiyah: Al-Furqan baina Auliya ‘ir Rahman wa Auliya’is Syaithan) (Demikianlah pula lihat Syarhut-Thahawiyah hal. 448-449).

        14. Allah Ta’ala berfirman:

        أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63) [يونس/62، 63]
       
“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati. (yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa…” (QS. Yunus 10: 62-63)

        “Allah adalah wali (pelindung) orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syetan yang mengeluarkan mereka dari nur (cahaya) kepada kegelapan (kekafiran). Mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah 2: 257)

        atau simak Majmu ‘atut-Tauhid, bagian: Al-Furqan baina Auliya ‘ir-Rahman wa Auliya’is –Syaithan, dimulai dari hal 479 dan seterusnya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar