"Demi malaikat-malaikat yang diutus
untuk membawa kebaikan (segala rahmat-Nya),"
"dan (malaikat-malaikat) yang terbang
dengan kencangnya (tindakannya sangat cepat),"
"dan (malaikat-malaikat) yang menyebarkan
(rahmat-Nya itu) dengan seluas-luasnya,"
"dan (malaikat-malaikat) yang membedakan
(antara yang hak dan batil) dengan sejelas-jelasnya,"
"dan (malaikat-malaikat) yang menyampaikan wahyu-Nya,"
"untuk menolak alasan-alasan (kebatilan) atau memberi peringatan,"
(QS. AL-MURSALAAT:77:1-6).
Makhluk Hidup Gaib
Para makhluk gaib pasti tunduk kepada segala perintah-Nya
Makhluk hidup gaib (atau 'makhluk gaib' saja) yang disebut-sebut dalam Al-Qur'an, yaitu: malaikat, jin, syaitan dan iblis. Mereka itulah makhluk yang masih berbentuk "ruh" (bentuk paling sederhana dari segala makhluk-Nya), karena ruh para makhluk gaib itu dianggap tidak memiliki sifat untuk menyatu dengan tubuh wadah. Namun ada pula anggapan lain, bahwa tubuh mereka adalah materi 'terkecil'.
Dan sesuai dengan istilah 'gaib' itu sendiri, tentunya makhluk gaib tidak bisa 'dilihat' dengan mata lahiriah dan tidak bisa 'diraba' oleh manusia. Namun sebagian amat terbatas manusia telah diberikan rahmat-Nya untuk bisa mengetahui wujud asli dari para makhluk gaib, melalui alam batiniah ruh manusia itu sendiri.
Sebagaimana ruh-ruh selain ruh manusia (hanya ruh manusia yang memiliki nafsu), ruh-ruh makhluk gaib pada hakekatnya pastilah bersujud, tunduk, patuh dan taat, di dalam mengikuti segala perintah-Nya, bahkan termasuk iblis dan syaitan sekalipun, yang ditugaskan-Nya untuk bisa menguji keimanan tiap manusia. Lebih tepatnya, nafsu mereka sangat stabil, serta mereka sama-sekali tidaklah berkeinginan, untuk mau menentang segala perintah-Nya. Bahkan nafsu-keinginan mereka semata-mata hanya untuk bisa mengabdikan diri kepada-Nya. Namun justru yang membeda-bedakan tiap mereka itu hanyalah pada tugas-amanatnya masing-masing, yang justru telah diberikan ataupun diperintahkan-Nya.
Baca pula uraian-uraian di bawah ini, tentang ketundukan para makhluk gaib kepada-Nya, serta tentang tugas yang diberikan-Nya kepada para makhluk gaib (termasuk iblis dan syaitan).
Manusia dan pengujiannya di dunia
Penugasan kepada para makhluk gaib tersebut sesuai dengan wujud utama dari penciptaan alam semesta, yaitu penciptaan manusia dan proses penggodokannya (pada uraian-uraian bagian awal di atas). Di mana kehidupan dunia fana ini hanyalah suatu tempat ujian (kawah penggodokan), ataupun tempat tinggal sementara bagi manusia, yang telah ditunjuk-Nya menjadi khalifah-Nya (penguasa) di muka Bumi, terutama karena hanyalah manusia yang telah diberikan-Nya nikmat kelebihan berupa akal dan nafsu yang sempurna, sekaligus bersamaan.
Sedang segala makhluk-Nya selain manusia, tidaklah memiliki nafsu (atau lebih tepatnya, nafsu-keinginan mereka sangat stabil). Dan nafsu-keinginan mereka hanyalah semata-mata untuk bisa mengabdi dan bertaqwa kepada Allah. Serupa halnya para makhluk gaib di atas.
Di lain pihak, manusia tidak akan bisa dikatakan telah beriman kepada Allah (atau ia telah berhasil menjalani proses penggodokannya sesuai dengan keredhaan-Nya), jika ia belum memperoleh, dan belum mampu mengatasi berbagai cobaan atau ujian-Nya, secara lahiriah dan batiniah, pada kehidupan dunia fana ini.
Tugas makhluk gaib, mengajar dan menguji secara batiniah
Dari segi lahiriah manusia memperoleh pengajaran dan ujian-Nya dalam proses penggodokannya, dari segala yang ada (nyata atau terlihat) di alam semesta, termasuk pula dari semua manusia lainnya.
Untuk kesempurnaan proses penggodokan itu, maka tiap umat manusia mestinya memperoleh segala pengajaran dan ujian-Nya, dari segi batiniahnya pula. Hal inilah yang menjadi tugas utama dari para makhluk gaib tersebut (lihat pula Gambar 12 di bawah). Bahkan setiap pengajaran dan ujian-Nya secara batiniah ini menjadi tempat 'muara terakhir', dari setiap pengajaran dan ujian-Nya secara lahiriah.
Tugas para makhluk gaib
Dari segi lahiriah manusia memperoleh pengajaran dan ujian-Nya dalam
proses penggodokannya, dari segala yang ada (nyata atau terlihat) di
alam semesta, termasuk pula dari semua manusia lainnya.
Diagram umum tugas para makhluk gaib
Seperti halnya sesuatu pengajaran dan ujian-Nya yang sangat lengkap
secara batiniah, maka tugas para makhluk gaib telah terbagi-bagi, secara
ringkas yaitu
Gambaran ringkas tugas pengajaran dari para makhluk gaib
• Para malaikat
Memberi pengajaran tentang segala kebaikan (sebagai pelajaran), yaitu dalam menyampaikan kebenaran-Nya kepada tiap manusia (terutama penyampaian wahyu-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya). Tentunya hal ini di luar segala tugas lainnya dari Allah.
Perbedaan antara perolehan para nabi-Nya itu dari manusia biasa umumnya adalah segi kelengkapan dan keutuhan dari kebenaran-Nya yang diperoleh para nabi-Nya. Terutama karena usaha yang amat sangat keras, ataupun integritas keimanan yang amat tinggi, dari para nabi-Nya itu sendiri.
• Para syaitan
Memberi pengajaran tentang segala keburukan (sebagai ujian-Nya bagi manusia), atau disebut juga menyampaikan peringatan-Nya, atas hal-hal yang perlu diwaspadai.
• Para iblis
Serupa dengan syaitan (juga sebagai ujian-Nya), namun tentang segala keburukan yang jauh lebih buruk lagi, atau paling buruk.
• Para jin
Memberi pengajaran tentang hal-hal yang relatif bersifat netral dan umum, tentang berbagai kejadian di alam semesta ini. Walau terkadang bisa menyesatkan umat manusia, dengan mengajarkan segala hal yang justru menentang aturan-Nya (sunatullah, yang berupa segala aturan atau rumus proses di alam semesta ini), atau mengajarkan hal-hal yang bersifat 'mistis-tahayul' (sama sekali tanpa memiliki dasar pengetahuan atas segala kebenaran-Nya).
Keseimbangan pengajaran dan pengujian secara batiniah
Keseimbangan atau simetrisitas di dalam keberadaan dualisme kebaikan dan keburukan dari Malaikat dan Syaitan itu misalnya, justru merupakan suatu keniscayaan dan bagian dari rencana-Nya sejak awal penciptaan alam semesta ini, bahkan segala keseimbangan pada segala zat ciptaan-Nya semakin memperkaya khasanah ciptaan-Nya, sebagai suatu rahmat-Nya, dan sebagai bahan pelajaran yang amat berlimpah-ruah bagi seluruh umat manusia, termasuk kebaikan dan keburukan.
Hal ini sekaligus menunjukkan sifat-sifat Allah, Yang Maha Pencipta dan Maha Sempurna.
Maka bukanlah suatu kebetulan jika Syaitan dan Iblis disebut tidak mau bersujud kepada Adam (manusia), lalu mereka menggoda atau menyesatkan Adam dan Hawa ataupun seluruh keturunan mereka nantinya sampai akhir jaman (umat manusia keseluruhannya).
Sebaliknya bukanlah suatu kebetulan pula, jika para malaikat disebut mau bersujud kepada Adam, lalu mereka memberi pengajaran dan tuntunan-Nya kepada manusia. Tetapi semua itu justru merupakan bagian dari rencana-Nya dalam menguji keimanan tiap umat manusia, sebagai khalifah-Nya di muka Bumi.
Mustahil ada suatu hal tertentu di alam semesta ini, yang sama sekali berada di luar pengetahuan dan kekuasaan-Nya, termasuk pula terhadap segala hal yang dilakukan oleh Jin, Syaitan dan Iblis, yang bisa menyesatkan manusia tersebut. Segala godaan atau kesesatan dari mereka justru suatu bentuk ujian-Nya bagi umat manusia. Sekali lagi, mereka memang diciptakan-Nya untuk menguji keimanan manusia. 27)
Ijin-Nya atas ujian dari iblis dan syaitan kepada manusia
Begitu pula yang disebut dalam Al-Qur'an, bahwa Iblis atau Syaitan telah diijinkan-Nya atau tidak dilarang-Nya untuk menggoda manusia, pada saat Iblis akan diusir-Nya dari Surga. Dan dosa yang disebut-sebut telah membuat Iblis amatlah dilaknat oleh Allah sampai pada Hari Kiamat, 'hanyalah' diakibatkan karena kesombongan dari Iblis, atau kekafirannya langsung di hadapan-Nya pada saat di Surga, dengan menolak perintah-Nya untuk bersujud kepada Adam.
Bahkan disebut, bahwa berbagai ujian atau godaan dari mereka itu, "hanya agar Allah jelas bisa membedakan, siapakah di antara umat manusia yang beriman, dan yang tidak beriman" – (QS.34:21). Serta siapakah umat manusia yang mencari kemuliaan bagi dirinya sendiri, dan yang mencari kehinaan.
Makin jelaslah, bahwa 'ijin-Nya' kepada Iblis atau Syaitan itu agar bisa menggoda tiap umat manusia, lebih tepat jika diterjemahkan sebagai 'tugas' dari Allah kepada mereka. Bahkan kalaupun tidak ada mereka dan tugasnya itu, maka proses penggodokan manusia tidaklah akan berjalan. Karena seluruh manusia pastilah akan beriman kepada-Nya, akibat tanpa adanya sesuatu yang justru mengajarkannya kepada kesesattan ataupun kekafiran.
Bahkan dari berbagai bentuk kekafiran itu, tiap umat manusia mendapatkan banyak bahan pelajaran, tentang segala sesuatu hal yang akan bisa membawa kehinaan, kenistaan, kerugian ataupun kebinasaan bagi dirinya sendiri, sekaligus agar tiap kekafiran bisa dihindarinya.
Kewaspadaan terhadap ujian dari iblis dan syaitan
Sangat penting untuk dicatat pula, bahwa pengajaran dari para malaikat sangatlah berbeda dibandingkan dengan pengajaran dari jin, syaitan ataupun iblis. Bahwa pengajaran yang terakhir ini adalah suatu bentuk ujian-Nya bagi tiap umat manusia, ataupun bukan pengajaran yang diredhai-Nya untuk diikuti. Namun justru suatu pengajaran yang berbentuk peringatan-Nya, untuk diwaspadai ataupun dihindari.
Sehingga hakekat paling utamanya adalah, tiap umat manusia mestinya mewaspadai, menghindari, memusuhi atau melaknati seluruh kesesatan yang ditawarkan oleh jin, syaitan dan iblis. Justru bukanlah zat-zat mereka yang bisa membahayakan, karena mereka sama-sekali tidak memiliki sesuatupun kekuasaan atas tiap umat manusia (manusia berkuasa sepenuhnya mengatur alam batiniahnya sendiri). Namun hal-hal yang berbahaya, adalah hasil pengaruh dari segala kesesatan yang mereka tawarkan itu kepada tiap manusia, yang mau mengikuti ajakan kesesatan dari mereka.
Bahwa para makhluk gaib hanya memiliki kemampuan untuk 'mempengaruhi' alam batiniah ruh tiap manusianya kepada kebenaran ataupun kesesatan. Namun tiap manusia tetaplah memiliki kekuasaan sepenuhnya (kebebasan dan keinginan), di dalam menentukan pilihan akhir atas segala pengaruh dari mereka, sesuai keinginan manusianya sendiri. Dengan cara memakai hati-nurani, akal sehat atau keyakinan-keimanan, sebagai sarana dan benteng pertahanannya di dalam menilai segala sesuatu hal.
Dan "laknat-Nya kepada iblis ataupun syaitan", lebih tepat jika ditafsirkan seperti "laknat-Nya kepada seluruh kesesatan yang mereka tawarkan". Hal inipun lebih bersifat simbolik sebagai peringatan amat keras bagi tiap umat manusia, agar amat waspada terhadap tiap godaan dari mereka, yang memang bisa amat menyesatkannya.
Serupa halnya dengan "laknat-Nya kepada orang-orang kafir", lebih tepat ditafsirkan seperti "laknat-Nya kepada tiap perbuatan kafir mereka". Dan semua itu bukanlah laknat-Nya kepada 'zat' makhluk-Nya yang memang telah diciptakan-Nya. Bahwa segala sesuatu hal di seluruh alam semesta ini justru hanyalah milik dan ciptaan Allah.
Ibaratnya tiap zat makhluk-Nya hanya suatu 'debu' bagi Allah, di antara tak-terhitung jumlah zat-zat ciptaan-Nya. Padahal nilai dari tiap makhluk juga bukanlah pada "zatnya", namun pada "segala amal-perbuatannya".
Kekafiran iblis, kemustahilan dan bersifat peringatan
Bahkan dalam Al-Qur'an disebut (diumpamakan), bahwa iblis dan semua makhluk gaib lainnya juga telah bisa melihat dan berbicara langsung dengan Allah di Surga. Sehingga merekapun justru telah bisa mengetahui langsung tiap bukti ketinggian, kemuliaan dan kekuasaan Sang Penciptanya sepanjang hidupnya, sedang ruh mereka tetap hidup kekal sejak diciptakan-Nya (sampai jika dikehendaki-Nya lain).
Di lain pihak, bahkan hanyalah para nabi-Nya ataupun orang-orang amat beriman lainnya, yang tingkat keimanannya paling tinggi di antara umat manusia, yang bisa "menyaksikan" secara amat terang dan mendalam terhadap berbagai kemuliaan dan kekuasaan-Nya. Hal inipun hanyalah bisa terjadi setelah para nabi-Nya melalui proses yang relatif amat lama dan usaha yang amat keras dalam mencapai tingkat kenabiannya (tingkat pemahaman dan pengamalan yang relatif amat tinggi atas berbagai kebenaran-Nya).
Sedang kesaksian atas segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya, bagi tiap ruh manusia pada saat awal diciptakan-Nya (seperti pada saat Adam masih berada di surga), relatif amat terbatas atau minimal, serta hanya suatu kesaksian yang berupa tuntunan-Nya yang paling dasar, dalam hati-nurani tiap ruh manusia yang akan terlahir atau diturunkan-Nya ke dunia (berupa fitrah-fitrah dasar manusia).
Sehingga sesuatu 'kemustahilan' apabila para makhluk gaib itu masih amat berani untuk kafir kepada Allah. Hal inipun sama halnya dengan 'kemustahilan' atas anggapan, bahwa orang-orang yang telah masuk Surga pada Hari Kiamat, yang telah dikumpulkan langsung ke hadapan 'Arsy-Nya (telah melihat langsung berbagai kemuliaan dan kekuasaan-Nya), masih mungkin berbuat kafir kembali kepada Allah.
Kemustahilan lainnya, karena para makhluk gaib justru tidak memiliki nafsu (nafsunya amat stabil), sehingga mereka itupun "pasti selalu" bersedia memberikan pengajaran dan tuntunan-Nya (bagi para malaikat) ataupun memberikan ujian-Nya (bagi iblis, syaitan dan jin), kepada tiap umat manusia sampai akhir jaman. Serta merekapun pasti melakukan segala tugas yang diperintahkan-Nya.
Namun sebaliknya apabila mereka memiliki nafsu-keinginan, maka mereka justru pasti "hanya terkadang" saja bersedia melakukan segala tugas yang telah diberikan-Nya, untuk memberikan pengajaran dan ujian-Nya kepada tiap umat manusia.
Padahal tiap saatnya selama hidupnya tiap manusia pasti selalu mendapat godaan dari iblis dan syaitan. Sebaliknya tiap manusia pasti selalu pula mendapat pengajaran dan tuntunan-Nya dari para malaikat (khususnya malaikat Jibril). Hanya saja besarnya 'pengaruh' bisikan dari para makhluk gaib relatif berbeda-beda pada tiap manusia, dalam mengikuti bisikan yang benar ataupun yang sesat.
Hal yang persis serupa, justru terjadi pada orang-orang yang 'mukhlis'. Mereka bukan tidak pernah berusaha disesatkan oleh iblis, bahkan setiap saatnya justru disesatkan. Namun lebih tepatnya adalah, mereka 'tidaklah mudah tersesatkan', karena sifat ikhlas yang mereka miliki amat kuat. Padahal keikhlasan adalah obat yang amatlah ampuh terhadap nafsu yang berlebihan, yang paling sering dimanfaatkan oleh iblis. Dan keikhlasan juga bisa membuat nafsu menjadi lebih tenang atau stabil (tidak mudah tergoda oleh tiap bisikan iblis dan syaitan).
"Dan berkatalah syaitan, tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: 'Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu, janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu, tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu, lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu, dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu, mempersekutukan aku (dengan Allah), sejak dahulu'. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih." – (QS.14:22).
Sujudnya para makhluk gaib kepada manusia
"agar Dia menjadikan apa yang dimaksudkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya, orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat (nyata)," – (QS.22:53).
Bahwa kejadian pada para malaikat-Nya, yang 'mau bersujud' kepada Adam (atau manusia), yang telah dipilih-Nya sebagai khalifah-Nya di muka Bumi, adalah simbol dari kebenaran-Nya yang mereka sampaikan, yang justru bisa menguntungkan bagi tiap manusia, yang berusaha memahami dan mengamalkannya. Para malaikat tunduk dan melayani kepentingan tiap manusia, untuk bisa menuntunnya ke jalan-Nya yang lurus.
Sebaliknya iblis dan segala kesesatan yang disampaikannya, justru bisa membawa kerugian dan kebinasaan bagi tiap manusia, jika manusianya sendiri telah mengikuti atau mengamalkan langsung tiap bisikan kesesatannya secara batiniah. Serta bisa disebut pula, bahwa iblis tidak mau tunduk dan melayani kepentingan tiap manusia. Maka iblis itu disimbolkan 'tidak mau bersujud' kepada Adam (manusia).
Hal yang paling penting, yang menunjukkan bahwa "bersujud ataupun tidaknya" para makhluk gaib itu kepada manusia, 'hanyalah sekedar sesuatu simbol', adalah terlarangnya bagi tiap makhluk untuk bersujud kepada segala makhluk lainnya. Sedang hanya kepada Allah, segala sesuatu makhluk mestinya bersujud atau menyembah.
Sehingga ayat-ayat Al-Qur'an yang terkait dengan "bersujud ataupun tidaknya" para makhluk gaib kepada Adam, hanyalah sesuatu contoh-perumpamaan simbolik, "apakah tiap perbuatan para makhluk gaib itupun bisa menguntungkan ataupun bahkan bisa merugikan bagi kepentingan, keselamatan atau kemuliaan umat manusia". Serta istilah 'bersujud' dalam hal ini bukanlah benar-benar bermakna 'menyembah'.
Bahkan faktanya, bahwa tiap manusia memang tidak memiliki suatu kekuasaan sepenuhnya untuk bisa mengendalikan atau mengatur para makhluk gaib. Begitu pula hal sebaliknya, para makhluk gaib itu sepenuhnya hanya tunduk, patuh dan taat kepada segala perintah-Nya, ataupun melaksanakan segala tugas-amanat yang telah diberikan-Nya (terutama untuk memberi segala pengajaran dan ujian-Nya).
Sedangkan pemberian pengajaran dan ujian-Nya melalui para makhluk gaib, semata-mata hanya agar Allah bisa menguji keimanan tiap manusia, ataupun agar Allah bisa membedakan antara, siapa yang beriman dan siapa yang tidak beriman.
"Dan tidak adalah kekuasaan iblis terhadap mereka (manusia), melainkan hanyalah, agar Kami dapat membedakan, siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat, dari siapa yang ragu-ragu tentang (kehidupan akhirat) itu. Dan Rabb-mu Maha Memelihara segala sesuatu." – (QS.34:21).
"Sesungguhnya hamba-hamba-Ku (iblis dan syaitan), tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka (manusia), kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat." – (QS.15:42).
"Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Rabb-mu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka menasbihkan-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah mereka bersujud." – (QS.7:206).
"Dan kepunyaan-Nya-lah segala yang ada di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya, dan tiada (pula) merasa letih." – (QS.21:19).
"Dan kepunyaan-Nya-lah, siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya hanya kepada-Nya tunduk." – (QS.30:26)"
Lebih lanjut, kekafiran iblis dan syaitan
Bahwa hakekat nilai dari tiap zat makhluk-Nya di hadapan Allah terletak pada segala amal-perbuatannya (pikiran, perkataan dan perbuatannya), dan bukanlah pada zat ataupun tubuh fisik-lahiriahnya. Dan segala amal-perbuatannya itu dalam penilaian Allah, adalah suatu cerminan ataupun bentuk perwujudan atas segala keadaan batiniah ruh pelakunya, karena segala amal-perbuatan tiap zat makhluk-Nya pasti diperintahkan dan dikendalikan oleh ruhnya sendiri.
Sedang suatu perbuatan tiap makhluk-Nya yang justru tidaklah timbul dari adanya kesadaran pada pikirannya (pelakunya benar-benar belumlah menyadari perbuatannya itu), pastilah tidak akan dinilai oleh Allah, seperti halnya perbuatan seseorang yang masih bayi, anak yang belum akil-baliq dan orang yang gila. Sehingga atas jin-Nya, mereka pastilah masuk surga di Hari Kiamat, jika wafat dalam keadaannya itu.
Nilai amalan atas suatu amal-perbuatan pasti hanya diberikan-Nya kepada pelakunya sendiri (baik jumlah pahala-Nya ataupun beban dosa yang diterima), sesuai dengan 'beban tugas atau amanatnya' dari Allah. Sedang segala makhluk lainnya di sekitarnya yang terpengaruh oleh amal-perbuatan itu, justru sama-sekali tidak diuntungkan ataupun tidak dirugikan (jumlah seluruh nilai amalannya pasti tidak bertambah ataupun tidak berkurang). Walau secara sekilas memang 'seolah-olah' tampak diuntungkan ataupun dirugikan.
Contoh sederhananya, anak seorang kyai tidak akan bertambah kemuliaannya di hadapan Allah, hanya karena adanya suatu perbuatan baik dari orang-tuanya. Walau di hadapan manusia, si anak memang 'seolah-olah' ikut diuntungkan pula.
Orang yang ikut terpengaruh oleh suatu amal-perbuatan orang-lainnya, biasanya disebutkan mendapat berkah-Nya (menguntungkan) dan mendapat ujian-Nya (merugikan). Kedua hal inipun pada dasarnya sama-sekali tidak berpengaruh atas jumlah 'seluruh' nilai amalan dari makhluk yang mendapatkannya. Hal yang lebih jelasnya, berkah-Nya dan ujian-Nya dari hasil perbuatan berbagai makhluk lainnya, pastilah akan ikut dipertimbangkan-Nya dalam menentukan nilai amalan dari tiap perbuatan makhluk, yang dilakukannya saat 'sedang' berada dalam keadaan mendapat berkah-Nya dan ujian-Nya tersebut.
Dan tiap makhluk pastilah hanya bertanggung-jawab atas tiap amal-perbuatannya sendiri di hadapan Allah. Serta ia justru tidaklah akan dianiaya atau dirugikan-Nya, juga ia tidaklah akan menanggung segala beban dosa dari segala makhluk lainnya.
Terkait hal itu timbullah pertanyaan, "apakah kekafiran yang ditawarkan oleh iblis ataupun syaitan kepada tiap manusia, merupakan sesuatu dosa bagi iblis ataupun syaitan itu sendiri?". Sedang dosa iblis lainnya yang diketahui dalam Al-Qur'an, 'hanya' kekafirannya kepada perintah-Nya, akibat kesombongannya untuk tidak bersedia bersujud kepada Adam, yang pada saat itu sedang tinggal di Surga.
Pada dasarnya, sesuatu perbuatan disebut perbuatan dosa, jika perbuatan itu menimbulkan berbagai kerusakan bagi diri 'pelakunya' sendiri ataupun bagi 'pihak lainnya' (secara lahiriah ataupun batiniah). Di mana pihak lain yang telah tertimpa kerusakan dan kerugian itupun sama sekali 'tidak memiliki kekuasaan', untuk bisa menghindar atau menolak pengaruh dari perbuatan dosa itu (suatu bentuk kezaliman).
Dari aspek pengaruh perbuatan iblis atau syaitan kepada tiap manusia, maka segala bentuk godaan dari mereka itupun "tidak bisa" dikategorikan sebagai suatu perbuatan dosa, karena segala perbuatan mereka itu hanya berpengaruh kepada alam batiniah ruh manusianya, dan sama sekali tidak berpengaruh kepada tubuh fisik-lahiriahnya.
Apalagi mereka memang tidaklah memiliki tubuh lahiriah atau gaib. Pada dasarnya memang sama sekali tidak ada sesuatu kerusakan langsung secara lahiriah pada manusia, akibat dari pengaruh perbuatan mereka itu. Hal yang terjadi umumnya berupa hasil pengaruh 'tidak langsung', karena kekacauan atau gangguan yang amatlah berat pada alam batiniah ruh manusianya sendiri, yang telah ikut mempengaruhi kondisi tubuh fisik-lahiriahnya (seperti pada orang-orang yang sedang mengalami kesurupan atau kerasukan).
Di lain pihak dengan akal dan nafsunya, tiap manusia memiliki kekuasaan dan kebebasan sepenuhnya untuk mengatur alam batiniah ruhnya sendiri. Dengan keimanannya, pada dasarnya manusia justru mestinya bisa menghindar dan menolak dari segala pengaruh godaan iblis ataupun syaitan. Dan segala kerusakan lahiriah dan batiniah pada tiap manusia, akibat dari mengikuti berbagai kekafiran yang mereka tawarkan itu, justru merupakan pilihan dan tanggung-jawab manusia itu sendiri (bukanlah tanggung-jawab dari iblis ataupun syaitan).
Mereka itu semata-mata hanya 'mengaduk-aduk' alam batiniah ruh manusia, sebagai suatu bentuk ujian-Nya secara batiniah. Bahkan pengaruh batiniah itupun tidak bernilai sama sekali, karena tergantung pilihan manusia sendiri untuk mau mengamalkannya ataupun tidak.
"… Sekali-kali tidak kekuasaan bagiku (syaitan) terhadapmu (hai manusia), melainkan (sekedar) aku menyeru kamu, lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu, dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu, mempersekutukan aku (dengan Allah), sejak dahulu'. …." – (QS.14:22).
"Sesungguhnya hamba-hamba-Ku (iblis dan syaitan), tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka (manusia), kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat." – (QS.15:42).
Sedangkan dari aspek pengaruh perbuatan iblis ataupun syaitan kepada diri mereka sendiri, maka segala godaan itu juga tidaklah bisa dikategorikan sebagai sesuatu perbuatan dosa. Karena sulit dipahami adanya kerusakan batiniah pada mereka itu, selain dari tidak adanya kerusakan fisik-lahiriahnya (mereka justru berwujud gaib dan relatif tidak memiliki tubuh fisik-lahiriah). Dan hanyalah Allah Yang Maha mengetahui segala keadaan batiniah pada para makhluk gaib itu.
Bahkan pada saat berinteraksi secara terang-terangan dengan namusia, para makhluk gaib itu selalu berada dalam keadaan gembira ataupun senang saja, saat mereka sedang menggoda manusia (terutama iblis ataupun syaitan). Sama sekali tidak ada kesan, bahwa mereka itu membenci manusia, yang seolah-olah telah membuat iblis bisa diusir-Nya dari Surga.
Bahkan pada tingkat pemahaman yang relatif mendalam, akan bisa tampak bahwa para makhluk gaib itu (termasuk iblis) justru 'amat menyayangi' manusia. Walau sudut pandang pemahaman ini memang relatif amat berbeda daripada pandangan sebagian besar umat.
Gambaran atas pemahaman ini barangkali sedikit-banyak bisa diperoleh, dengan menelaah tiap pertanyaan berikut: "seseorang ayah yang memukuli anaknya sendiri, apakah sesuatu tanda kebencian atau tanda kasih sayangnya?" "seseorang guru yang memberikan soal-soal sulit kepada muridnya, apakah memang untuk menyulitkan atau untuk mengajarinya?" "seseorang yang telah membisikkan suatu kesesatan kepada orang-lainnya, sedang ia sendiri tidak melakukannya dan tidak bisa memaksakannya, apakah memang mau menyesatkan atau hanya sekedar untuk menguji dan mengajarinya agar mewaspadainya?" dsb.
Dari uraian-uraian di atas, maka iblis ataupun syaitan ibaratnya seolah-olah hanyalah 'beronani' (hanya menyenang-senangkan dirinya sendiri, dengan 'berbisik' amat bebas dan seenaknya) di alam batiniah ruh manusianya melalui segala bentuk godaan mereka. Sedang mereka itu justru sama sekali tidaklah berkuasa, untuk bisa memaksakan tiap isi godaannya itu kepada manusia.
Namun jika ditinjau lebih jauh bahwa tiap godaan dari mereka pasti terjadi secara konsisten tiap saatnya sepanjang hidup manusia, sehingga akan bisa jelas tampak, tentang tidak adanya unsur berusaha 'menyenangkan diri sendiri' tersebut. Hal yang lebih tepatnya adalah, mereka amatlah patuh melaksanakan tugas yang diberikan-Nya, untuk menguji keimanan tiap manusia, yang juga pasti selalu mereka ikuti.
Akhirnya justru sama sekali tidak ada sesuatu unsurpun yang perlu dipertanggung-jawabkan oleh iblis ataupun syaitan itu (tidak ada beban dosa bagi mereka), atas tiap godaannya kepada manusia.
Pada konteks ini dan sesuai uraian-uraian di atas, maka sejak diciptakan-Nya 'seluruh' makhluk gaib (termasuk iblis) justru selalu bertaqwa kepada-Nya dan selalu tinggal di Surga, karena mereka itu memang selalu tunduk, patuh dan taat, di dalam melaksanakan segala tugas yang diberikan-Nya, untuk memberi pengajaran dan ujian-Nya.
Kekafiran iblis misalnya, justru bukanlah suatu kekafiran yang sebenarnya dari iblis itu sendiri. Namun justru sesuatu perumpamaan yang berupa peringatan-Nya, sebagai bahan pelajaran yang amat perlu diwaspadai oleh tiap manusia.
Orang yang Mukhlis, yang tidak mudah tersesatkan
Bahkan tiap godaan dan kesesatan yang dibawa oleh iblis, juga tidak banyak berpengaruh bagi orang-orang yang Mukhlis. Sebaliknya mereka justru bisa mengambil pelajaran ataupun hikmah dari cobaan atau ujian-Nya yang dibawa oleh iblis, syaitan ataupun jin. Hal inipun sesuai dengan yang disebut dalam Al-Qur'an, "…dan pasti aku (iblis) akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang Mukhlis di antara mereka" – (QS.38:82-83) dan (QS.15:39-40).
Bahwa fokus yang sebenarnya bukan pada kata 'menyesatkan', karena orang yang Mukhlis dan bahkan para nabi-Nya, juga pastilah selalu berusaha disesatkan pula oleh iblis. Tetapi fokus tafsiran yang sebenarnya adalah 'tersesatkan', atau 'hasil' pengaruh dari penyesatan itu. Orang-orang yang Mukhlis, adalah orang-orang yang relatif tidak mudah tersesatkan oleh godaan dari iblis, syaitan ataupun jin.
Definisi yang telah umum diketahui, bahwa orang-orang yang Mukhlis adalah orang-orang yang memiliki tingkat keikhlasan relatif sangat tinggi. Keikhlasan itu terutama dalam menerima segala cobaan atau ujian-Nya secara apa adanya, sebagai suatu bagian dari kehendak dan rencana-Nya. Bahkan mereka bisa mengambil berbagai pelajaran dan hikmah positif darinya.
Bahwa segala zat ciptaan-Nya (makhluk hidup dan benda mati, nyata dan gaib) di alam semesta ini justru pasti tunduk dan taat kepada aturan-Nya (sunatullah), termasuk pula segala sesuatu hal yang ada di lingkungan sekitar. Sunatullah yang berlaku atas sesuatu zat ciptaan-Nya atau makhluk-Nya amat banyak dipengaruhi oleh segala keadaan yang terkait di lingkungan sekitarnya. Namun sebaliknya relatif amat terbatas kemampuan tiap zat makhluk-Nya, untuk bisa mempengaruhi lingkungannya.
Hanya para pemimpin ataupun sejumlah amat terbatas manusia yang berkemampuan serta berpengaruh besar. Namun mereka inipun tetaplah masih amat terbatas di dalam mempengaruhi lingkungannya. Contoh misalnya, mereka amat terbatas di dalam mempengaruhi istri dan anaknya, agar bisa sesuai keinginannya. Walau dalam hal-hal lain, mereka barangkali bisa mengubah suatu bangsa.
Dari fakta itu, maka keikhlasan amat sangat dibutuhkan, untuk menerima secara apa adanya segala kehendak-Nya di alam semesta, terutama saat berbagai nafsu-keinginan amat sulit tercapai. Sehingga keikhlasan adalah obat yang amat ampuh bagi nafsu-keinginan yang berlebihan. Padahal nafsu itu adalah sarana yang paling sering dipakai oleh iblis, syaitan dan jin, untuk bisa mudah menyesatkan manusia.
Maka amat mudah dimengerti, jika orang-orang yang Mukhlis (dengan segala keikhlasannya) justru relatif sulit bisa terpengaruh atau tersesatkan oleh godaan iblis.
Segala 'pikiran buruk' mustahil bisa ditolak manusia
Dengan keniscayaan atas keberadaan jin, syaitan ataupun iblis, yang justru pasti selalu mengikuti tiap manusia tiap saatnya, agar pasti bisa terjadinya ujian-Nya bagi keimanannya, sebagai suatu bagian dari kehendak dan rencana-Nya dalam penciptaan alam semesta ini. Maka sesuai dengan uraian-uraian di atas, bahwa segala hal yang dilakukan oleh jin, syaitan atau iblis kepada tiap manusia, pada dasarnya justru pasti telah mendapat 'ijin-Nya'.
Sehingga segala macam 'pikiran buruk' pada dasarnya sesuatu hal yang mustahil bisa ditolak dan dihindari, akibat dari segala macam bentuk bisikan, godaan atau ilham negatif tiap saatnya dari jin, syaitan ataupun iblis. Harus dipahami bahwa segala bentuk ilham pada pikiran tiap manusia pastilah berasal dari para makhluk gaib itu. Sama-sekali bukanlah berasal dari hasil pemikiran manusianya sendiri, walaupun memang amat sulit bisa dibedakan, karena ilham itu amat sangat halus bentuknya, dan hanya amatlah sedikit 'menyimpang' dari hasil pikiran langsung manusianya sendiri.
Maka bukanlah persoalan yang paling penting, tentang 'ada ataupun tidaknya' pikiran buruk itu. Justru hal yang paling pentingnya adalah bagaimana tiap manusia menyikapi ataupun menghadapi tiap bisikan-godaan-ilham negatif itu, secara lahiriah dan batiniah. Tentang peran dari para makhluk gaib di dalam memberi segala bentuk informasi batiniah positif dan negatif (bisikan-godaan-ilham), kepada akal tiap manusia untuk diolah.
Secara batiniah, tiap manusia bisa mengikuti, memperturutkan ataupun menyetujui tiap ilham negatif itu, namun sebaliknya bisa pula mengabaikannya. Dan karena memang mustahil bisa dihindari, maka beban dosanya memang relatif amat kecil pula bagi tiap manusia yang telah mengikutinya secara batiniah (belumlah mengamalkannya). Juga tergantung kepada lama waktu mengikutinya, dari sesaat saja sampai terus-menerus. Makin lama diikuti makin besar pula beban dosanya.
Beban dosa yang lebih besar justru jika telah diamalkan secara lahiriah, melalui segala bentuk perkataan dan perbuatan buruk. Tentu saja banyak aspek yang bisa mempengaruhi besar beban dosanya itu, saat dilakukan atau diamalkan, seperti: niat, besar beban tanggung-jawab, tingkat keterpaksaan, besar beban ujian-Nya, tingkat keimanan, tingkat kesadaran atau pengetahuan, dsb.
Ttiap bentuk pikiran, perkataan dan perbuatan buruk manusia, sebagai hasil dari mengikuti sesuatu bisikan dari jin, syaitan ataupun iblis, juga pasti akan dihisab atau dihitung-Nya di Hari Kiamat nanti. Penting diketahui pula, bahwa segala amal-perbuatan buruk itu pasti akan dianggap-Nya sebagai perbuatan manusia pelakunya itu sendiri, tentunya dengan diperhitungkan-Nya aspek-aspek di atas, serta bukan tanggung-jawab dari para makhluk gaib (terutama iblis dan syaitan).
Sebaliknya segala amal-perbuatan dari para makhluk gaib itu (termasuk iblis dan syaitan), dalam menyampaikan segala pengajaran dan ujian-Nya, justru dianggap-Nya sebagai suatu bentuk ketundukan, ketaatan dan kepatuhan mereka kepada perintah-Nya.
Bahwa pada awalnya, segala bentuk perkataan dan perbuatan buruk, pasti hanya timbul dari segala pikiran buruk pelakunya sendiri, kecuali jika hal itu memang "murni 100%" dari hasil pemaksaan oleh orang-lain, yang sama sekali tidak bisa ditolak atau dihindarinya. Perlu diingat kembali, bahwa segala ilham negatif dari jin, syaitan dan iblis pada dasarnya bukan suatu bentuk pemaksaan, karena tiap manusianya justru pasti berkuasa, untuk bisa menolak atau mengabaikannya.
Selain bentuk pemaksaan "murni 100%" di atas, maka sedikit-banyak pelakunya sendiri justru pasti memiliki tanggung-jawab atas tiap perbuatannya, sesuai pula dengan tingkat keterpaksaannya dalam berbuat. Padahal tubuh lahiriah-fisik manusia semata-mata pasti hanya tunduk, patuh dan taat kepada segala perintah ruh manusia itu sendiri, dengan segala isi pikirannya (baik dan buruk).
Cara-cara mengatasi segala 'pikiran buruk'
Bahwa segala tindakan secara batiniah oleh tiap manusianya sendiri, untuk bisa menghadapi segala ilham negatif (sebelum ataupun bahkan setelah bisa terwujud menjadi berbagai perbuatan buruk atau perbuatan dosa), justru amat penting dan mendasar dalam membangun kehidupan akhiratnya di dunia (kehidupan batiniah ruhnya).
Hal tersebut dalam agama Islam lebih dikenal sebagai tindakan pembentukan 'akhlak positif', yang di dalamnya juga termasuk segala tindakan untuk bisa menerima dan mewujudkan segala ilham positif dari para malaikat (khususnya malaikat Jibril yang menyampaikan tiap kebenaran-Nya).
Bahkan dipahami di sini, bahwa tindakan pembentukan segala macam 'akhlak positif atau terpuji', adalah puncak yang terakhir yang mestinya dicapai, sebagai hasil dari segala amal-ibadah yang diajarkan oleh agama-Nya. Maka relatif mudah dipahami, jika para alim-ulama terkemuka yang relatif telah amat tinggi ilmu agama dan keimanannya justru pada umumnya amat banyak membahas ataupun membicarakan tentang 'akhlak'. Bahkan nabi besar Muhammad saw justru diutus-Nya, "untuk bisa menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia".
Khusus dalam menghadapi berbagai ilham negatif, yang justru bisa amat menyesatkan, maka amat penting bisa dibangun, yaitu:
Cara-cara mengatasi ilham negatif dari para makhluk gaib
• Sebelum munculnya ilham negatif (tindakan preventif).
Banyak mengurangi atau menutup segala celah kekurangan pada pikiran, sekaligus membuka segala celah kelebihannya, dengan berusaha sebanyak mungkin bisa menghindari berpikiran negatif, dan sebaliknya banyak berpikiran positif.
Karena ilham dari para makhluk gaib justru pada dasarnya relatif hanya mengikuti kecenderungan arah pikiran manusianya sendiri (atau relatif hanya sedikit menyimpangkan pikiran ke arah yang lebih positif ataupun lebih negatif). Tentunya juga bisa dengan sebanyak mungkin berusaha terhindar berbuat negatif, dan sebaliknya banyak berbuat positif.
• Setelah munculnya ilham negatif, namun belum diamalkan. Sesegera mungkin beristigfar untuk memohon ampunan-Nya. Sesegera mungkin mengabaikan ilham negatif itu. Semakin lama diikuti, disetujui, dinikmati ataupun diperturutkan, maka segala pengaruh dari ilham negatif akan bisa semakin besar pula, bisa berkembang jauh lebih buruk lagi, ataupun bisa semakin mudah terwujud menjadi segala perkataan atau perbuatan buruk, yang beban dosanya justru jauh lebih besar (semakin menghinakan).
Juga agar tiap manusia bisa segera menegaskan secara batiniah, bahwa ada penolakannya atas pikiran, bisikan, godaan atau ilham negatif itu, agar di kemudian hari lebih mudah untuk mengingat dan tidak mengikutinya lagi.
Hal yang disebut sebagai 'bertaubat secara batiniah' ini, relatif sulit dilakukan, karena memori-ingatan tiap manusia relatif amat sulit dihilangkan. Sehingga bisa relatif mudah diingat!ingatkan kembali oleh para makhluk gaib itu, khususnya tentang berbagai hal yang bisa menyesatkan. Kecuali dengan cara, tidak banyak memikirkan hal-hal di sekitar ilham negatif itu, dan semakin banyak memikirkan hal-hal yang positif, seperti halnya pada tindakan-tindakan preventif di atas.
• Setelah ilham negatif diamalkan. Sesegera mungkin untuk bertaubat kepada-Nya, secara lahiriah dan batiniah, atas tiap pikiran, perkataan dan perbuatan buruk.
Pengelompokan pada para makhluk gaib
Bahwa jika dicermati secara seksama pada pemakaian nama-nama sebutan bagi berbagai jenis para makhluk gaib dalam Al-Qur'an (malaikat, jin, syaitan dan iblis), ternyata tidak cukup jelas dan tegas dipisahkan, terutama pemisahan kelompok atau jenis mereka. Karena sesuatu jenis makhluk gaib juga seolah-olah bisa menjadi anggota atau bagian dari kelompok jenis lainnya.
Contohnya: "syaitan dari golongan jin dan manusia" "iblis dari golongan jin" "sujudlah kamu (para malaikat) kepada Adam" dan "maka sujudlah mereka, kecuali iblis" "ada jin yang bertaqwa, setelah mendengar bacaan Al-Qur'an" dsb.
Sering disebut pula, bahwa suatu jenis makhluk gaib hanyalah memiliki perbedaan "perbuatan" tertentu saja, dari kelompok ataupun jenis makhluk gaib lainnya, seperti yang diungkapkan secara ringkas, sebagai berikut
Gambaran ringkas tentang perbedaan 'perbuatan' para makhluk gaib
• Iblis "paling berani kafir" kepada Allah, bahkan ia berbuat kafir langsung di hadapan Allah, ketika ia masih berada di surga. Namun anehnya dalam Al-Qur'an, iblis hanya disebut menggoda manusia (Adam) di Surga itu, sedang iblis "tidak pernah" disebut ketika ia berusaha menggoda manusia di dunia ini (justru hanya disebut jin dan syaitan).Sehingga 'iblis' adalah sebutan simbolik bagi para makhluk gaib, yang membawa kesesatan yang paling tinggi (membuat manusia paling berani menentang Allah).
• Dalam Al-Qur'an, syaitan hanya disebut-sebut dalam menggoda manusia di dunia, tetapi syaitan tidak langsung berbuat kafir dan langsung menentang di hadapan Allah.Sehingga 'syaitan' adalah sebutan simbolik bagi para makhluk gaib, yang membawa kesesatan yang lebih rendah daripada iblis.
• Dalam Al-Qur'an, jin hanya disebut-sebut dalam menggoda umat manusia di dunia. Namun ada pula jin yang beriman.Sehingga 'jin' adalah sebutan simbolik bagi para makhluk gaib, yang membawa kesesatan yang paling rendah, yang relatif jauh lebih rendah daripada iblis dan syaitan.
• Dalam Al-Qur'an, malaikat sering disebut memberi pengajaran dan tuntunan-Nya kepada manusia, dan tugas-tugas lainnya yang diperintah-Nya, yang dikerjakannya dengan amat patuh dan taat.Sehingga 'malaikat' adalah sebutan simbolik bagi para makhluk gaib, yang menyampaikan dan menegakkan berbagai kebenaran-Nya di alam semesta ini.
Sekali lagi, fokus utama daripada kandungan isi tabel di atas, adalah pada 'nilai perbuatan' dari suatu kelompok atau jenis makhluk gaib itu, justru bukan pada 'sebutan' ataupun 'zat' mereka.
Hal-hal ini cukup sesuai dengan uraian-uraian pada awal topik "Makhluk hidup gaib" ini, tentang tugas-tugas para makhluk gaib di dalam mengajari dan menguji manusia, secara batiniah.
Bisa disimpulkan, bahwa hakekat zat atau sifat para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis) adalah 'sama', tetapi perbedaan pada penyebutan mereka justru hanya untuk bisa membedakan 'nilai perbuatan' mereka, yang ditugaskan-Nya pada suatu 'waktu tertentu', dalam mengikuti, menjaga dan mengawasi manusia, agar manusiapun bisa mudah mengenal berbagai 'tugas' dan 'nilai perbuatan' mereka.
Selain karena pada 'nilai perbuatan' inilah justru yang paling mudah dan penting untuk bisa dipahami oleh tiap umat manusia, dan bukanlah pada 'zat' mereka (sosok, wujud), yang memang gaib (tidak tampak terlihat dan tidak bisa diraba).
Ringkasnya, tiap manusia tidak bisa, ataupun bahkan mustahil bisa menunjuk-nunjuk, bahwa 'ini' ataupun 'itu' adalah malaikat, jin, syaitan ataupun iblis, melalui zat, wujud atau esensinya, yang memang gaib. Namun tiap manusia hanyalah bisa menilai para makhluk gaib, melalui segala 'kandungan isi' bisikan mereka pada alam batiniah ruh manusianya sendiri (alam pikirannya). Tingkat nilai kesesatan ataupun kebenaran dari 'kandungan isi' bisikan itulah yang menunjukkan jenis dari suatu makhluk gaib, yang sedang berbisik.
Bahkan pada interaksi terang-terangan antara manusia dan para makhluk gaib, justru bisa lebih jelas tampak, bahwa penilaian manusia kepada mereka, serupa halnya dengan penilaian manusia atas aktifitas verbal manusia lainnya (nilai kesesatan ataupun kebenaran dari hal-hal yang dibicarakan). Karena pada interaksi terang-terangan itulah, suara bisikan para makhluk gaib itu justru persis seperti suara manusia biasa (walau tidak bisa direkam, dan hanya berbicara melalui hati manusia).
Bahkan pada berbagai uraian di bawah ini ditunjukkan, bahwa amat sangat halus dan tidak kentaranya perbedaan tugas para makhluk gaib. Sederhananya, mereka memiliki banyak tugas, kadang-kadang 'sebagai' malaikat, sedang di lain waktu 'sebagai' jin, syaitan ataupun iblis. Persis seperti halnya tiap manusia, yang suatu saat bisa berkata bohong, sedang pada saat lainnya bisa berkata benar.
Sekali lagi, penting untuk diketahui tentang para makhluk gaib itu hanyalah pada 'nilai perbuatannya', justru bukanlah pada 'zatnya ataupun nama sebutannya'. Persis seperti halnya sikap semestinya tiap manusia, pada saat berhadapan dengan manusia lainnya. Dan 'suatu' atau 'sekelompok' perbuatan sama sekali tidaklah bisa dilekatkan atau dinisbatkan kepada suatu zat makhluk-Nya, karena tiap zat makhluk-Nya memang cenderung berlaku ataupun bersifat 'tidak konsisten'.
Sosok lahiriah (wujud, zat, nama, jabatan, gelar-sebutan, harta-kekayaan, dsb), sama sekali tidak menunjukkan nilai yang sebenarnya dari tiap makhluk-Nya di mata Allah. Semua hal itu hanyalah dipakai dalam penilaian 'relatif' antar manusia sendiri, serta tidaklah dipakai dalam penilaian 'absolut' menurut Allah, yang hanyalah berdasar nilai dari segala amal-perbuatan tiap makhluk-Nya.
Dan akhirnya, penunjukan 'si ini' adalah malaikat dan 'si itu' adalah iblis misalnya, sama-sekali bukanlah sesuatu yang berarti.
Hal yang paling pentingnya justru, jika si A membisiki sesuatu yang 'benar', maka saat itu ia bisa disebut sebagai 'malaikat'. Dan jika pada saat yang lain, si A membisiki sesuatu yang 'sesat', maka saat itu pula ia bisa disebut sebagai 'syaitan atau iblis'.
Sehingga penamaan kelompok atau jenis para makhluk gaib di atas, memang semestinya berdasar pada 'perbuatan' sesuatu makhluk gaib (membisikkan sesuatu), bahkan hanya pada 'sesuatu saat' saja.
Interaksi antara para makhluk gaib dan manusia
Sebagaimana istilah 'gaib' itu sendiri, maka 'wujud asli' dari para makhluk gaib justru hanyalah bisa diketahui ataupun dirasakan melalui alam batiniah ruh tiap manusianya (alam pikirannya). Karena mereka itu memang hanya bisa berinteraksi langsung dengan manusia melalui alam batiniah ruh manusianya (alam pikirannya), dengan cara 'terang-terangan' ataupun cara 'terselubung'.
Prinsip kedua cara itu pada dasarnya sama, yaitu para makhluk gaib itu bisa berbicara ataupun berkomunikasi dengan tiap manusia, melalui suara 'bisikan' mereka pada alam batiniah ruh manusianya.
Namun pada interaksi secara 'terang-terangan', komunikasinya berlaku 'dua arah' dan suara bisikan dari para makhluk gaib itu 'jelas' (seperti suara manusia pada umumnya). Sedang pada interaksi secara 'terselubung', komunikasinya berlaku 'searah' dan suara bisikan dari para makhluk gaib itu 'tidak jelas' atau 'amat sangat halus'.
Bahwa dalam Al-Qur'an disebutkan misalnya, "bahwa syaitan terdiri dari golongan jin dan manusia", serta disebutkan pula berbagai "penampakan" para makhluk gaib itu secara lahiriah. Maka hal-hal itu perlu dipahami sebagai 'nilai-nilai pelajaran' yang bisa diperoleh dari aspek-aspek 'penampakan' lahiriah itu. Serta hal itu hanyalah bersifat 'contoh-perumpamaan simbolik', sebagai suatu pengajaran semata.
Lebih jelasnya, tiap manusia yang mengakui pernah melihat penampakan lahiriah para makhluk gaib, sebenarnya hanyalah semata-mata melihat manusia biasa lainnya, yang telah membawa suatu bahan pelajaran tertentu (positif ataupun negatif). Persis seperti segala bahan pelajaran yang diperoleh manusia pada alam batiniah ruhnya dari para makhluk gaib. Pada dasarnya wujud dari para makhluk gaib pastilah tetap 'gaib' (mustahil bisa tampak terlihat dan diraba oleh manusia).
Interaksi terang-terangan dengan para makhluk gaib
Hanya dengan cara 'terang-terangan' itulah manusia bisa pula 'berbicara' langsung secara 'dua arah' dengan para makhluk gaib itu, karena mereka 'berwujud asli' seperti manusia biasa, dengan berbagai usia (dari suara bayi sampai lansia), bangsa (berbagai bahasa) dan juga berbagai jenis kelamin (suara pria, wanita, dan bahkan banci).
Walaupun hal itu hanyalah melalui suara 'bisikan' mereka dari berbagai posisi ufuk (letak horison) dan jarak (dari seolah-olah amat dekat di kuping, sampai amat jauh sekali dan terdengar sayup-sayup), seperti halnya saat nabi Muhammad saw kedatangan malaikat Jibril.
"Ucapannya (Muhammad) itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepada umatnya),"
"yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat (tiap dalil-alasan atau hujjahnya pada kebenaran-Nya yang dibawanya),"
"yang mempunyai akal yang cerdas. Dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli."
"sedang dia berada di ufuk yang tinggi."
"Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi,"
"maka jadilah dia dekat (kepada Muhammad, sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)."
"Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad), apa yang telah Allah wahyukan."
"Hatinya tidak mendustakan, apa yang telah dilihatnya (dengan mata batinnya)." – (QS.53:4-11).
Sehingga dialog dengan para makhluk gaib melalui interaksi secara 'terang-terangan' itu, adalah dialog 'dua arah', dari hati ke hati, dalam arti yang sebenar-benarnya, walaupun memang relatif 'terbatas' pula. Karena mereka pasti mengetahui segala hal yang terlintas dalam pikiran tiap manusia, sesederhana dan sehalus apapun hal itu. Bahkan mereka pasti memahami segala bahasa yang dipakai oleh manusianya, serta pasti mengetahui pula isi mimpi manusianya, saat tidurnya.
Tetapi sebaliknya, manusia tidaklah bisa memahami isi pikiran mereka, kecuali dengan menelaah dan mencari hikmah dari segala hal yang mereka bisikan itu. Persis seperti seseorang manusia pada saat menelaah perkataan, sikap dan perbuatan orang-lain, lalu mengambil pelajaran dan hikmah darinya. Lebih umumnya lagi persis seperti pada saat menelaah segala zat ciptaan-Nya yang terdapat di seluruh alam semesta ini, berikut berbagai macam kejadian dan tingkah-polahnya.
Sehingga pengawasan dari para malaikat itu ('waskat'), pada dasarnya memang ada wujudnya. Seperti disebut di dalam Al-Qur'an, tentang adanya malaikat Rakid dan 'Atid, yang bertugas mengawasi dan mencatat segala amal-perbuatan baik dan buruk manusia. Bahkan mereka bisa mengawasi tiap pikiran manusia, yang amat sangat halus sekalipun. Serta mereka terus-menerus bisa mengawasi kapanpun dan dimanapun manusia yang diikuti berada, tanpa bisa menyembunyikan segala sesuatu halnya.
Hal ini tentunya jastru lebih sederhana daripada pengetahuan-Nya, atas segala amal-perbuatan tiap makhluk-Nya.
Para makhluk gaib itu seolah-olah berada pada kehidupan yang paralel, yang serupa dengan kehidupan manusia di dunia ini, namun mereka berada di alam batiniah ruh manusia (alam pikiran dan gaib). Mereka bisa bernyanyi, bermain, bercanda-tawa, meledek, berdiskusi, saling menyapa dan memberi salam, dsb. Persis seperti segala aktifitas 'verbal' manusia. Walaupun hampir segala aktifitas mereka itu, justru relatif hanya terkait langsung dengan manusia, yang mereka kunjungi, ikuti ataupun awasi.
Kunjungan mereka antara-lain: bisa hanya terdiri dari beberapa makhluk gaib saja, ataupun banyak jumlahnya; bisa menetap, sering, jarang atau sesekali saja; dsb. Bahkan juga disebut dalam Al-Qur'an, bahwa kalau sedang membaca Al-Qur'an dan shalat, nabi Muhammad saw juga bisa dirubungi atau dikerumuni oleh para makhluk gaib itu (seperti pada QS.46:29, QS.72:1 dan QS.72:19).
Hal sangat penting pula, bahwa tiap manusia pasti mengalami kegoncangan yang sangat dahsyat (ketakutan, susah tidur, amat awas, tegang, berkeringat dingin, dsb), terutama saat pertama-kali kunjungan mereka. Persis gambaran dalam Al-Qur'an terhadap nabi Muhammad saw, ketika beliau pertama-kali 'bertemu' langsung dengan malaikat Jibril (atau ketika 'mengetahui' wujud asli malaikat Jibril).
Kegoncangan ini terutama terjadi, karena para malaikat (atau para makhluk gaib), pasti menguji keyakinan batiniah manusianya dan pasti menghakimi pula secara batiniah, atas berbagai dosa yang pernah diperbuatnya. Kegoncangan batiniah ini dengan sendirinya juga akan bisa menimbulkan berbagai kekacauan pada tubuh fisik-lahiriahnya (panas dingin, sakit perut atau bagian tubuh lainnya, kejang-kejang, susah buang air, susah makan, dsb). Hanyalah manusia yang memiliki keyakinan batiniah relatif kuat, yang bisa melewati kegoncangan ini.
Hal-hal di atas diketahui dari seorang yang telah berinteraksi langsung dengan para makhluk gaib itu. Namun relatif sangat terbatas jumlah manusia pada tiap jamannya sampai saat ini, yang telah pernah mengalami cara berinteraksi "terang-terangan" tersebut. Sebagaimana halnya yang telah diketahui pula dialami oleh sebagian dari para nabi-Nya (termasuk nabi Muhammad saw).
Gambaran tentang interaksi terang-terangan
Berbagai gambaran dan contoh lebih lengkap, tentang kejadian di sekitar interaksi 'terang-terangan' antara manusia dan para makhluk gaib itu, serta digabungkan dengan hasil uraian-uraian di atas, seperti:
Berbagai gambaran tentang kejadian pada interaksi 'terang-terangan', antara manusia dan para makhluk gaib
• Manusia bisa 'berbicara' langsung dengan para makhluk gaib melalui suara 'bisikan' pada alam batiniah ruh manusia itu sendiri (alam pikirannya). Persis serupa dengan proses berpikir manusia tiap saatnya, namun dengan langsung mengucapkan sesuatu hal kepada mereka, secara batiniah. Sebaliknya mereka bisa berbicara, seperti orang yang 'berbisik' ke 'telinga' manusianya (lebih tepatnya ke 'hati'). Dan tentunya mereka tidak memiliki wujud fisik-lahiriah (tidak bisa dilihat melalui mata lahiriah, tetapi melalui mata batiniah atau 'hati').
• Mereka 'berwujud asli' seperti manusia biasa pada umumnya, walau hanya berwujud 'suara bisikan' mereka, dengan berbagai hal, seperti: berbagai usia (dari suara bayi sampai lansia); berbagai bangsa (berbagai bahasa); berbagai jenis kelamin (suara pria, wanita, dan bahkan banci); dsb. Kalaupun mereka itu 'seolah-olah' memiliki wujud lahiriah, pada dasarnya hanya berupa gambaran sosok bayangan mereka dalam pikiran, yang justru hanya hasil dari khayalan ataupun imajinasi manusianya sendiri, atas wujud dan isi 'suara bisikan' mereka.
• Suara bisikan mereka itu bisa berasal dari berbagai posisi 'ufuk' (letak horison Bumi) dan 'jarak' (seolah-olah dari amat dekat ke 'kuping', sampai amat jauh dan terdengar sayup-sayup).
• Mereka bisa bernyanyi, bermain, bercanda-tawa, meledek, saling menyapa dan memberi salam, berdiskusi, dsb, yang persis seperti segala aktifitas 'verbal' manusia. Walau hampir segala aktifitas mereka itu justru relatif hanyalah terkait langsung dengan manusia yang dikunjungi atau diawasi.
• Melalui interaksi terang-terangan, ibarat sederhananya, mereka itu seperti semua manusia lain di sekitar, yang saling berinteraksi dengan seseorang manusia, walau hanyalah melalui suara bisikan (serupa halnya pembicaraan antar orang buta, dan pembicaraan dari balik tembok). Karena manusia justru hanya bisa mendengar segala bentuk suara 'bisikan' dari mereka, melalui indera batiniah ruhnya ('hati' atau 'kalbu'). Lebih jelasnya lagi saat interaksi terang-terangan ini, besar atau 'amplitudo' suara bisikan mereka, jauh lebih jelas dan terang, daripada saat interaksi terselubung (amplitudo suaranya amat sangat halus). Maka 'wujud asli' atau warna suara dari tiap mereka yang sedang berbicara juga relatif jelas (usia, bangsa, jenis kelamin, dsb).
• Mereka 'seolah-olah' berada pada kehidupan yang paralel, yang serupa dengan kehidupan manusia di dunia ini, namun berada pada alam batiniah ruh tiap manusianya (alam pikiran atau alam akhiratnya, serta bersifat gaib). Juga kehidupan mereka terasa 'lebih ribut atau sibuk' daripada di pasar, terutama karena memang seperti sibuknya proses berpikir manusia. Meskipun hal ini belum cukup bisa menggambarkan kehidupan mereka yang sebenarnya di Surga ataupun di alam arwah, selain itu, karena interaksi seperti ini memang lebih bersifat terbatas, terutama karena hanya bersifat 'searah'. Juga diketahui, mereka selalu dalam keadaan 'bersemangat, senang dan gembira'.
• Kunjungan mereka antara-lain: bisa terdiri dari beberapa 'orang' saja, ataupun puluhan jumlahnya (seperti bisa diketahui melalui paduan suara koor mereka). Juga bisa tiap saatnya (menetap), sering, jarang ataupun sesekali saja.
"Bagi manusia ada malaikat-malaikat, yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah-Nya. …" – (QS.13:11).
• Manusia hampir pasti akan mengalami kegoncangan yang relatif amat dahsyat (ketakutan, berkeringat dingin, tegang, susah tidur, amat awas, sering melamun, dsb), terutama pada saat-saat awal kunjungan mereka. Hal ini terutama karena mereka pastilah akan menguji keyakinan batiniah manusianya, serta pastilah menghakimi secara batiniah, atas dosa-dosa yang telah diperbuat oleh manusianya.
Kegoncangan batiniah ini dengan sendirinya bisa menimbulkan berbagai kekacauan pada tubuh fisik-lahiriah manusianya (panas dingin, sakit perut atau bagian tubuh lainnya, susah buang air besar, kejang-kejang, susah makan, dsb).
• Hanyalah manusia dengan keyakinan batiniah yang relatif cukup kuat yang bisa melewati kegoncangan atas kunjungan mereka. Terutama dengan kemampuan akal dan keyakinan hati-nuraninya, karena mereka tidak bisa melangkahi, menipu dan menundukkan akal dan hati-nurani manusia. Tentunya hati-nurani inipun sulitlah bisa dipakai, jika telah amat dikotori oleh berbagai perbuatan dosa (terutama dosa-dosa besar, ataupun dosa-dosa yang dilakukan tanpa memiliki suatupun dasar alasan pembenaran sama-sekali).
• Selain melalui suara 'bisikan' yang jelas, mereka sekaligus pula berinteraksi dengan manusia melalui segala jenis 'ilham' positif-baik-benar dan negatif-buruk-sesat, berupa segala jenis informasi yang ada dalam benak pikiran tiap manusianya, seperti: memori-ingatan, pahala dan dosa, pemahaman-pengetahuan, pemikiran, intuisi-logika, perasaan, dsb. Hal ini persis seperti yang pasti dialami oleh tiap manusia tiap saatnya pada interaksi 'terselubung'. Namun pada interaksi terang-terangan relatif jauh lebih 'liar dan sibuk' daripada keadaan biasa atau normal, sebelum ada kunjungan mereka.
Disebut lebih 'liar dan sibuk', karena suara 'bisikan' amat sangat halus dari mereka itu, yang berupa godaan, olok-olokan, cacian, makian, hinaan, dsb, relatif jauh lebih banyak terjadi daripada keadaan biasanya. Sehingga ujian ini bisa terasa amat berat, jika manusianya kurang memiliki keyakinan atau keimanan yang cukup kuat. Terutama karena segala suara 'bisikan' itu memang seolah-olah berasal dari pikiran manusia sendiri (seolah-olah banyak berpikir buruk).
• Lebih penting lagi, segala jenis 'ilham' dari mereka itulah yang justru amat berperan, dalam segala proses berpikir tiap manusia tiap saatnya. Ilham-ilham hanya berupa segala 'potongan kecil' informasi batiniah, yang bisa ikut memperkaya segala bahan bagi proses berpikir. Sedang segala 'hasil' pemikirannya pasti tetap berada dalam kekuasaan akal dan keyakinan batiniah pada tiap manusianya sendiri. Dan tanpa adanya ilham-ilham itu proses berpikir manusia relatif mustahil bisa berjalan dan berkembang. Ilham-ilham itu memang bisa disebut sebagai potongan-potongan kecil informasi batiniah, karena mereka itu memang hanya bisa memanfaatkan tiap 'celah kecil' (positif dan negatif), dalam pikiran manusianya.
• Mereka bisa mengawasi atau mengetahui segala hal yang sedang 'terlintas' dalam pikiran tiap manusia, yang paling sederhana dan halus sekalipun ("sebesar biji zarrah"). Dan mereka sama sekali tidak bisa dibohongi. Mereka terus-menerus mengawasi tiap amal-perbuatan manusia, kapanpun dan dimanapun. Bahkan mereka mengetahui tiap bahasa dan segala isi mimpi manusianya. Hal ini tentunya pasti jauh lebih sederhana daripada pengetahuan Allah, Yang Maha mengetahui, atas tiap zat ciptaan-Nya.
• Mereka pada dasarnya relatif sama sekali tidaklah peduli dengan segala urusan fisik-lahiriah-duniawi tiap manusianya, namun justru relatif sangat memperhatikan segala amal-perbuatannya.
• Mereka relatif amat suka menghargai tiap amal-kebaikan yang paling kecil atau sederhana sekalipun. Sebaliknya mereka relatif amat suka menghakimi tiap amal-keburukan, yang baru ataupun yang telah amat sangat lama dilakukan.
Maka kehadiran mereka tiap saatnya itupun secara 'tidak langsung' pasti akan selalu mengingatkan manusianya, agar tidak berbuat suatu keburukan sekecil apapun, dan sekaligus agar banyak berbuat kebaikan. Hal ini tentunya pastilah jauh lebih sempurna lagi, apabila selalu bisa dirasakan langsung kehadiran Allah, Yang Maha kuasa dan Maha penyayang.
• Dialog dengan mereka adalah dialog 'dua arah' dari hati ke hati, dalam arti yang sebenar-benarnya, walaupun relatif agak terbatas (mereka justru bisa mengetahui segala isi pikiran manusianya, namun tidak sebaliknya). Manusia hanya bisa mengetahui mereka, dengan cara menelaah segala hal yang mereka bisikan, lalu mengambil pelajaran dan hikmahnya. Persis serupa saat tiap manusia menelaah perkataan, sikap dan perbuatan manusia lainnya.
• Daya ingat mereka amat hebat, seperti bisa menyimpulkan segala pengetahuan manusia, sebelum manusianya sendiri bisa menyadari dan menyimpulkannya. Selain itu mereka amat kreatif menggoda manusia, dengan segala pengetahuannya itu.
• Mereka memiliki peranan 'seperti' halnya manusia, seperti: para orang-tua yang arif-bijaksana, ulama, bapak dan ibu, anak-anak yang shaleh ataupun nakal, pelawak, adik-adik perempuan yang cantik dan lucu, wanita dewasa penggoda, banci, preman, polisi, pejabat, dsb, tentunya hanya berdasar intonasi, gaya dan isi suara bisikannya. Tentunya hal-hal ini bukanlah peranan yang sebenarnya di alam gaib itu sendiri. Tetapi lebih terkait dengan peranan yang mereka mainkan, ketika mereka sedang berurusan dengan manusia yang dikunjungi. Mereka justru amat sering mengikuti kecenderungan arah pikiran manusianya (memerankan berbagai hal yang sedang ataupun yang pernah dipikirkan oleh manusianya).
• Mereka biasanya berbicara dengan bahasa sehari-hari pada tiap manusia yang dikunjungi. Mereka juga terkadang berbicara dengan bahasa-bahasa lain, yang juga telah dikuasai oleh manusianya. Namun ada pula mereka yang berperan, sebagai orang asing (dari berbagai bangsa atau bahasa asing), walau mereka ini biasanya hanya sesekali saja berkunjung.
• Kunjungan mereka itu (secara keseluruhannya) justru terjadi tiap saatnya relatif tanpa berhenti, serta selalu ada saja salah-satu dari mereka, yang berbisik atau berbicara. Kehadiran mereka hanya kurang terasa, jika manusianya sedang amat sibuk dengan kegiatannya, amat berkonsentrasi berpikir, ataupun jika sedang tertidur.
• Dari 'pengakuan' mereka sendiri, ada pula sebagian dari mereka yang telah mengikuti manusianya sepanjang hidupnya (sejak saat awal kelahiran manusianya ke dunia). Atas ijin-Nya, selain mereka bisa berinteraksi secara 'terselubung' dengan manusianya, namun pada keadaan tertentu, sekaligus berinteraksi secara 'terang-terangan'.
• Kunjungan mereka secara terang-terangan inipun diketahui bisa terjadi, karena 'diundang' oleh manusianya itu sendiri, dan bisa pula, karena 'tanpa diundang' (diduga karena mereka memiliki ketertarikan tertentu kepada manusianya, secara positif ataupun negatif).
• Mereka diduga tidak pernah tidur. Hal ini khususnya tampak jelas dari keadaan mereka yang tiap saatnya selalu segar dan bersemangat dalam berbicara. Dan tentunya juga relatif tiap saatnya mereka selalu ada.
• Mereka selalu saling bergantian dalam berbicara, sehingga amat jarang bisa terjadi tumpang-tindih.
• Mereka amat mudah menirukan suara manusia biasa, terutama orang-orang di sekeliling manusia yang dikunjungnya. Hal ini biasanya terjadi pada berbagai kunjungan awal mereka, ketika manusianya sendiri masih mengalami kegoncangan atau kebingungan dalam menghadapi mereka. Hal itu biasanya bertujuan untuk 'menakut-nakuti' manusianya, terutama atas hal-hal buruk yang telah dilakukannya, yang terkait dengan orang-orang di sekeliling tersebut (sebagai suatu bentuk ujian-Nya).
• Materi pembicaraan mereka persis serupa dengan pada kehidupan manusia sehari-harinya, seperti mengandung: ujian, humor, main-main, petuah, pelajaran, tuntunan, dan pembicaraan sehari-hari lainnya. Jika digambarkan prosentasenya kira-kira: 90% ujian (godaan dan olok-olokan), 1% pelajaran dan tuntunan, serta 9% hal-hal lainnya. Sehingga hampir tiap saatnya, manusia selalu mendapat godaan, olok-olokan atau ujian dari mereka, baik menyangkut berbagai keburukan, kebaikan ataupun segala amal-perbuatan lainnya oleh manusianya.
• Mereka amat sering mengulang-ulang isi pikiran manusianya, sehingga relatif terasa amat menjengkelkan, serta bisa memakan lebih banyak waktu dalam berpikir, dibandingkan keadaan biasanya, termasuk karena mereka sering 'menyela' ataupun 'menambah' isi pikiran manusianya, dengan segala jenis 'ilham' (positif dan negatif).
• Ujian itu makin terasa, karena secara umum mereka seolah-olah selalu berada dalam posisi 'netral' (atau pembicaraan mereka selalu bercampur-aduk antara hal-hal yang benar dan yang sesat). bahkan dari tiap salah-satu dari mereka. Maka relatif tidak jelas, apakah tiap mereka itu adalah malaikat atau syaitan. Alam batiniah ruh manusianya seolah-olah diaduk-aduk atau seolah-olah seperti mengandung berbagai pembicaraan yang 'relatif' sia-sia.
• Ujian yang relatif paling berat dari mereka, adalah penghakiman secara batiniah atas hampir semua perbuatan dosa ataupun keburukan yang pernah dilakukan oleh manusianya, yang mereka kunjungi secara terang-terangan ini. Pada dasarnya penghakiman ini hanya terjadi atas tiap perbuatan dosa tertentu dan hal-hal terkait yang sedang dipikirkan. Tetapi pikiran tiap manusia justru bisa bergerak atau mengawang amat sangat cepat dan mudah kemana-mana, maka pada akhirnya, hampir semua perbuatan dosanya bisa ikut terhakimi pula, sama sekali tanpa bisa disembunyikan ataupun dihindari. Bahkan suatu perbuatan dosa yang terlintas ataupun terkait amat sangat halus sekalipun pada pikiran manusianya, akan langsung mereka buka dan bahas kembali, sekaligus tentu saja, merekapun langsung menghakiminya atas perbuatan dosanya itu.
Segala perbuatan dosa yang sama sekali tanpa memiliki alasan pembenar sedikitpun (melanggar segala sesuatu hal, seperti: ayat-ayat-Nya, sunnah Nabi, petunjuk para ulama, petuah orang-tua, hati nurani, akal sehat, dsb), pasti akan bisa mendapat penghakiman yang relatif sangat berat. Selain tentunya berdasar tingkat berat beban tiap dosa itu sendiri, yang disebutkan dalam ajaran-ajaran agama Islam.
Penghakiman ini bisa mengarahkan kepada berbagai kehilangan keyakinan batiniah yang relatif cukup parah pada manusianya akibat perbuatan dosa seperti itu, terutama jika relatif kurang bisa tertutupi oleh berbagai amal-kebaikannya atau belum bertaubat. Pada keadaan yang relatif amat parah, bahkan akan bisa menimbulkan kegilaan. Dan tentunya penghakiman seperti di atas relatif jauh lebih sederhana dan lebih ringan daripada penghakiman di Hari Kiamat nanti.
• Terkait dengan kesukaan mereka dalam menghakimi perbuatan dosa atau keburukan manusianya, dan juga kemampuan mereka menangkap isi pikiran manusia yang terlintas amat sangat halus sekalipun di atas, maka manusianya justru relatif amat sulit, untuk bisa berusaha melupakan berbagai hal yang justru ingin dilupakannya (biasanya terkait tiap perbuatan dosanya), saat selama interaksi terang-terangan ini.
Dalam menghadapi hal ini, cara yang bisa dilakukan oleh manusianya, agar berat beban dosanya relatif terasa lebih ringan (rasa bersalahnya bisa makin berkurang), misalnya dengan cara langsung bertaubat ataupun berusaha menemukan dan mengingat berbagai dasar alasan pembenar yang makin kuat (jika ada).
Walau memang secara keseluruhannya, segala alasan ini tetaplah tidak bisa membuat suatu perbuatan dosa, bisa menjadi 'bukan' perbuatan dosa, apalagi jika telah dilakukan secara berulang-ulang. Makin sering sesuatu perbuatan dosa diulang-ulang, maka makin lemah pula berbagai dasar alasan pembenar itu bisa menanggung beban dosanya (beban rasa bersalah).
Cara lain pula, dengan berusaha mengingat segala amal-kebaikan terkait yang telah dilakukan, yang memiliki nilai amal-kebaikan 'terkait' yang relatif setara ataupun jauh lebih tinggi daripada beratnya beban suatu perbuatan dosa, sehingga relatif bisa cukup 'menutupi' atau 'mengurangi' beratnya beban dosa terkait.
Jika segala amal-kebaikan seperti itu belum dilakukan, mestinya bisa segera dilakukan, dan akan jauh lebih baik lagi jika makin sering dilakukan. Hal ini juga termasuk bagian dari bertaubat. Dengan cara-cara itu diharapkan bisa makin mengurangi segala siksaan batin, yang biasanya terjadi selama berinteraksi terang-terangan ini. Hal ini pada dasarnya relatif serupa dengan keadaan kehidupan normal tiap manusia pada umumnya sehari-harinya, namun di sini justru terasa relatif jauh lebih 'kuat' dan 'detail'. Selain karena tiap manusianya memang tidak berdialog sendiri, dan relatif subyektif dalam menilai perbuatan dosanya. Juga karena para makhluk gaib itu amatlah sangat cerdas, termasuk dalam mengorek-orek segala aspek kesalahan manusianya sampai sedetail-detailnya, dalam berbuat suatu dosa.
• Mereka relatif sulit dipisahkan, antara: malaikat, jin, syaitan atau iblis, karena mereka itu relatif tidak jelas 'jenisnya', khususnya dari isi pembicaraan mereka yang memang selalu 'netral' ('bercampur-aduk' antara yang benar dan yang sesat). Walaupun mereka terkadang mengaku-aku sebagai ini dan itu, bahkan juga termasuk mengaku-aku sebagai arwahnya para nabi-Nya dan manusia biasa lainnya. Sebagian dari mereka memiliki nama panggilan sendiri (seperti nama-nama manusia biasa), tetapi mereka juga bersedia, jika diberikan nama panggilan.
• Jika datang dan pergi terkadang mereka mengucapkan "Assalammu'alaikum" dan "Wassalam mu'alaikum". Hal-hal ini biasanya terjadi pada saat-saat tengah malam.
Mereka sering ikut manusia melakukan shalat (membaca bacaan shalat), membaca dua kalimat syahadat ("Laa ilaaha illallaah, Muhammadar rasulullaah"), dan juga amat fasih membaca ayat-ayat Al-Qur'an. Mereka juga relatif sering mengingatkan manusia, untuk melaksanakan shalat.
• Telah diajarkan oleh nabi Muhammad saw, agar umat Islam banyak melakukan shalat malam (tahajud), pada 1/3 malam yang terakhir (kira-kira jam 2 s/d 4 subuh dini hari). Ternyata pada saat inilah, kedatangan mereka banyak membawa hikmah dan hidayah-Nya, serta hampir tidak ada lagi segala hal yang mengganggu kekhusu'an dalam bertafakur dan beribadah.
• Secara umumnya kehadiran mereka relatif amat mengganggu, jika tidak dimiliki kesabaran dan keyakinan (keimanan) yang cukup tinggi, terutama karena kehadiran mereka ini semacam suatu tambahan jenis ujian-Nya. Maka manusianya semestinya relatif cukup cerdas, untuk bisa mengambil hikmah dari tiap 'isi bisikan' mereka. Namun sebaliknya, mereka justru amat memperkaya wawasan alam pikiran manusianya dengan berbagai pengajaran. Karena mereka justru amat sangat cerdas akalnya, bahkan termasuk mereka yang masih berusia balita dan anak-anak sekalipun. Maka pengajaran mereka juga memungkinkan untuk makin banyak memperoleh hidayah. Padahal kenyataannya pula, seseorang memang relatif akan bisa banyak mendapat tambahan pengetahuan, jika ia bergaul dengan orang-orang-lainnya yang amat pintar dan cerdas.
Tentunya hal itu terjadi, hanya jika manusianya sendiri memang mau berusaha menggunakan akalnya, karena tiap hikmah dan hidayah itu justru bukanlah diperoleh dalam 'bentuk jadi dan siap pakai', namun justru dalam bentuk 'mentah' yang harus diolah terlebih dahulu, melalui akal-pikiran manusianya sendiri.
Sekali lagi perlu diketahui, bahwa segala pengajaran dari mereka justru bercampur-aduk, antara hal-hal yang benar dan yang sesat, sehingga hal-hal yang mereka bicarakan secara umum bukanlah hal-hal yang penting. Namun jauh lebih penting untuk bisa dipahami, justru hal-hal yang 'tersirat' di balik segala pembicaraan mereka.
• Paling penting pula diketahui, bahwa segala hikmah dan hidayah sebagian besar bukan diperoleh melalui interaksi 'terang-terang' (suara bisikan mereka amat jelas), tetapi justru melalui interaksi 'terselubung' (suara bisikan mereka amat sangat halus), atau yang telah biasa dikenal sebagai 'proses berpikir' manusianya sendiri. Walau interaksi 'terang-terang' itupun memang relatif amat jelas bisa memberi pemahaman manusianya, tentang kehidupan batiniah ruhnya sendiri (kehidupan akhiratnya) ataupun kehidupan alam ruh.
Hal ini mudah dipahami, karena interaksi terang-terang berjalan relatif sangat lambat (secepat pembicaraan manusia), sedangkan interaksi terselubung berjalan relatif sangat cepat (secepat pikiran manusia). Sehingga pada interaksi terselubung, justru jauh lebih banyak pula berbagai pengajaran dari mereka, yang bisa diolah melalui akal-pikiran manusianya sendiri.
• Kehadiran mereka melalui interaksi terang-terangan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan tidur dan mimpi, karena interaksi ini justru hanya terjadi tiap saatnya, ketika manusianya sedang dalam keadaan 'sadar' (bukan pula kesadaran ketika sedang bermimpi). Walaupun terkadang bisa pula terjadi ketika manusianya dalam keadaan sedang mengantuk akan tertidur ('setengah sadar').
Juga interaksi ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan 'sugesti', karena 'sugesti' itu adalah salah-satu bentuk ilham yang mereka berikan kepada manusianya dalam interaksi terselubung.
• Hanya melalui interaksi terang-terangan ini, manusianya relatif bisa banyak memahami tentang hal-hal yang gaib (termasuk dialami pula oleh sebagian para nabi-Nya), terutama dalam memahami interaksi yang paling mendasar, antar ruh sesuatu makhluk dan ruh makhluk lainnya. Walaupun semua hal itu justru tetap harus didukung melalui penggunaan akal-pikiran oleh manusianya sendiri.
Di samping tentunya, manusia bisa memahami tentang 'wujud asli' dari para makhluk gaib itu (berbagai usia, berbagai bangsa, berbagai jenis kelamin, dsb), yang serupa dengan 'manusia yang sempurna', namun memang tanpa tubuh fisik-lahiriah (gaib). Amat penting pula, manusia bisa memahami tentang bagaimana cara para makhluk gaib dalam memberikan pengajaran dan ujian-Nya kepada tiap manusianya.
Sekali lagi, hakekat dan hasil dari interaksi terang-terangan ini pada dasarnya bersifat 'netral'. Manusia yang mengalaminya justru sama-sekali tidaklah bisa dianggap telah diuntungkan, dan bukan pula dirugikan. Karena manusianya selain mendapat pengajaran, namun juga mendapat ujian (ada yang benar, namun ada pula yang sesat; ada yang menyenangkan, namun ada pula yang menyusahkan; dsb).
Semuanya tetaplah kembali pada manusianya sendiri untuk bisa mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari interaksi terang-terangan ini. Karena interaksi inipun pada dasarnya relatif serupa dengan interaksi antar seorang manusia dengan berbagai manusia lainnya, yang telah bertambah pula jumlahnya.
Akhirnya, karena dalam interaksi 'terang-terangan' dengan para makhluk gaib, yang terdiri dari berbagai kelompok umur (dari lansia sampai bayi), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) ataupun bangsa, maka satu-satunya cara 'paling aman' bagi manusia yang menghadapi mereka, adalah dengan memiliki segala kepercayaan atau keyakinan diri yang relatif amat kuat. Dengan semaksimal mungkin bisa menjaga dan membangun tiap akhlak dan perbuatannya, seperti yang diajarkan dalam ajaran-ajaran agama Islam (dengan banyak melakukan segala amal-kebaikan dan banyak menghindari segala amal-keburukan).
Hal itu diperlukan agar tiap manusia bisa percaya diri, ataupun relatif amat memuaskan bisa menjawab tiap godaan dan penghakiman secara batiniah dari para makhluk gaib itu. Bahkan jika hal ini berhasil dilakukannya, ia justru bisa membina hubungan yang relatif harmonis dengan para makhluk gaib itu.
Hal ini pada dasarnya persis serupa, dengan saat tiap manusia menghadapi seluruh manusia lainnya di sekitarnya. Ia akan mendapat pujian atau penghormatan, jika telah berbuat kebaikan, dan sebaliknya mendapat cercaan atau penistaan, jika telah berbuat keburukan.
Namun hal yang relatif jauh lebih rumit terjadi dalam interaksi terang-terangan dengan para makhluk gaib itu, karena merekapun bisa mengetahui segala pengetahuan dan segala hal yang sedang dipikirkan oleh tiap manusia yang mereka ikuti, bukan hanya berupa tiap amal-perbuatan lahiriah yang justru memang mudah tampak oleh manusia lainnya. Dengan sendirinya tiap manusia juga semestinya menjaga tiap pikirannya, agar relatif selalu berpikir tentang hal-hal yang positif.
Sangat mudah dimengerti pula, jika nabi Muhammad saw bisa jauh lebih terjaga segala akhlak, budi-pekerti dan kebiasaan terpujinya tiap saatnya sehari-harinya, karena telah berinteraksi terang-terangan dengan para makhluk gaib 'hampir tiap saatnya' (khususnya malaikat jibril), dan bukan hanya sesekali ataupun beberapa kali saja. Sehingga juga seolah-olah ada 'waskat' terhadap Nabi (pengawasan malaikat).
Tentunya jauh lebih sempurna lagi daripada 'waskat' tersebut, adalah karena Nabi selalu bisa merasakan langsung 'kehadiran Allah', Yang justru pastilah selalu menyaksikan segala pikiran, perkataan dan perbuatannya tiap saatnya (tiap tarikan napas atau detak jantungnya).
Sedang akhlak itu sendiri, atau sikap batiniah terhadap sesuatu hal (yang terwujud secara lahiriah ataupun tidak), bisa meliputi akhlak kepada: Allah, segala makhluk-Nya (makhluk nyata ataupun gaib) dan bahkan segala benda mati. Maka pada saat seseorang manusia sedang berinteraksi terang-terangan dengan para makhluk gaib itu, akan lebih kentara perlunya akhlak terpuji kepada mereka.
Hal ini persis serupa dengan akhlak seseorang manusia kepada manusia lainnya, namun relatif berbeda pada bentuk atau wujud dari akhlak yang justru lebih diperlukan, yaitu: berwujud lahiriah (kepada manusia) dan berwujud batiniah (kepada para makhluk gaib). Tentunya hal yang jauh lebih diperlukan lagi, adalah akhlak yang terpuji kepada Allah, Yang telah menciptakan manusia dan alam semesta ini (akhlak yang berwujud lahiriah dan batiniah).
Penting diketahui pula, bahwa segala akhlak, budi-pekerti dan kebiasaan terpuji yang perlu dimiliki oleh tiap umat Islam, sama sekali bukan karena bermanfaat bagi Allah ataupun bagi segala makhluk-Nya lainnya. Namun justru untuk bisa bermanfaat bagi pembangunan kehidupan batiniah ruh umat itu sendiri (kehidupan akhiratnya), yang relatif jauh lebih baik.
Lebih lanjut, interaksi terang-terangan dengan para makhluk gaib
Dari berbagai contoh di atas, diharapkan bisa makin diperoleh gambaran yang jauh lebih proporsional, tentang "wujud asli" dari para makhluk gaib. Khususnya lagi karena amat kuatnya dugaan, bahwa interaksi terang-terangan itu juga telah dialami oleh sebagian dari para nabi-Nya, seperti misalnya: nabi Ibrahim as, nabi Musa as, nabi Isa as, nabi Luth as, nabi Sulaiman as, nabi Muhammad saw, dsb.
Bahkan pada interaksi terang-terangan ini, yang telah membuat para nabi-Nya bisa memahami lebih jelas dibandingkan manusia biasa lainnya, tentang hakekat dari para makhluk gaib itu. Sedangkan pada interaksi terselubung, manusia hanya bisa menduga-duganya saja dari "fenomena tindakan mereka" yang gaib pula di alam batiniah ruhnya.
Berbagai pengajaran dan ujian-Nya dari para makhluk gaib itu justru makin memperkaya pengetahuan para nabi-Nya (serupa halnya dengan orang yang telah banyak bergaul ataupun membaca). Karena pada kenyataannya, para makhluk gaib itupun justru menjadi 'teman' yang paling setia (menemani tiap saatnya), yang jauh melebihi segala keluarga dan sahabat manusia biasanya. Mereka bahkan mengetahui segala isi pikiran manusia, yang paling halus sekalipun.
Maka para nabi-Nya makin banyak pula mendapat hikmah dan hidayah-Nya, setelah mereka sendiri memiliki keyakinan (keimanan) yang sangat kuat, dalam menilai segala bentuk pengajaran dan ujian-Nya dari para makhluk gaib itu, yang bentuknya memang tidak jelas dan bercampur-baur, antara hal-hal yang benar dan yang sesat. Seperti ketika manusia mempunyai banyak teman baru (yang baik dan jahat).
Walaupun seolah-olah tampak menguntungkan bagi para nabi-Nya. Justru di lain pihak, interaksi terang-terangan itu menjadi sesuatu beban tambahan yang mengoncang keyakinan atau keimanan manusia. Seperti kegoncangan batiniah sangat luar biasa pada nabi Muhammad saw, pada awal-awal bertemu malaikat Jibril di atas. Dan hanya bisa dianggap sebagai sesuatu keuntungan, jika manusianya memang telah cukup siap (atau keimanannya relatif cukup kuat), dalam menghadapi para makhluk gaib itu. Selain itu, interaksi terang-terangan ini bukanlah sesuatu yang umum atau normal dihadapi oleh tiap manusia pada umumnya, maka banyak pula orang-orang yang menjadi kerasukan dan kesurupan.
Bahkan pengajaran dan ujian-Nya dari para makhluk gaib pada dasarnya bersifat seimbang atau netral, serta tidak bersikap pilih kasih pada manusia tertentu, misalnya tidaklah dilebih-lebihkan pengajaran-Nya bagi para nabi-Nya. Karena pada dasarnya, hal itu juga hanyalah berdasar hasil usaha yang sangat keras dari para nabi-Nya itu sendiri (amat banyak bertafakur, beramal-shaleh, beribadah, dsb).
Pada dasarnya sama bagi tiap manusia, ia justru mendapatkan pengajaran (dari para malaikat), dan sekaligus pula mendapatkan ujian (dari jin, syaitan dan iblis). Hanyalah tergantung pada kemauan amat kuat dan usaha amat keras tiap manusianya saja untuk mau memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta, dan sekaligus bisa pula meningkatkan keimanannya (pemahaman dan pengamalannya).
Baca pula pada berbagai uraian di bawah, tentang proses perolehan hikmah dan hidayah-Nya.
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun (hai Muhammad), dan tidak (mengutus pula) seorang nabi, melainkan apabila ia (rasul atau nabi itu) mempunyai sesuatu keinginan (yang kuat guna mengetahui kebenaran-Nya). Syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginannya. (Namun) Allah menghilangkan apa yang dimaksud oleh syaitan itu (untuk melindunginya), dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya (menguatkan pemahaman dari orang-orang yang beriman, atas berbagai kebenaran-Nya). Dan Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana," – (QS.22:52).
Interaksi terselubung dengan para makhluk gaib, melalui ilham
Bahwa pada interaksi dengan cara 'terselubung', yang sangat halus dan pastilah selalu dialami oleh tiap manusia, para makhluk gaib itu mengikuti irama dan kecenderungan arah pemikiran manusianya. Hal ini relatif mudah dipahami, karena sebagai 'guru', para makhluk gaib itu pastilah tidak memberikan pengajaran yang terlalu jauh dari tingkat pemikiran muridnya (di luar kapasitas kemampuannya), kalau tidak ingin pengajarannya menjadi sia-sia.
Selain itu, cara yang sangat halus itupun harus dilakukan, juga agar manusianya tidak mudah mengenal pengajaran itu, sebagai suatu bentuk pengaruh intervensi dari luar dirinya. Sehingga pengajaran itu tidak mudah mendapat penolakan ataupun membawa kesia-siaan pula. Maka pengajaran itu justru harus dilakukan secara sangat halus, agar 'seolah-olah' berasal dari hasil pemikiran manusianya sendiri.
Maka segala pengajaran dengan cara 'terselubung' yang sangat halus, tidak terlalu jauh di luar pemikiran dan tidak di luar kapasitas kemampuan manusianya sendiri, adalah suatu wujud pengajaran yang memang paling efektif dan alamiah dari para makhluk gaib itu, dalam berusaha mempengaruhi tiap manusianya ke arah yang positif-benar-baik ataupun negatif-sesat-buruk.
Interaksi terselubung ini juga bertujuan mengarahkan manusia kepada pikiran, tentang kebaikan, keburukan ataupun hal-hal lainnya, sebagai tawaran-tawaran pengajaran bagi tiap manusia (sebagai ilham-ilham baru), dengan cara-cara memanfaatkan tiap 'celah' pada pikiran manusia, yang menguntungkannya ataupun justru menyesatkannya.
Bahkan justru segala arah kecenderungan pemikiran baru pada tiap manusia (ilham-ilham), semuanya berasal dari para makhluk gaib. Sedang manusia justru hanya tinggal memilih salah-satu atau sebagian saja dari ilham-ilham itu (memori-ingatan, intuisi-logika, pemahaman, pemikiran, pengetahuan, perasaan, dsb), untuk dipakai sebagai sesuatu bahan pelajaran, dalam menentukan arah tujuan kehidupannya ke arah yang positif ataupun yang negatif. Padahal di lain pihaknya diketahui, bahwa sebagian besar dari manusia justru cenderung sangat malas untuk mau berpikir, khususnya lagi pada umat manusia yang awam.
Hal inipun sekaligus membuktikan, tentang amatlah cerdasnya akal para makhluk gaib itu. Bahkan mereka itu bisa mengetahui segala pengetahuan dan pengalaman manusianya (lahiriah dan batiniah), tiap saatnya sepanjang hidupnya. Merekapun amat sangat pintar untuk bisa semaksimal mungkin memanfaatkan pengetahuannya, dalam berusaha mempengaruhi manusianya. Hal ini dibuktikan dengan amatlah sangat sedikitnya umat manusia, yang bisa terhindarkan dari penyesatan yang amat kecil atau sederhana sekalipun sepanjang hidupnya oleh iblis dan syaitan (kecuali bagi orang yang Mukhlis, termasuk para nabi-Nya).
Hal ini sekaligus menunjukkan, bahwa sangat penting bagi tiap manusia, agar jauh lebih memperhatikan kehidupan atau alam batiniah ruhnya (kehidupan atau alam akhiratnya), agar ia tidaklah bisa mudah dipermainkan oleh para makhluk gaib itu, yang memang amat sangat cerdas dan bisa menyesatkannya (sebagai ujian-Nya secara batiniah).
Lebih lanjut, ilham-bisikan-godaan para makhluk gaib
Dari wujud para makhluk gaib itu sendiri yang memang justru bersifat gaib (tidak bisa dilihat dan diraba), maka relatif amat terbatas pula pengetahuan manusia tentang 'ilham-bisikan-godaan' dari mereka dan relatif hanya para nabi-Nya yang mengetahuinya dengan jelas.
Sebagaimana biasa, agar lebih jelas tentunya cara yang paling baik bagi tiap umat Islam adalah memulai tiap pemahamannya dengan mengacu langsung dari ayat-ayat Al-Qur'an, seperti sebagai berikut:
'Ilham-bisikan-godaan' dari para makhluk gaib, dalam Al-Qur'an
1. Allah menguji keimanan manusia, melalui segala 'Ilham-bisikan-godaan' dari para makhluk gaib, pada alam batiniah ruhnya (dada-hati-pikirannya).
"maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu, (jalan) kefasikan dan ketaqwaan,", "sesungguhnya beruntunglah, orang yang mensucikan jiwa itu,", "dan sesungguhnya, merugilah orang yang mengotorinya." – (QS.91:8-10).
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, seorang rasulpun, dan tidak (mengutus pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan (yang kuat untuk mengetahui kebenaran-Nya). Syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, (namun) Allah menghilangkan apa yang dimaksud oleh syaitan itu, (untuk melindunginya), dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana,", "agar Dia menjadikan apa yang dimaksudkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, dan (orang-orang) yang kasar hatinya. …" – (QS.22:52-53).
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabb-mu menghendaki, niscaya mereka (syaitan) tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka, dan apa yang mereka ada-adakan.", "Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya, dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan (bisikan)." – (QS.6:112-113).
"(aku berlindung) dari kejahatan (bisikan) syaitan, yang biasa bersembunyi,", "yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia," – (QS.114:4-5).
2. Ilham melalui para malaikat
"yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu (Musa), suatu yang diilhamkan,", "Yaitu: 'Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu akan membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya (Musa nantinya)'. …" – (QS.20:38-39) dan (QS.28:7).
"Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut 'Isa yang setia: 'Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku'. Mereka menjawab: 'Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul), bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)'." – (QS.5:111).
"… Dan dia (Sulaiman) berdo'a: 'Ya Rabb-ku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu, yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan kepada dua orang ibu-bapakku, dan untuk mengerjakan amal shaleh yang Engkau redhai. …'." – (QS.27:19).
3. Bisikan-godaan melalui syaitan, dari golongan jin dan manusia
"Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: 'Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu, pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa'.", "Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Rabb, dan sesatlah ia." – (QS.20:120-121) dan (QS.7:20-22).
"Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.", "Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.", "Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan)." – (QS.7:200-202).
"… Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya (manusia), agar mereka membantahmu. …" – (QS.6:121).
4. Permohonan pertolongan kepada-Nya, atas bisikan-godaan syaitan
"Dan katakanlah: 'Ya Rabb-ku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan.", "Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau, ya Rabb-ku, dari kedatangan mereka kepadaku'." – (QS.23:97-98) dan (QS.3:36, QS.114:4-5).
5. Bisikan suara dan hati manusia, pasti diketahui oleh Allah dan para malaikat.
"Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia, dan bisikan-bisikan mereka?. Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka." – (QS.43:80) dan (QS.68:23-24, QS.17:47, QS.12:80, QS.4:114).
"Tidaklah mereka (orang munafik) tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang gaib?." – (QS.9:78).
"Dan sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia, dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih (dekat) kepadanya daripada urat lehernya,", "(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal-perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan, dan yang lain duduk di sebelah kiri.", "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." – (QS.50:16-18). Dari ayat-ayat Al-Qur'an dalam tabel di atas, bisa dirangkum kembali ataupun disimpulkan lebih lanjut atas berbagai hal, misalnya:
• Allah memang menguji keimanan manusia, melalui segala bentuk 'ilham-bisikan-godaan' secara batiniah (positif-benar-baik ataupun negatif-sesat-buruk), dari para makhluk gaib-Nya.
Keberadaan jin, syaitan atau iblis adalah bagian dari rencana-Nya untuk bisa memberi segala cobaan atau ujian-Nya secara batiniah kepada tiap manusia. Segala kesesatan yang disampaikannya justru masih berada dalam kehendak dan kekuasaan-Nya, walau memang bukan keredhaan-Nya bagi manusia untuk mengikuti mereka. Sedang para malaikat ditugaskan-Nya untuk bisa memberi segala pengajaran dan tuntunan-Nya secara batiniah pula.
• Para makhluk gaib berada dan bertugas pada alam batiniah ruh tiap manusia (di dalam dada-hati-pikirannya), yang selalu mereka ikuti, awasi dan jaga.
• 'Alam batiniah ruh' tiap manusia sebagai tempat berada, bertugas dan bersembunyinya para makhluk gaib, juga alam gaib. Dan biasa disebut sebagai 'alam pikiran' atau 'alam akhirat' manusianya.
• Khusus dari para malaikat, manusia biasanya disebut mendapatkan segala bentuk 'ilham' (tidak disebut 'bisikan-godaan'), sedang dari jin, syaitan dan iblis justru biasanya disebut 'bisikan-godaan'.
• Para nabi-Nya justru juga pasti selalu mendapatkan segala bentuk 'bisikan-godaan' dari syaitan dan iblis, persis seperti halnya pada manusia biasa lainnya. Begitu pula halnya dengan segala bentuk 'ilham' dari para malaikat (khususnya malaikat Jibril).
• Manusia berusaha mensucikan atau membersihkan ruhnya dengan tidak mengikuti, menyetujui, menikmati ataupun menuruti segala bentuk 'bisikan-godaan' dari syaitan dan iblis yang justru bisa amat menyesatkan (walau seolah tampak menarik dan menyenangkan).
• Segala bentuk 'bisikan-godaan' dari syaitan dan iblis relatif mudah berpengaruh, jika dalam hati manusianya terkandung penyakit dan hatinya berlaku kasar. Terutama pada manusia yang tidak beriman kepada adanya kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruhnya).
• Syaitan dan iblis terdiri dari golongan jin dan manusia (manusia yang sedang terpengaruh oleh bisikan dari syaitan dan iblis)
• Manusia mestinya memohon pertolongan kepada Allah, terhadap segala bentuk 'bisikan-godaan' dari syaitan dan iblis.
• Segala bentuk bisikan dari manusia (suara dan hati) pasti diketahui pula oleh Allah dan para malaikat-Nya, termasuk para malaikat Rakid dan 'Atid yang bertugas mencatat tiap amalannya (pikiran, perkataan dan perbuatannya).
• Segala bentuk suara manusia (keras ataupun halus) pada dasarnya bersumber dari urat lehernya (anak tekaknya). Tetapi pengetahuan Allah dan para malaikat-Nya atas manusia, justru lebih dekat dari urat lehernya itu, karena langsung diketahui dari dalam hatinya.
Berdasar rangkuman dan kesimpulan di atas, maka diungkap lebih lanjut lagi menurut pemahaman pada buku ini, seperti:
• Bahwa istilah-istilah 'ilham', 'bisikan' ataupun 'godaan' dari para makhluk gaib, pada hakekatnya justru menunjuk kepada suatu hal yang sama. Di mana bentuk perwujudannya memang sama, namun relatif berbeda pada pemakaian istilah dan kandungan isinya. Ilham misalnya biasanya berasal dari para malaikat, dan tentunya mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya. Sebaliknya 'bisikan' dan 'godaan' biasanya berasal dari syatan dan iblis, dan mengandung nilai-nilai kesesatan.
• Bentuk perwujudan dari 'ilham', 'bisikan' ataupun 'godaan' pada dasarnya segala hal yang ada di dalam pikiran tiap manusia (segala hal yang pernah dipikir, diketahui ataupun dilakukannya). Sedang para makhluk gaib hanya sekedar mengungkap atau mengingatkan kembali, bagi manusia yang selalu mereka ikuti, awasi dan jaga. Lebih detailnya, wujud dari 'ilham-bisikan-godaan' pada dasarnya berupa segala 'potongan kecil' informasi batiniah (benar dan sesat) yang relatif amat ringkas dan sederhana, yang juga menyertai hasil pikiran manusianya sendiri.
• Contoh amat sederhana tentang hal-hal yang terjadi dalam pikiran manusia, ketika menemukan dompet di jalan, seperti misalnya:
~ Manusia : "Wah, ada dompet nih di jalan".
~ Godaan dari syaitan : "Tebal gak".
~ Manusia : "Tebal sih kelihatannya".
~ Godaan dari syaitan : "Banyak uangnya tuh".
~ Manusia : "Sepertinya begitu".
~ Ilham dari malaikat : "Apa urusannya ada uang atau tidak".
~ Manusia : "Iya yah, khan milik orang-lain".
~ Godaan dari syaitan : "Tapi khan pemiliknya tidak ada".
~ Manusia : "Iya sih, pasti susah cari pemiliknya".
~ Ilham dari malaikat : "Ah, mungkin ada identitasnya tuh".
~ Manusia : "Hmm…, biasanya memang begitu".
~ Ilham dari malaikat : "Kamu juga simpan KTP di dompet".
~ Manusia : "Iya".
~ Ilham dari malaikat : "Coba periksa saja".
~ Manusia : "Iya, saya akan periksa dulu". dst.
Kurang-lebih 'dialog' serupa itulah yang terjadi dalam pikiran tiap manusia, bahkan juga di dalam berpikir tentang segala sesuatu hal lainnya, tiap saatnya sepanjang hidupnya. Pada dasarnya dalam pikiran manusia justru pasti bercampur-baur, antara segala informasi batiniah dari hasil pikiran tiap manusianya sendiri dan dari para makhluk gaib (yang benar dan yang sesat).
Namun karena pengajaran dan ujian-Nya dari para makhluk gaib berlangsung relatif 'sangat halus', maka segala informasi batiniah itupun memang seolah-olah hanyalah berasal dari hasil pikiran tiap manusianya sendiri. Sedang pengajaran dan ujian-Nya seperti ini justru paling efektif, karena tiap manusia justru sama sekali tidak merasa dipengaruhi, dipaksa atau diintervensi oleh pihak lainnya, termasuk pula karena bersifat netral (benar dan sesat), sehingga manusianya relatif tidak mudah menolaknya atau pengajaran tidak menjadi relatif sia-sia.
• Juga segala bentuk 'ilham-bisikan-godaan' dari para makhluk gaib pada dasarnya bukanlah segala hal yang sama sekali berada di luar pikiran dan pengetahuan tiap manusianya. karena meraka itu justru relatif hanya mengikuti keinginan dan arah kecenderungan pikiran manusianya sendiri.
Contoh sederhananya, pada orang-orang yang bisa menjaga budi-pekerti, akhlak dan kebiasaan positif, maka peran syaitan dan iblis, justru menjadi relatif makin terbatas. Di lain pihak, para malaikat justru makin mudah memberikan pengajaran dan tuntunan-Nya.
Sebagai penyampai pengajaran dan ujian-Nya, para makhluk gaib tentunya mustahil mengilhamkan sesuatu hal yang berada di luar pikiran dan pengetahuan tiap manusianya, karena pengajaran dan ujian-Nya itupun relatif pasti tidak ada guna dan pengaruhnya. Ibarat sederhananya, mustahil seorang guru memberikan pelajaran yang mestinya hanya sesuai bagi mahasiswa kepada murid-murid SD, SLTP dan SLTA, karena memang usaha yang relatif sia-sia.
• Lebih detailnya, ilham-ilham dari para makhluk gaib relatif hanya meliputi segala informasi batiniah, dari 'nafsu' (segala keinginan dan kemauan), 'hati' (segala perasaan dan kesukaan), 'hati nurani' (segala kebenaran relatif) dan 'catatan amalan' (segala yang telah dipikir, dikatakan dan dilakukan), pada ruh manusianya sendiri. Dan ilham-ilham itupun relatif amat jarang di luar segala informasi batiniah itu, kecuali pada interaksi terang-terangan (lebih 'liar').
• Lebih lanjutnya lagi, mustahil malaikat Jibril bisa memberikan dan mengilhamkan wahyu-Nya (pengetahuan yang amat tinggi tentang kebenaran-Nya) kepada para nabi-Nya, tanpa para nabi-Nya itu sendiri telah memiliki kemauan yang amat kuat, dan juga memiliki segala pengetahuan dan pengalaman batiniah-rohani-spiritual yang amat luas dan lengkap, terutama tentang berbagai hal yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia. Segala pengetahuan dan pengalaman para nabi-Nya justru hanya diperoleh melalui usaha yang amat keras dalam memahami setiap kebenaran-Nya, dengan amat banyak mengamati, mencermati dan mempelajari berbagai tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta, juga amat banyak menyendiri agar bisa bertafakur dalam memikirkan segala kejadian di alam semesta, yang telah dilihat.
• Dari saling bercampur-baurnya antara berbagai informasi batiniah dari hasil pikiran manusianya sendiri, dan dari para makhluk gaib (yang benar dan sesat), maka akal sehat dan keyakinan hati-nurani pada tiap manusianya, justru memiliki peran yang paling penting.
Karena hanya 'akal' satu-satunya alat-sarana pada tiap manusianya yang justru berkemampuan untuk memilih, mengolah, menilai dan memutuskan segala informasi batiniahnya (termasuk segala bentuk ilham para makhluk gaib, yang benar dan sesat), untuk dianggap sebagai sesuatu pengetahuan yang ingin dipakainya lebih lanjut. Sedang segala pengetahuan tentang 'kebenaran relatif' pada hati-nurani tiap manusianya yang telah membentuk keyakinannya, juga justru dari hasil segala olahan 'akalnya' sendiri sebelumnya.
• Ilham-ilham itupun, ibaratnya kata-kata yang ditawarkan oleh para makhluk gaib, untuk mengisi kata-kata yang masih kosong pada sesuatu kalimat yang belum lengkap dalam pikiran manusia. Juga ibaratnya data-data yang benar dan sesat bagi sesuatu pengetahuan yang belum lengkap pada tiap manusianya.
Sedang hanya 'akal' manusianya yang memilih dan memutuskan 'kata' atau 'data' yang akan dipakainya.
• Segala bentuk ilham dari para makhluk gaib (yang benar dan sesat) yang datang tiap saatnya sepanjang hidup manusia, pada dasarnya justru telah selalu merangsang isi pikiran tiap manusianya (sedikit mengaduk-aduk, mengacak-acak ataupun menyimpangkan).
Bahkan pada saat manusianya justru sedang relatif 'tidak berpikir' (pada saat melongo, melamun, mimpi, mengantuk, dsb). Tanpa ada segala bentuk ilham dari para makhluk gaib, kehidupan manusia relatif pasti berlangsung amat statis, karena tiap manusia pada dasarnya justru relatif amat malas untuk mau berpikir.
• Segala bentuk ilham bagi suatu pengetahuan relatif 'bukan' berasal dari interaksi 'terang-terangan' dengan para makhluk gaib (warna suara bisikan mereka kentara dan jelas, serta berlangsung secepat pembicaraan manusia atau amat lambat), tetapi justru dari interaksi 'terselubung' (warna suara bisikannya amat halus dan tidak jelas, serta secepat proses berpikir manusia atau amat sangat cepat).
Baca pula uraian-uraian di atas, tentang cara-cara berinteraksi antara manusia dan para makhluk gaib.
Dan sekali lagi, pengajaran dan ujian-Nya secara batiniah dari para makhluk gaib melalui segala bentuk ilham mereka, justru paling efektif, karena misalnya:
~ Relatif bersifat 'adil-seimbang-netral' (ada yang benar dan sesat).
~ Relatif bersifat 'amat sangat halus, tersembunyi, terselubung atau tidak kentara' (seolah-olah dari hasil pikiran manusianya sendiri).
~ Relatif bersifat 'tidak memaksa' (manusianya memiliki kebebasan dan kekuasaan penuh di dalam mengatur keadaan batiniah ruhnya sendiri, termasuk bebas untuk mengikuti ilham itu, ataupun tidak).
~ Relatif 'tidak berada di luar' pikiran dan pengetahuan manusianya, serta hanya sekedar mengikuti keinginan dan arah kecenderungan pikirannya (sesuai keadaan, pengetahuan dan kemampuannya).
~ Relatif hanya meliputi segala informasi batiniah pada ruh manusia sendiri, dari 'nafsu', 'hati', 'hati-nurani' dan 'catatan amalan'-nya.
Hikmah dan hidayah-Nya atas pengajaran para makhluk gaib
Bahwa dengan kedua cara berinteraksi itu (terang-terangan dan terutama terselubung), adalah cara proses perolehan tiap hikmah dan hidayah-Nya bagi tiap manusia (rahmat-Nya secara batiniah), bahkan juga perolehan wahyu-Nya dan kenabian bagi para nabi-Nya.
Hakekat utama dari kedua cara berinteraksi, adalah pada 'nilai' dari isi bisikan pengajaran dari para makhluk gaib itu, bukanlah pada 'bentuk' dari suara bisikannya (terselubung ataupun terang-terangan). Kekeliruan atas pemahaman hakekat inilah yang membuat munculnya nabi-nabi baru, karena mereka mengaku telah pula mendapat 'bisikan secara terang-terangan'. Sehingga merekapun langsung merasa telah sangat hebat, ataupun merasa telah menjadi umat pilihan atau utusan-Nya, karena hal-hal seperti inipun memang hanya pernah dialami oleh relatif amat sangat sedikit jumlah manusia.
Padahal seluruh bisikan itu sendiri pada dasarnya pasti selalu bersifat netral atau seimbang (bisa mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya, dan sebaliknya mengandung kesesatan). Bahkan interaksi terang-terangan itu sama sekali tidak berhubungan dengan kualitas keimanan orang yang mengalaminya (dari para nabi-Nya sampai orang gila).
Terdapat berbagai tuntunan dalam ajaran agama Islam, sebagai cara-cara untuk membangun filter yang semakin kuat di alam batiniah manusia, terhadap berbagai bentuk pengajaran dari para makhluk gaib itu, khususnya dengan cara membentuk berbagai budi-pekerti, akhlak dan kebiasaan positif, agar bisa makin tertutup tiap celah kelemahan dalam pikiran manusia. Sehingga semakin sulit mereka arahkan untuk menuju kesesatan, dan bahkan manusia bisa mengambil hikmah-Nya dari tiap godaan iblis dan syaitan (sebagai ujian-Nya secara batiniah).
Sebaliknya, agar semakin terbuka tiap celah kekuatan di alam batiniah ruh tiap manusia (alam pikirannya), agar sebanyak mungkin bisa diambil hidayah-Nya (pelajaran positif), dari tiap pengajaran dari para malaikat (terutama malaikat Jibril). Perolehan pelajaran tertinggi bagi umat manusia adalah 'kenabian' (suatu tingkat pemahaman yang amat lengkap, mendalam dan sempurna atas berbagai kebenaran-Nya, serta sekaligus amat konsisten pengamalannya).
Bahwa budi-pekerti, akhlak atau kebiasaan positif itu, adalah wujud lahiriah dari kekuatan keyakinan batiniah dalam diri manusia. Padahal diketahui, bahwa tubuh fisik-lahiriah hanya alat-sarana yang pastilah tunduk mengikuti segala kehendak dan perintah batiniah dari ruhnya (melalui: akal, hati-nurani, hati atau kalbu, nafsu, dsb).
Dan hanya pada orang yang berkeyakinan batiniah yang kuat, yang bisa mewujudkan kehendak batiniah ruhnya itu menjadi segala tindakan lahiriahnya selama hidupnya (misalnya: budi-pekerti, akhlak atau kebiasaan positif). Maka keimanan tertinggi menyatu secara utuh antara pikiran (pemahaman atau keyakinan batiniah), perkataan dan perbuatan (pengamalan atau keyakinan lahiriah).
Sebaliknya akhlak atau kebiasaan negatif (keburukan) pastilah tanpa adanya dasar keyakinan yang kuat yang mendasarinya, karena memang sama sekali tanpa alasan yang bisa dipertanggung-jawabkan di hadapan-Nya, di hadapan umat manusia lainnya, ataupun bahkan di hadapan hati nurani pada diri pelakunya sendiri.
Budi-pekerti, akhlak dan kebiasaan positif di atas hanya lahir dari hasil keyakinan batiniah yang kuat (pemahaman). Tetapi di dalam ajaran-ajaran agama justru hal yang sebaliknya jauh lebih ditekankan, dimana akhlak dan kebiasaan positif diajarkan dan diamalkan terlebih dahulu, sambil secara perlahan-lahan diharapkan pada suatu saat bisa terbentuk keyakinan batiniah (pemahaman). Keyakinan batiniah justru bukan hal yang relatif mudah bisa dipahami oleh sebagian besar umat yang awam dalam hal ilmu-pengetahuan, khususnya lagi dalam ilmu-ilmu agama yang justru lebih banyak mengandung nilai-nilai batiniah, yang relatif jauh lebih sulit untuk bisa dijelaskan dan dipahami.
Keyakinan batiniah atau pemahaman itu sendiri bisa terbentuk, apabila umat berusaha relatif amat keras untuk memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta ini, yang bersifat 'batiniah' ataupun 'nilai-nilai batiniah' di balik hal-hal lahiriahnya. Serupa dengan proses perolehan keyakinan dari memahami hal-hal lahiriah pada tiap bidang ilmu-pengetahuan fisik atau ilmu alam.
Justru pemahaman atas hal-hal batiniah-moral-spiritual yang relatif jauh lebih penting, karena menyangkut aspek kehidupan umat manusia yang paling hakiki, berupa pemahaman atas hakekat, seperti: tauhid-ketuhanan; ruh dan alam gaib; penciptaan alam semesta ini dan kehidupan manusia di dalamnya, serta tujuannya; dsb. Sehingga dalam Al-Qur'an banyak ayat-ayatnya yang mengingatkan, agar tiap manusia tidaklah "tuli-pekak, bisu, dan buta" mata-hati batiniah ruhnya dalam memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta (atau segala kebenaran-Nya).
Perolehan hikmah dan hidayah-Nya pada para nabi-Nya
Hikmah dan hidayah-Nya adalah berbagai pengetahuan atau pemahaman atas kebenaran-Nya. Dari tiap hikmah dan hidayah-Nya yang didapat bisa makin memperkuat pondasi keyakinan (keimanan), pada alam batiniah ruh manusia. Dan ia akan makin sulit digoyahkan dan juga makin siap untuk bisa mendapat pengajaran berikutnya, yang makin tinggi nilai kebenaran-Nya (makin mendalam hakekatnya).
Hal ini yang telah membedakan antara manusia biasa dan para nabi-Nya. Pondasi akhlak dan budi-pekerti para nabi-Nya telah amat tinggi dan amat terpuji, yang telah dibangunnya sepanjang hidupnya sampai diperolehnya kenabiannya. Sehingga secara bersamaan, makin banyak pula segala hikmah dan hidayah-Nya yang telah diperolehnya sepanjang hidupnya, dari segala bentuk pengajaran para makhluk gaib, jika dibanding dengan perolehan manusia biasa lainnya.
Selain itu, pondasi segala pengetahuan atau pemahaman para nabi-Nya justru sangat lengkap, kuat (mendalam), konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan. Berbagai aspek ini sangat penting, sehingga pengetahuan atau pemahaman mereka atas berbagai kebenaran-Nya (hikmah dan hidayah-Nya), bisa pantas disebut sebagai 'wahyu-Nya'. Sedang hikmah dan hidayah-Nya yang didapat oleh tiap manusia biasa umumnya, justru 'tidak pantas' disebut sebagai wahyu-Nya.
Hal serupa terjadi pada penyebutan para makhluk gaib, yang menyampaikan hikmah dan hidayah-Nya. Bagi para nabi-Nya sering disebut disampaikan oleh 'malaikat Jibril', sedang tidak bagi manusia biasa umumnya. Padahal pada dasarnya semuanya sama-sama berasal dari malaikat Jibril. Tetapi pembedaan inipun tentunya sangat penting, untuk menjaga kemuliaan wahyu-Nya, atau untuk menjaga nilai-nilai kebenaran-Nya yang bernilai amat tinggi di dalamnya.
Keutuhan (integritas) pengetahuan para nabi-Nya atas berbagai kebenaran-Nya (sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan), adalah aspek-aspek yang justru sangat penting untuk membuktikan, bahwa pengetahuan mereka memang berasal dari Allah, sebagai pengajaran dan tuntunan-Nya bagi kehidupan seluruh umat manusia. Segala kebenaran di alam semesta ini hanya hak milik Allah, siapapun penyampainya dan pada kitab manapun tertulis. 30)
Contoh sederhananya, apabila ada suatu ayat Al-Qur'an yang kebetulan tidak dihapal oleh umat, yang kebetulan pula disampaikan oleh seorang kafir, tentunya tidak semestinya langsung disebut sebagai ayat yang sesat, sebelum diuji dahulu kebenaran kandungan isinya.
Lebih lanjutnya lagi, bahkan penghapalan ayat-ayat Al-Qur'an bukanlah puncak terakhir di dalam beragama, sebelum bisa dipahami seluruh kandungan isinya secara relatif lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan.
Hal di atas juga menunjukkan, bahwa perolehan hikmah dan hidayah-Nya sangat memerlukan segala pengalaman batiniah-rohani-spiritual langsung (melalui pembinaan akhlak dan kebiasaan positif), tidaklah cukup hanya melalui nalar-intuisi-logika akal-pikiran semata, karena relatif akan sangat mudah kehilangan 'ruhnya' (relatif sangat sulit tercapai nilai-nilai batiniahnya yang bisa lebih tinggi dan benar).
Intuisi kenabian adalah intuisi yang serupa pada manusia biasa, tetapi justru telah diperkuat dengan keyakinan atau keimanan batiniah (pemahaman) yang relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, sekaligus disertai dengan pengamalan langsung atas keyakinannya itu pada pikiran, perkataan dan perbuatan tiap saatnya dalam kehidupannya sehari-hari, secara sangat konsisten.
Wahyu bukanlah berupa 'ilham', tetapi 'pengetahuan'
Dari bentuk dan sifatnya, maka segala ilham dari para makhluk gaib (bahkan dari malaikat Jibril), pada dasarnya relatif serupa dengan segala informasi dari hasil tangkapan alat-alat indera lahiriah pada tiap manusia (mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dsb). Namun karena para makhluk gaib itu berada pada alam batiniah ruh manusia yang diikuti (alam pikirannya), tentunya segala ilham itupun pasti mengikuti segala bentuk dan proses batiniah pada ruh manusia, yang relatif jauh lebih sempurna daripada bentuk dan proses secara lahiriah (lihat pula pada "Tabel 14: Keistimewaan akal manusia (terhadap mata lahiriah)").
Segala ilham itu hanya mengikuti arah kecenderungan pikiran, perbuatan dan pengalaman tiap manusia, dengan sedikit disimpangkan ke arah lebih positif atau negatif. Ilham termasuk pula berupa berbagai bentuk kesimpulan, atas segala informasi lahiriahnya (pengetahuan).
Dengan ilham yang berbentuk relatif amat singkat, dan bersifat relatif amat terbatas, maka tiap wahyu yang diperoleh para nabi-Nya dari malaikat Jibril, justru bukanlah berupa 'ilham', akan tetapi berupa 'pengetahuan' pada para nabi-Nya. Adapun segala ilham dari malaikat Jibril justru berupa informasi yang positif-benar, yang bisa membantu penyusunan segala pengetahuan atau pemahaman pada para nabi-Nya, yang berupa segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah).
Tentunya wahyu justru bukan pula berupa berbagai 'khayalan' dan 'mimpi'. Jikalaupun ada sebagian dari para nabi-Nya yang telah mendapat wahyu berdasar dari berbagai mimpinya (seperti nabi Yusuf as, nabi Ibrahim as, dsb), maka mimpi itu justru hanya suatu 'sumber ilham' pula bagi wahyu yang terkait dan sebenarnya.
Karena tiap wahyu berupa suatu pengetahuan atau pemahaman Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), maka tiap wahyu itu juga pada dasarnya diperoleh para nabi-Nya, melalui suatu kesadaran penuh dengan memakai akal-sehatnya di dalam bertafakur. Terutama karena segala ilham itupun justru bersifat 'netral', atau bercampur-baur antara ilham-ilham positif dan negatif, yang ada di alam semesta ini.
Ringkasnya malaikat Jibril tidak menyampaikan wahyu dalam bentuk 'langsung jadi', namun dalam bentuk 'mentahnya' (ilham-ilham positif). Sehingga usaha sangat keras, keyakinan dan akal-sehat para nabi-Nya, justru sangat berperan besar dalam mengolah segala ilham menjadi suatu pengetahuan atau pemahaman 'kenabian' (pemahaman atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, secara relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan).
Satu-satunya bukti, bahwa sesuatu pengetahuan dan ilham bisa disebut 'positif-benar', yang memang berasal dari Allah, justru hanya karena hal itu memang mengandung nilai-nilai yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal'. Sedang dari segala sesuatu hal di seluruh alam semesta ini, hanyalah Allah Yang memiliki sifat 'mutlak' dan 'kekal' itu.
Persoalan yang biasanya terjadi adalah, hanya sebagian sangat sedikit dari seluruh umat manusia yang bisa memahami berbagai nilai kebenaran-Nya dengan relatif cukup jelas (seperti para nabi-Nya, para wali, ataupun umat-umat manusia lainnya yang berilmu relatif sangat tinggi), tentunya pula dengan berbagai tingkat kesempurnaan ilmunya masing-masing (kelengkapan, kedalaman, keutuhan, konsistensi, dsb).
Sekali lagi, usaha sangat keras para nabi-Nya dalam memakai akal-sehatnya, justru berperan besar dalam memahami tiap kebenaran-Nya. Bahkan keyakinan dari hati-nurani mereka justru juga terbangun sebelumnya melalui segala hasil olahan akal-sehat mereka.
Karena keyakinan tiap manusia, berasal dari segala informasi pengetahuan yang dianggapnya sebagai kebenaran-Nya (walau relatif menurut manusianya), yang tersimpan ke dalam hati-nuraninya setelah akal-sehatnya memilih, mengolah, menilai dan memutuskan, terhadap tiap informasi yang telah diperoleh sepanjang hidupnya. Dan berbagai informasi hasil olahan akal itulah, yang bisa dipakainya untuk menilai dan menyakini segala informasi lainnya, yang baru diperoleh.
Gambaran sederhana proses perolehan wahyu para nabi-Nya
Pada dasarnya keseluruhan proses perolehan 'wahyu' pada para nabi-Nya, persis sama dengan proses berpikir setiap manusia, dengan memakai akalnya, untuk bisa memperoleh berbagai pengetahuan atau pemahaman, tentang sesuatu halnya. Dari segi 'zatnya', para nabi-Nya memang 'manusia biasa' pula (segala sifat dan alat-sarana pada tubuh wadahnya, sama sekali tidak berbeda dari manusia biasa lainnya).
Perbedaan utamanya hanya antara-lain:
• Usaha yang relatif amat sangat keras dari para nabi-Nya, di dalam mencari pengetahuan tentang tiap kebenaran-Nya. Lalu merekapun relatif amat konsisten mengamalkan segala pengetahuannya. Serta juga menyampaikan pengetahuannya kepada umat-umat lainnya, secara relatif sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual, agar umat relatif lebih mudah bisa memahami dan mengamalkannya.
• Para nabi-Nya relatif amat banyak memiliki pengalaman batiniah-rohani-spiritual (termasuk berinteraksi dengan para makhluk gaib).
• Tingkat kebenaran dan kesempurnaan pengetahuan para nabi-Nya (relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan keseluruhannya).
• Pengetahuan para nabi-Nya lebih banyak menyangkut hal-hal gaib dan batiniah, yang justru paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan seluruh umat manusia (Allah, tujuan penciptaan alam semesta dan kehidupan umat manusia di dalamnya, ruh makhluk-Nya, alam gaib, alam akhirat, dsb).
Hanya 'akal' satu-satunya elemen pengendali pada zat ruh tiap manusianya, termasuk bisa berfungsi memilih, mengolah, menilai dan memutuskan segala sesuatu informasi atau ilham pada alam batiniah ruh tiap manusianya (alam pikirannya) yang bisa dianggapnya sebagai pengetahuan yang 'relatif' benar (kebenaran 'relatif'), ataupun tidak.
Sepanjang hidup manusianya, tiap kebenaran 'relatif' itu justru terus-menerus tersimpan dan menumpuk dalam 'hati-nuraninya', yang bisa dipakainya untuk menilai dan meyakini segala sesuatu informasi lainnya (termasuk tiap kebenaran 'relatif' yang baru lainnya).
Keadaan Nabi saat menerima wahyu dari malaikat Jibril
Dalam Al-Qur'an ataupun berbagai riwayat terdapat sejumlah keterangan tentang keadaan dan kejadian 'luar biasa', pada saat nabi Muhammad saw sedang memperoleh wahyu-Nya dari malaikat mulia Jibril. Hal inipun pada dasarnya berbagai keterangan tentang keadaan pada seseorang, pada saat sedang berinteraksi secara terang-terangan dengan para makhluk gaib, seperti yang telah diuraikan pula di atas, serta sekaligus pada saat sedang bertafakur untuk memperoleh segala pengetahuan yang bernilai amat tinggi tentang kebenaran-Nya.
Diagram sederhana proses perolehan wahyu
Namun sedikit menguatirkan, atas adanya pernyataan beberapa ilmuwan Muslim, tentang berbagai keadaan dan kejadian 'luar biasa' yang telah dialami oleh nabi Muhammad saw itu, seperti "hal-hal yang amatlah sangat sulit bisa diterima oleh akal-sehat manusia itulah yang juga telah membuktikan, bahwa nabi Muhammad saw memang benar-benar telah menerima wahyu dari Allah.".
Selain karena pernyataan itu sendiri kurang memiliki berbagai dasar alasan kuat, ataupun menunjukkan bahwa para ilmuwan Muslim itu belum benar-benar memahami kejadian yang sebenarnya, termasuk pula menunjukkan, bahwa mereka belum pernah mengalami langsung berinteraksi terang-terangan dengan para makhluk gaib. Serta karena pernyataan itu sendiri bisa agak menyesatkan, walau barangkali tanpa mereka sengaja dan tanpa menyadarinya langsung.
Di samping dari uraian uraian di atas, tentang interaksi terang-terangan antara manusia dan para makhluk gaib, di bawah ini secara ringkas diungkap, bahwa berbagai keadaan dan kejadian luar biasa itu justru bisa dijelaskan dengan akal-sehat manusia. Dan semua kejadian luar biasa itu justru kejadian-kejadian yang sebenarnya terjadi secara amat alamiah, walau memang tidak dialami oleh tiap manusia. Bahkan wahyu-Nya justru diterima oleh para nabi-Nya melalui akal-sehatnya.
Beberapa keterangan tentang keadaan dan kejadian 'luar biasa' yang pernah dialami oleh nabi Muhammad saw, pada saat menerima wahyu-Nya, seperti misalnya:
Berbagai keadaan dan kejadian pada nabi Muhammad saw,
saat menerima wahyu-Nya
a. Terkadang seperti bunyi lonceng, ketika diperoleh sesuatu wahyu yang amat dahsyat (amat tinggi nilainya).
b. Nabi merasa kedinginan dan dahi penuh keringat.
c. Wajah Nabi kemerahan dan bernapas sambil ngos-ngosan.
d. Nabi kebingungan, gemetar dan ketakutan.
e. Ada perubahan psikologis Nabi, selama menerima wahyu.
f. Cara berbicara Nabi dan sikap lainnya tetap seperti biasa.
g. Malaikat berkunjung dalam jelmaan manusia.
h. Nabi bisa mengulangi ataupun bisa memahami berbagai hal yang dikatakan oleh malaikat Jibril.
i. Nabi mendiktekan wahyu kepada para pengikutnya, yang sedang mencatatnya.
j. Wahyu terkadang bisa turun langsung, pada saat ada umat yang menanyakan sesuatu hal kepada Nabi.
k. Tidak pernah diketahui pasti kapan dan dimana turunnya wahyu.
l. Terkadang wahyu turunnya secara spontan.
m. Malaikat Jibril berkunjung tiap tahun.
n. Malaikat Jibril berkunjung tiap malam, selama bulan Ramadhan.
Jika dibahas dan diambil kesimpulan dari berbagai keterangan di atas, maka bisa diungkap pula antara-lain:
Berbagai pemahaman atas kejadian pada nabi Muhammad saw,
saat menerima wahyu-Nya
1. Tiap wahyu adalah tiap pemahaman Al-Hikmah dari keseluruhan bangunan pemahaman Al-Hikmah pada para nabi-Nya, yang telah tersusun dengan relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan keseluruhannya. Namun wahyu yang disampaikan kepada umat jarang berupa Al-Hikmah, melainkan justru berupa pengajaran dan tuntunan-Nya yang bersifat sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual.
2. Hanyalah melalui 'bertafakur' (berpikir dengan penuh kesadaran, agar bisa memahami berbagai kebenaran-Nya), tiap manusia bisa memperoleh pemahaman tentang segala sesuatu hal (lahiriah dan batiniah), terutama khususnya tentang tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah) atau petunjuk-Nya.
3. Turunnya wahyu terjadi relatif tiap saat setelah Nabi bertafakur (memperoleh petunjuk-Nya), juga saat Nabi menyampaikan hasil dari bertafakur sebelumnya, yang belum tersampaikan.
4. Terkadang saat wahyu turun, disaksikan pula oleh: para sahabat; para istri; para pengikut yang langsung mencatat dan menghapal wahyu itu; ataupun beserta umat-umat lainnya.
5. Umat-umat yang relatif amat tinggi keimanannya pasti bisa amat tersentuh hati-sanubarinya, ketika telah memahami suatu hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah).
Bahkan segala keadaan tubuh-fisik-lahiriahnya bisa terpengaruh pula (misalnya: kedinginan, penuh keringat, wajah kemerahan, napas ngos-ngosan, kebingungan, ketakutan, dsb), terutama jika Al-Hikmah itupun memang sangat tinggi dan luhur nilainya.
Karena hal ini bisa 'menohok atau menyentak' hati-sanubarinya yang relatif sangat halus dan peka, dengan sangat kuat (ibaratnya seperti mendengar bunyi lonceng).
6. Nabi bukan seperti orang yang kesurupan atau kerasukan, tetapi sedang dalam keadaan penuh kesadaran saat bertafakur.
7. Para makhluk gaib (juga malaikat Jibril) hanya bisa hadir di alam batiniah ruh manusianya (alam pikirannya), dengan berinteraksi secara terang-terangan ataupun terselubung.
Para makhluk gaib berinteraksi dengan manusia, terutama dalam memberikan segala jenis bisikan-ilham yang positif (terkandung nilai-nilai kebenaran-Nya) ataupun negatif (terkandung nilai-nilai kesesatan).
8. Malaikat Jibril turun menyampaikan wahyu dalam 'wujud asli'-nya pada alam batiniah ruh Nabi (berinteraksi terang-terangan).
9. Para makhluk gaib (juga malaikat Jibril) justru selamanya pasti tetap berwujud 'gaib' (tidak tampak terlihat wujudnya).
Padahal jika bisa terlihat, semestinya orang-orang yang bersama-sama Nabi pada saat turunnya wahyu, juga pasti bisa ikut melihat malaikat Jibril. Padahal tidak pernah ada keterangan seperti ini.
10. Istilah 'jelmaan' manusia misalnya (bagi para makhluk gaib yang sedang turun ke dunia ini), bukanlah berarti persis sama seperti manusia dalam 'segala halnya', namun hanya 'sebagian'. saja.
Lebih jelasnya lagi, para makhluk gaib yang sedang berinteraksi terang-terangan dengan manusia, memang diketahui 'berwujud asli' persis sama seperti manusia (berbagai usia, berbagai bangsa, berbagai jenis kelamin, dsb). Tetapi mereka itu sama-sekali tidak memiliki segala atribut 'fisik-lahiriah', seperti halnya manusia.
11. Hal-hal yang gaib memang relatif sangat sulit bisa diungkapkan, dengan bahasa umum manusia sehari-harinya. Nabi menerangkan hal-hal itu memakai berbagai bentuk 'contoh-perumpamaan simbolik' (sepeti jelmaan manusia; bunyi lonceng; posisi ufuk; sejarak beberapa tombak; wahyu 'turun'; dsb).
Namun dari berbagai keterangan ataupun kesimpulan tersebut di atas, ada sesuatu hal yang belum tampak disebut, yaitu jarak waktu antara saat diterimanya wahyu oleh Nabi dari malaikat Jibril, dan saat disampaikan oleh Nabi kepada umat. Kedua waktu ini mestinya agak berbeda, karena wahyu-Nya dari malaikat Jibril dan wahyu-Nya yang disampaikan oleh para nabi-Nya kepada umat, juga relatif berbeda.
Wahyu-Nya 'jenis pertama' (pemahaman yang berupa hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), yang diperoleh para nabi-Nya dari hasil pengajaran dari malaikat Jibril, pada dasarnya justru bersifat universal, sangat rumit, mendalam dan tidak aplikatif. Sedang wahyu-Nya 'jenis kedua' yang telah disampaikan ataupun dibacakan oleh para nabi-Nya kepada kaumnya, pada dasarnya bersifat sederhana, praktis-aplikatif dan aktual, sesuai keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat.
Sehingga relatif diperlukan waktu untuk 'mengolah' berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), menjadi pengajaran dan tuntunan-Nya yang relatif sederhana, praktis-aplikatif dan aktual.
Baca pula uraian-uraian di bawah, tentang empat macam bentuk wahyu-Nya, dan tentang keterbatasan bahasa tulisan di dalam penyampaian wahyu-Nya.
Ada pula pernyataan pada sebagian dari para alim-ulama yang antara-lain seperti "keadaan dan kejadian penerimaan wahyu-Nya (Al-Qur'an), berada di luar jangkauan penalaran akal manusia", pada saat mengungkap berbagai keadaan dan kejadian luar biasa di atas, yang telah dialami oleh nabi Muhammad saw.
Namun dari berbagai kesimpulan di atas justru cukup tampak, bahwa penerimaan wahyu pada dasarnya serupa dengan penerimaan segala bentuk pengetahuan manusia (dengan akalnya). Perbedaannya hanya pada tingkat kebenaran dan tingkat kemuliaan dari pengetahuan tersebut. Tentunya penerimaan wahyu juga mengikuti intuisi-logika-nalar akal-sehat manusia. Dan tiap nabi-Nya adalah orang yang paling berpengalaman spiritual dan paling berpengetahuan di antara seluruh umat kaumnya pada jamannya masing-masing.
"Di luar jangkauan" atau "tidak bisa" dinalar oleh akal-sehat manusia, amatlah berbeda dari "sukar" dinalar, yang hanya tergantung kepada tingginya tingkat pengetahuan pada tiap manusia. Tiap wahyu justru semestinya bisa dinalar pula melalui akal-sehat manusia.
Mustahil para nabi-Nya tidak mengerti atau tidak memahami tiap wahyu yang telah diperolehnya. Serta mustahil para nabi-Nya bisa mengajarkan sesuatu hal kepada umat, yang tanpa dimilikinya sama-sekali pengetahuan atau pemahaman tentang hal itu (dengan akalnya), beserta segala dalil-alasan dan penjelasannya.
Dan tentunya, mustahil pula para nabi-Nya bisa memperoleh sesuatu hal, dengan 'cara-cara' yang sama sekali tidak pernah dialami oleh manusia biasa lainnya. Bukanlah 'cara' perolehan yang berbeda (antara pengetahuan dan wahyu), namun hal yang berbeda hanya 'apa' yang diperoleh dan 'apa usaha' yang telah dilakukan manusia, untuk bisa memperolehnya.
Bahkan 'siapa' yang memperolehnya bukanlah suatu hal yang penting, karena dari segi 'zatnya' (beserta segala sarana dan prasarana pada tubuhnya), para nabi-Nya juga hanya manusia biasa.
Namun haruslah diakui pula, bahwa pertemuan antara sebagian dari para nabi-Nya dan malaikat Jibril secara terang-terangan (melalui penampakan wujud aslinya), memang suatu peristiwa yang cukup luar biasa dan sangat langka. Sepanjang sejarah umat manusia sampai saat ini, memang relatif amat sangat sedikit jumlah manusia yang pernah berinteraksi terang-terangan atau langsung dengan para makhluk gaib.
Di samping itu, interaksi antar manusia dan para makhluk gaib itu memang suatu yang relatif amat sangat sulit untuk bisa dijelaskan, karena memang amat sangat sulit untuk bisa dibuktikan (menyangkut tentang hal-hal yang gaib). Maka interaksi inipun relatif amat sangat sulit bisa dipahami oleh umat yang awam atau belum mengalaminya secara langsung. Dan usaha yang relatif amat keras dan konsisten dari para nabi-Nya, tentunya juga sesuatu yang luar biasa dan amat langka.
Nabi bukan hanya '2 kali saja' bertemu malaikat Jibril
Pada banyak keterangan disebut, bahwa nabi Muhammad saw hanya "2 kali saja" pernah bisa bertemu malaikat Jibril, dalam wujud aslinya, yaitu pada saat Nabi menerima wahyu, dan pada saat Nabi melakukan perjalanan 'Isra dan Mi'raj.
Keterangan itu biasanya berdasar pada Surat An-Najm ayat 13-14, yang berbunyi "Dan sesungguhnya Muhammad (juga) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli), pada waktu yang lain,", "(yaitu) di Sidratil Muntaha." – (QS.53:13-14). Sedang waktu pertemuan 'lainnya' disebut pada ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan tentang penyampaian wahyu-Nya dalam Al-Qur'an oleh malaikat Jibril kepada nabi Muhammad saw (seperti: QS.81:23, QS.53:4-12, dsb).
Sekilas keterangan itu memang seolah-olah benar, namun jika dicermati lebih mendalam lagi, maka keterangan itu justru kurang bisa menunjukkan kenyataan yang sebenarnya. Lebih tepatnya, keterangan itu hanyalah berupa keterangan yang bersifat 'simbolik'.
Secara sederhananya hal ini bisa diketahui atau dijelaskan dari kenyataannya, bahwa segala sesuatu hal yang disampaikan oleh Nabi tentang perjalanan Nabi selama 'Isra dan Mi'raj, justru pada dasarnya juga berupa wahyu, dan bahwa seluruh wahyu dalam Al-Qur'an juga bukanlah sesuatu paket yang diterima oleh Nabi, sekaligus bersamaan ataupun pada satu waktu saja. Namun seluruh wahyu dalam Al-Qur'an justru diterima oleh Nabi, secara bertahap sepanjang hidupnya. Serta diperoleh secara ayat-per-ayat selama puluhan tahun, sejak saat Nabi memperoleh wahyu pertamanya berupa Surat Al-Alaq sampai wahyu terakhir Surat An-Nashr, saat Nabi hampir menjelang akhir hayatnya.
Sehingga Nabipun justru sering bertemu dengan malaikat Jibril (bukanlah hanya 2 kali saja). Bahkan apabila dikaitkan dengan proses interaksi terang-terangan antara tiap manusia dan para makhluk gaib, yang telah diuraikan di atas, maka Nabi pada dasarnya justru hampir tiap saat sepanjang hidupnya pernah bertemu dengan malaikat Jibril, dalam wujud aslinya.
Lebih jelasnya, Nabi pertama-kali bertemu malaikat Jibril pada saat awal Nabi mengalami kegoncangan jiwa yang amat kuat dan Nabi melaporkannya kepada istrinya, Siti Khadijah ra. Dan Nabi terakhir-kali bertemu malaikat Jibril relatif saat Nabi akan mengalami sakratul mautnya. Tentunya antara pertemuan pertama dan terakhir itu ada tak-terhitung jumlah pertemuan lainnya, yang terjadi hampir tiap saat.
Perlu diketahui pula dari uraian di atas tentang proses interaksi antara manusia dan para makhluk gaib, bahwa sebutan 'malaikat Jibril' bukan nama dari 'seorang malaikat', tetapi nama sebutan simbolik bagi sejumlah besar malaikat yang telah ditugaskan untuk menyampaikan kebenaran-Nya. Maka malaikat Jibril justru selalu mengikuti Nabi dan seluruh umat manusia lainnya, sepanjang hidupnya.
Serta proses berinteraksi antara Nabi dan malaikat Jibril justru paling sering berupa interaksi secara terselubung (malaikat Jibril tidak menampakkan 'wujud aslinya'), bukan berupa interaksi secara terang-terangan. Segala proses penyampaian pengajaran dan tuntunan-Nya, dari malaikat Jibril kepada Nabi, justru paling efektif melalui interaksi terselubung dimana malaikat Jibril memberi segala bentuk ilham yang mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya, yang berupa suara bisikannya pada alam pikiran atau hati-sanubari Nabi (berupa potongan-potongan kecil pengetahuan yang menyusun tiap Al-Hikmah atau petunjuk-Nya).
Maka kandungan isi Surat An-Najm ayat 13-14 di atas pada dasarnya lebih bertujuan 'simbolik', untuk bisa menggambarkan 'dua' proses yang agak berbeda, yaitu: proses perolehan wahyu-wahyu yang 'paling tinggi' nilai kemuliaannya, yang diperoleh Nabi saat peristiwa 'Isra dan Mi'raj itu, dan proses perolehan wahyu-wahyu lainnya yang nilai kemuliaannya relatif di bawahnya.
Dan kedua proses perolehan wahyu itu pada dasarnya berupa proses 'pertemuan' antara Nabi dan malaikat Jibril, dengan cara-cara yang persis sama (baik secara terang-terangan ataupun terselubung). Hal yang berbeda hanya pada tingkat nilai kemuliaan dari kandungan isi wahyu-wahyu yang telah diterima oleh Nabi.
"Sesungguhnya dia (Muhammad) telah melihat (di Sidratil Muntaha), sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Rabb-nya yang paling besar (nilai kemuliaannya)." – (QS.53:18).
Wahyu-Nya ada empat macam bentuknya
Walaupun secara langsung dan umum dalam Al-Qur'an justru disebut hanyalah dua macam atau jenis wahyu-Nya, melalui beberapa ayat yang menyatakan, seperti "wahyu-Nya yang diwahyukan ataupun dibacakan" (pada QS.53:4, QS.6:145, QS.42:52 dan QS.42:51), yang masing-masing disebut sebagai wahyu-Nya jenis ketiga dan keempat pada tabel di bawah.
Sedang berdasar hakekat perwujudan atas wahyu-Nya, maka dipahami pada buku ini, bahwa wahyu-Nya memiliki empat macam bentuk, yang diungkapkan secara ringkas pada tabel di bawah, hal ini sesuai pula dengan adanya empat macam bentuk Al-Qur'an. Bahkan pengungkapan ini dianggap sangat diperlukan, karena dua macam atau jenis wahyu-Nya di atas, belum menunjukkan "wahyu atau kalam-Nya yang sebenarnya" (wahyu-Nya jenis kedua pada tabel di bawah).
Baca pula topik "Kitab-kitab tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)", tentang empat macam bentuk Al-Qur'an.
Adapun empat macam bentuk atau jenis wahyu-Nya menurut pemahaman pada buku ini, ditunjukkan pada tabel berikut:
Empat macam bentuk dari 'Wahyu-Nya'
1. Wahyu-Nya sebagai Fitrah Allah (sifat-sifat terpuji Allah)
Wahyu-Nya sebagai "Fitrah Allah" sendiri (sifat-sifat terpuji dan termulia pada Zat Allah), yang memang justru dipilih-Nya untuk bisa ditunjukkan kepada segala zat ciptaan-Nya di alam semesta ini (terutama manusia sebagai khalifah-Nya di muka Bumi).
Wahyu-Nya jenis ini tentunya juga bersifat Maha kekal dan Maha gaib, sesuai dengan sifat dari Zat Allah. Di lain pihak, makna-definisi istilah 'fitrah' kurang-lebih, "sebagian sifat suatu zat (dari keseluruhan sifatnya yang mungkin ada), yang memang dipilih oleh zat itu sendiri untuk ditunjukkannya kepada zat-zat lainnya, sebagai sifat-sifat yang lebih menggambarkan keinginan dirinya yang sangat mendasar, hakiki dan sebenarnya".
Sehingga Fitrah Allah (sifat-sifat terpuji ataupun termulia pada Zat Allah), yang tergambar dengan sempurna pada Asmaul Husna, adalah sebagian dari sifat-sifat yang ada tersedia pada Zat Allah sendiri, yang justru dipilih-Nya untuk ditunjukkan kepada segala zat ciptaan-Nya, dalam hal penciptaan alam semesta ini.
Pada topik "Sifat-sifat ciptaan-Nya" telah cukup lengkap diungkap, bahwa sifat-sifat-Nya yang 'mutlak dan kekal' itu, ditunjukkan-Nya melalui segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian di alam semesta ini.
Karena manusia (terutama para nabi-Nya) bisa mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya, hanya dengan cara mengamati ataupun mempelajari segala sesuatu hal di alam semesta ini ('universe'), maka wahyu-Nya jenis ini juga bersifat 'universal'.
Penting untuk diketahui, bahwa melalui Fitrah Allah yang terwujud pada penciptaan alam semesta itulah Allah berkehendak menunjukkan 'sekaligus' segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya (tidak hanya sekedar kekuasaan-Nya semata).
Hal itu perlu ditekankan, karena ada sebagian kalangan umat Islam yang justru menganggap, "bahwa Allah bisa berbuat 'sekehendak-Nya' di alam semesta (Allah Maha berkehendak)". Padahal seluruh sifat terpuji Allah pada Asmaul Husna itu justru sesuatu kesatuan utuh dan sempurna, yang pastilah menunjukkan sekaligus segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya.
Memang Allah bersifat Maha berkehendak, namun Allah pastilah tidak berbuat 'sekehendak-Nya', karena Allah juga pasti hendak menunjukkan sifat 'Maha Adil' misalnya.
Dan hanya wahyu-Nya jenis ini yang tidak pernah disebut dalam Al-Qur'an sebagai 'wahyu' (hanya disebut sebagai 'Fitrah Allah' atau 'sifat-sifat terpuji Allah').
Namun karena konteksnya di sini, juga berupa sesuatu hal yang hendak "ditunjukkan atau disampaikan" oleh Allah kepada segala makhluk-Nya di alam semesta ini, maka pada pemahaman di sini, 'Fitrah Allah' juga bisa dianggap sebagai 'wahyu'.
2. Wahyu-Nya sebagai tanda-tanda kemuliaan-Nya
Wahyu-Nya sebagai "tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta" (atau disebut 'ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis'), dengan sendiri berupa 'alam semesta' itu sendiri, beserta segala hakekat di dalamnya (lahiriah dan batiniah, mutlak dan kekal).
Wahyu-Nya jenis ini adalah suatu hasil perwujudan dari wahyu-Nya jenis pertama di atas ('Fitrah Allah' atau 'sifat-sifat terpuji Allah'), melalui penciptaan alam semesta ini.
Sehingga tiap zat makhluk-Nya bisa mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya, dengan mengamati dan memperlajari segala hal yang bersifat 'mutlak dan kekal' pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian di alam semesta ini (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya).
Wahyu-Nya jenis ini bersifat kekal (akan tetapi hanyalah sebatas kekekalan umur alam semesta), gaib dan universal. Dan terkadang juga disebut sebagai "Al-Qur'an berbentuk gaib, yang telah tercatat pada Kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya", "segala pengetahuan atau kebenaran-Nya di seluruh alam semesta ini" ataupun sebagai "wajah-Nya".
Dengan pengetahuan-Nya yang Maha Tinggi dan Maha Luas, maka wahyu-Nya jenis ini mustahil akan bisa diungkapkan dan dituliskan seluruhnya oleh umat manusia, sampai pada akhir jaman ("tidak cukup dituliskan dengan tinta sebanyak beberapa samudera"), sehingga di Hari Kiamat telah dijanjikan-Nya untuk dibukakan-Nya segala kebenaran-Nya kepada tiap manusia, agar menjawab segala keraguan, ketidak-tahuan dan perselisihannya.
Hal yang lebih pentingnya wahyu-Nya jenis inilah bentuk dari "kalam (kalamullah), kalimat, sabda atau wahyu Allah yang sebenarnya". Dan wahyu-Nya jenis inilah wujud dari suatu tabir, hijab atau pembatas antara Allah dan tiap zat makhluk-Nya (tiap tabir berupa tiap tingkat pengetahuan tentang alam semesta).
Sedang 'jarak tabir' antara Allah dan suatu zat makhluk-Nya adalah tingkat perbedaan antara pengetahuan 'mutlak' Allah di alam semesta ini dan pengetahuan 'relatif' zat makhluk-Nya tersebut. Dan 'jarak tabir terdekatnya' adalah pengetahuan pada zat makhluk-Nya yang berupa Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya) seperti yang telah dimiliki oleh keseluruhan para nabi-Nya, dan disebut sebagai wahyu-Nya jenis ketiga di bawah.
Pada dasarnya, tiap manusia biasa semestinya bisa pula mempelajari tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini, serta bisa memperoleh Al-Hikmah (dengan tingkat kelengkapan dan kedalaman pemahamannya masing-masing).
Walaupun memang relatif amat sangat sulit untuk bisa mencapai kesempurnaan pemahaman pada para nabi-Nya.
Baca pula topik "Sunatullah", tentang cara untuk memahami tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya.
3. Wahyu-Nya sebagai hikmah & hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah)
Wahyu-Nya sebagai "tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya" yang telah bisa dipahami oleh para nabi-Nya (Al-Hikmah), dari hasil mempelajari tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini (wahyu-Nya jenis kedua di atas).
Wahyu-Nya jenis ini adalah suatu hasil pemahaman atas wahyu-Nya jenis kedua di atas ('ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis' atau 'tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya').
Pada dasarnya, tiap manusia biasa semestinya bisa pula memperoleh Al-Hikmah. Tetapi ada suatu syarat penting tertentu, agar Al-Hikmah bisa disebut sebagai wahyu-Nya jenis ketiga ini, yaitu: amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya, dan sekaligus sebagai syarat tingkat pemahaman kenabian, di samping pengamalan yang amat konsisten berdasar segala pemahaman Al-Hikmah yang dimiliki.
Namun secara alamiah, sejak kenabian terakhir pada nabi Muhammad saw, justru telah tidak ada lagi 'nabi baru' ataupun 'wahyu-wahyu baru' setelahnya. Sedang bagi tiap umat manusia setelahnya, juga tetap hanya disebut bisa memperoleh Al-Hikmah saja (bukan memperoleh wahyu-Nya).
Wahyu-Nya jenis ini bersifat fana (hanyalah sebatas usia para nabi-Nya), gaib dan universal. Serta hanya tercatat di dalam hati-dada-pikiran para nabi-Nya (setelah dituntun oleh malaikat Jibril), dan berupa pengetahuan atau pemahaman Al-Hikmah.
Amat penting untuk diketahui, bahwa malaikat Jibril tiap saatnya justru hanya memberikan segala jenis ilham yang positif (mengandung nilai-nilai kebenaran), sedangkan di lain pihak tiap saatnya pula, para nabi-Nya pastilah menerima segala jenis ilham yang negatif (mengandung nilai-nilai kesesatan), dari jin, syaitan dan iblis.
Maka pada dasarnya, justru hanya melalui akal-sehat dan keyakinan batiniah dari hati-nurani para nabi-Nya (yang dengan tingkat keimanannya yang sangat tinggi), yang membuat mereka bisa pula memilih, mengolah, merangkum, menelaah, mengukur, menghitung, menilai dan memutuskan, bahwa hanyalah sebagian saja dari segala jenis ilham itu yang mengandung berbagai nilai kebenaran-Nya, yang bisa mendukung atau memperkuat berbagai pengetahuannya sebelumnya (keyakinan batiniahnya).
Hal yang persis serupa justru terjadi pula pada manusia biasa umumnya, perbedaannya hanya semata pada tingkat nilai kebenaran dan kemuliaan pada pengetahuan yang telah dicapai, dari segala hasil usahanya masing-masing yang juga setimpal.
4. Wahyu-Nya sebagai kitab suci Al-Qur'an (Al-Kitab)
Wahyu-Nya sebagai "ayat-ayat-Nya yang telah disampaikan oleh para nabi-Nya", kepada umatnya masing-masing (melalui lisan, tulisan, sikap dan contoh perbuatan). Wahyu-Nya jenis ini lebih dikenal oleh umat Islam, sebagai ayat-ayat dalam kitab suci Al-Qur'an, ataupun ayat-ayat pada kitab-kitab-Nya lainnya (di dalam bentuk asli yang berasal langsung dari para nabi-Nya terdahulu).
Wahyu-Nya jenis ini adalah suatu hasil 'pengungkapan' atas wahyu-Nya jenis ketiga di atas (Al-Hikmah atau hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), dan biasa disebut sebagai 'Al-Kitab'.
Pada dasarnya sunnah-sunnah Nabi misalnya, juga wujud wahyu-Nya jenis ini (Al-Kitab), yang berdasar suatu 'rangkuman' pemahaman Nabi, atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (bersifat relatif kekal, amat rumit dan universal), yang telah disampaikannya sesuai segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat kaumnya pada jamannya (bersifat relatif ringkas, sederhana, praktis-aplikatif dan aktual). Hal-hal yang serupa pula terjadi pada sunnah-sunnah dari para nabi-Nya lainnya.
Namun ayat-ayat pada tiap kitab-kitab-Nya lebih khusus lagi, karena berupa sekumpulan besar wahyu-Nya jenis keempat ini, yang justru memang sengaja dipilih-pilih oleh para nabi-Nya terkait, yang dianggapnya telah utuh dan lengkap sebagai sumber pengajaran dan tuntunan-Nya bagi umat-umatnya yang meyakini ajarannya, walau para nabi-Nya terkait telah tiada ataupun wafat.
Wahyu-Nya jenis inipun bersifat fana (sebatas usia kertas Al-Kitab, dan sebatas tingkat aktualitasnya atas berbagai keadaan umat) dan berwujud nyata. Juga biasa disebut sebagai "wahyu-Nya yang diwahyukan atau dibacakan".
Sehingga 'teks' ayat-ayat Al-Qur'an justru bersifat relatif temporer, sesuai dengan keadaan umat pada saat disampaikannya (konteks ruang, waktu dan budaya), misalnya: di sekitar Jazirah Arab, di sekitar jaman Nabi, dan budaya bangsa Arab.
Al-Qur'an juga hampir mustahil bisa disampaikan dengan memakai bahasa 'universal' (bagi seluruh manusia sampai akhir jaman), yang justru pasti sulit bisa dipahami ataupun dimengerti oleh umat pada jaman Nabi, ataupun umat pada jaman lainnya.
Tetapi segala Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), 'di balik' teks ayat-ayat Al-Qur'an, apabila memang sesuai dengan pemahaman Nabi, justru semestinya bersifat 'universal' (bisa melewati batas ruang, waktu dan budaya), dan bisa terpakai dimanapun, kapanpun dan oleh bangsa manapun.
Maka segala usaha pengungkapan kembali tiap Al-Hikmah 'di balik' teks-teks ajaran agama-Nya justru menjadi tugas utama umat Islam pada tiap jamannya (terutama melalui Majelis ulama) demi menjaga 'kelurusan' ajaran-ajaran agama-Nya.
"Ucapannya (Muhammad) itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepada umatnya)," dan "yang diajarkan kepadanya oleh (malaikat Jibril) yang sangat kuat (hujjahnya)," – (QS.53:4-5).
"Katakanlah: 'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku (umat Muhammad), sesuatu …." – (QS.6:145).
"Dan demikianlah, Kami wahyukan kepadamu (hai umat Muhammad) wahyu (Al-Qur'an), dengan perintah Kami. …." – (QS.42:52).
"Dan tidak ada bagi seorang manusiapun, bahwa Allah berkata-kata dengan dia, kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat Jibril), lalu diwahyukan kepadanya (manusia itu) dengan seijin-Nya, apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi, lagi Maha Bijaksana." – (QS.42:51).
Namun ada pula sudut pandang yang lainnya, bahwa dua jenis wahyu di dalam ayat-ayat Al-Qur'an di atas, masing-masingnya justru berupa wahyu-Nya jenis kedua dan ketiga (bukanlah berupa wahyu-Nya jenis ketiga dan keempat, seperti pada anggapan semula di atas).
Sehingga menurut sudut pandang terakhir inipun, makna dari "wahyu yang diwahyukan" justru berupa wahyu yang 'sebenarnya' (wahyu-Nya jenis kedua), yang lalu diwahyukan oleh 'malaikat Jibril' kepada 'para nabi-Nya' (wahyu-Nya jenis ketiga, Al-Hikmah). Dalam hal ini justru malaikat Jibril yang mewahyukannya.
Sebaliknya tentunya "wahyu yang diwahyukan" bukan berupa wahyu-Nya jenis ketiga (Al-Hikmah), yang lalu diwahyukan oleh 'para nabi-Nya' kepada 'para umatnya' (wahyu-Nya jenis keempat, Al-Kitab). Dalam hal ini justru bukan para nabi-Nya yang mewahyukannya.
Juga pada dasarnya, wahyu-Nya jenis ketiga pada tabel di atas (Al-Hikmah), masih bisa dibagi lagi menjadi 'dua jenis' wahyu, yaitu: 'segala ilham dari para makhluk gaib (khususnya malaikat Jibril)' dan 'Al-Hikmah' itu sendiri. Namun segala jenis ilham dari para makhluk gaib itu, sebagai satu-kesatuan justru bersifat 'netral' atau 'seimbang' (ada ilham-ilham yang benar dari para malaikat, dan ada pula ilham-ilham yang sesat dari jin, syaitan atau iblis), yang disampaikan melalui alam batiniah ruh tiap manusia, tiap saatnya sepanjang hidupnya.
Bahkan segala jenis ilham dari para makhluk gaib itu memang bercampur-baur di alam batiniah ruh tiap manusia yang mereka ikuti. Maka peran akal manusianya justru sangatlah penting dalam memilah-milih segala ilham itu (manakah yang 'relatif benar' dan yang 'relatif sesat'), dan juga tetap bersifat 'relatif' menurut penilaian manusianya sendiri. Sehingga pemahaman pada buku ini, segala jenis ilham dari para makhluk gaib itupun kurang tepat disebut sebagai 'wahyu-Nya'.
Lebih jelasnya, segala jenis ilham yang 'relatif benar' dari para makhluk gaib (terutama malaikat Jibril), pada dasarnya hanya berupa potongan-potongan kecil informasi yang ikut membantu manusianya (terutama para nabi-Nya), dalam menyusun segala pengetahuan yang dimilikinya melalui akalnya (terutama berupa Al-Hikmah atau hikmah dan hakekat kebenaran-Nya).
Maka kalaupun mau tetap disebut 'wahyu-Nya', justru hanya berlaku atas segala jenis ilham yang 'relatif benar' dari malaikat Jibril, seperti yang banyak disebut dalam Al-Qur'an, tentang "penyampaian wahyu-Nya oleh malaikat Jibril kepada para nabi-Nya". Namun sekali lagi secara 'keseluruhan', segala jenis ilham-bisikan-godaan dari para makhluk gaib, melalui interaksi terselubung dan terang-terangan, tetap kurang tepat disebut sebagai 'wahyu-Nya'.
Hal-hal di atas amat perlu dipahami, agar setiap ilham-bisikan-godaan dari para makhluk gaib itu (terutama melalui interaksi terang-terangan), tidak mudah dianggap sebagai 'wahyu-Nya' (ataupun suatu hal yang pasti 'benar'), seperti halnya kekeliruan yang dilakukan oleh sebagian 'nabi-nabi baru' (setelah nabi Muhammad saw), yang telah menganggap dirinya adalah 'nabi-Nya', ataupun menganggap 'bisikan' yang telah diterimanya adalah 'wahyu-Nya'.
Di samping tentunya, agar setiap umat Islam bisa benar-benar memahami tentang wahyu-Nya; serta transformasi perubahan bentuk wahyu-Nya, dari bentuk paling awalnya (Fitrah Allah), sampai bentuk paling akhirnya, yang biasa dikenal oleh setiap umat Islam (ayat-ayat pada kitab-kitab-Nya, terutama ayat-ayat Al-Qur'an).
empat macam bentuk wahyuNYA
Keterangan gambar
A. Wahyu-Nya jenis ke-1:
Rangkuman ringkas dan penyampaian Wahyu-Nya jenis ke-1
Sebutan dan uraian ringkas
"Fitrah Allah"
Sifat-sifat dinamis-proses-perbuatan yang terpuji dan mulia pada Zat Allah, yang merupakan sebagian dari seluruh sifat mutlak Allah, yang sengaja dipilih-Nya dan kehendak ditunjukkan-Nya kepada segala makhluk ciptaan-Nya.
Ringkasnya: bentuk pilihan Allah dari seluruh sifat mutlak Allah.
◕ Sebutan lain : Sifat-sifat terpuji dan mulia Allah.
◕ Sifat wahyu : Bersifat 'Maha kekal', 'Maha gaib' (sesuai sifat-sifat-Nya) dan 'universal' ('nantinya' terkandung secara tersembunyi-gaib dalam segala sesuatu hal di alam semesta ini).
◕ Dari : Allah.
◕ Ke : Allah sendiri (pilihan dan kehendak Allah sendiri).
◕ Bentuk awal : Tidak berbentuk (berupa sifat-sifat Allah). Seluruh' sifat mutlak pada Zat Allah.
◕ Bentuk akhir : Tidak berbentuk (berupa sifat-sifat Allah).'Sebagian' dari seluruh sifat mutlak pada Zat Allah, yang sengaja dipilih-Nya dan hendak ditunjukkan-Nya kepada segala makhluk ciptaan-Nya, dalam 'rencana-Nya' bagi penciptaan alam semesta ini.
◕ Tempat : Hakekatnya pada Zat Allah, Yang Maha Gaib. Namun pada perwujudannya 'nantinya', terkandung secara tersembunyi-gaib dalam segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal', pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian (lahiriah dan batiniah) di seluruh alam semesta ini.
◕ Tujuan : Agar tiap makhluk yang akan diciptakan-Nya 'nantinya', bisa mencari dan mengenal Allah (beserta segala kemuliaan, kekuasaan dan kesempurnaan-Nya).
Sekaligus pula agar tiap makhluk bisa menyembah dan mengabdikan dirinya kepada Allah, Yang telah menciptakannya, bagi pencapaian kemuliaannya sendiri.
Catatan
Fitrah Allah yang telah terungkapkan pada Asmaul Husna (nama-nama terbaik yang hanya milik Allah) adalah hasil pemahaman nabi Muhammad saw atas sifat-sifat-Nya.
Pada Fitrah Allah terkandung sifat-sifat yang menunjukkan kekuasaan dan kemuliaan Allah, lebih luasnya lagi menunjukkan kesempurnaan Allah.
Dengan berdasarkan Fitrah Allah itu, manusia dan alam semesta ini diciptakan-Nya, dan juga agama-Nya yang lurus diturunkan-Nya (pada QS.30:30).
B. Wahyu-Nya jenis ke-2:
Rangkuman ringkas dan penyampaian Wahyu-Nya jenis ke-2
◕ Sebutan dan uraian ringkas : "Tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya"
Segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal', pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian (lahiriah dan batiniah) di seluruh alam semesta ini, sebagai hasil dari perbuatan Allah (terutama dalam mewujudkan Fitrah Allah). Sifat-sifat 'mutlak' dan 'kekal' memang hanya semata milik Allah.
Ringkasnya: bentuk perwujudan dari Fitrah Allah, di seluruh alam semesta ini.
◕ Sebutan lain :
~ Ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis;
~ Kitab-kitab-Nya yang berwujud 'gaib' (termasuk Al-Qur'an), yang tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya;
~ Wahyu, kalam, firman atau sabda-Nya yang sebenarnya;
~ Segala pengetahuan atau kebenaran-Nya;
~ Wajah-Nya;
~ dsb.
◕ Sifat wahyu : Bersifat 'kekal' (sesuai umur alam semesta ini), 'gaib' dan 'universal'.
◕ Dari : Allah.
◕ Ke : Segala makhluk ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini.
◕ Bentuk awal : Tidak berbentuk (berupa Fitrah Allah).
◕ Bentuk akhir : Alam semesta ini, yang secara tersembunyi-gaib di dalamnya, terkandung segala sesuatu hal yang menunjukkan Fitrah Allah.
◕ Tempat : Kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya, sebagai 'simbol' tempat tercatatnya segala pengetahuan atau kebenaran-Nya di seluruh alam semesta ini.
Lauh Mahfuzh dan 'Arsy-Nya berada di alam gaib.
◕ Tujuan : Pengajaran dan tuntunan-Nya bagi segala makhluk ciptaan-Nya (terutama bagi umat manusia yang telah dipilih-Nya sebagai khalifah-Nya di dunia), agar tidak kehilangan arah-tujuan saat berjalan atau hidup di dunia.
Catatan
Segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi) dan 'kekal' (pasti konsisten) di seluruh alam semesta ini, diyakini oleh umat manusia sebagai hasil dari perbuatan Allah, Yang Maha berkuasa dan Maha kekal. Karena sifat-sifat 'mutlak' dan 'kekal memang hanya semata milik Allah.
Sedangkan segala makhluk-Nya justru pasti bersifat 'relatif' (tidak mutlak / tidak pasti), amat lemah, amat terbatas dan fana (tidak kekal / tidak konsisten / berubah-ubah).
C. Wahyu-Nya jenis ke-3:
Rangkuman ringkas dan penyampaian Wahyu-Nya jenis ke-3
◕ Sebutan dan uraian ringkas : "Al-Hikmah" (tiap Al-Hikmah ataupun satu-kesatuan seluruh Al-Hikmah).
Pengetahuan atau pemahaman tiap nabi-Nya, atas ayat-ayat-Nya yang 'tak-tertulis' di alam semesta ini (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya), dan juga atas ayat-ayat-Nya yang 'tertulis' (kitab-Nya dan sunnah / hadits dari para nabi-Nya terdahulu), yang diperoleh secara 'amat obyektif dan mendalam'.
Ringkasnya: bentuk pemahaman atas tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya, secara amat obyektif.
◕ Sebutan lain :
~ Hikmah dan hakekat kebenaran-Nya;
~ Hikmah dan hidayah-Nya;
~ Petunjuk-Nya;
~ Makrifat;
~ dsb.
◕ Sifat wahyu : Bersifat 'fana' (sesuai umur tiap nabi-Nya), 'gaib' (berupa pemahaman) dan 'universal'. Juga bersifat relatif kompleks, rumit, mendalam, tidak praktis-aplikatif dan tidak aktual.
◕ Dari : Para malaikat Jibril.
◕ Ke : Para nabi-Nya.
◕ Bentuk awal : Segala hal di alam semesta ini (segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian), yang bisa ditangkap oleh alat-alat indera 'lahiriah' pada tiap nabi-Nya (mata, telinga, lidah, hidung, kulit, dsb).
◕ Bentuk akhir : Segala pengetahuan atau pemahaman pada tiap nabi-Nya, tentang kebenaran-Nya, yang telah tersusun relatif 'sempurna' (relatif lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan).
◕ Tempat : Dalam dada-hati-pikiran tiap nabi-Nya. Juga biasa disebut berada di 'alam batiniah ruh', 'alam pikiran' atau 'alam akhirat' tiap nabi-Nya.
◕ Tujuan : Pengajaran dan tuntunan-Nya secara batiniah-gaib, bagi umat manusia.
Catatan
Segala informasi lahiriah yang telah ditangkap oleh alat-alat indera 'lahiriah' pada tiap manusia, pada akhirnya pasti diterima pula oleh alat indera 'batiniah'-nya pada zat ruhnya (hati atau kalbu).
Namun pada alam batiniah ruh tiap manusia, justru juga pasti terdapat sejumlah para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis), yang telah ditugaskan-Nya untuk selalu mengikuti, mengawasi dan menjaga tiap manusianya, tiap saatnya selama hidupnya (termasuk dalam memberi segala pengajaran dan ujian-Nya secara batiniah).
Maka segala bentuk informasi batiniah pada hati atau kalbu tiap manusia, selain yang 'murni' dari hasil tangkapan alat-alat indera lahiriahnya, namun ada pula 'tambahan' dari para makhluk gaib, yang berupa ilham-bisikan-godaan yang positif-benar-baik (dari para malaikat, terutama para malaikat Jibril), dan yang negatif-sesat-buruk (dari para jin, syaitan dan iblis).
Makin banyak pengalaman tiap manusia dalam mengamati dan mencermati segala sesuatu hal di alam semesta ini, maka makin banyak pula segala informasi batiniah atau pengetahuan yang bisa dimilikinya. Karena para makhluk gaib memberi ilham-ilhamnya, justru hanya berdasar segala pengetahuan dan pengalaman manusianya sendiri, dan berdasar arah kecenderungan pikiran manusianya.
Tiap Al-Hikmah bisa disebut suatu 'wahyu-Nya', hanya jika 'seluruh' Al-Hikmah yang dipahami telah tersusun relatif 'sempurna' (relatif lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan).
Juga seluruh pemahamannya mestinya menyangkut segala hal yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah), terutama agar bisa menjawab segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan pokok dalam kehidupannya sehari-hari.
Jika hal-hal ini tidak terpenuhi, maka tiap pemahamannya hanya disebut 'Al-Hikmah', sedang pemilik pemahamannya tidak bisa disebut 'nabi-Nya'. Di samping itu, para nabi-Nya mestinya juga amat konsisten mengamalkan tiap pemahamannya tentang kebenaran-Nya, dalam kehidupannya sehari-hari (terutama dalam melayani umat sebagai wujud pengabdiannya kepada-Nya).
Sehingga tiap wahyu-Nya justru satu-kesatuan dengan seluruh wahyu-Nya lainnya pada tiap nabi-Nya (bukan berdiri-sendiri atau terpisah), sebagai bahan pengajaran dan tuntunan-Nya yang 'lengkap' bagi kehidupan beragama seluruh umat manusia. Dan para nabi-Nya menjadi contoh suri-teladan dan panutan bagi umatnya.
Di dalam memperoleh Al-Hikmah, umat manusia biasa (selain para nabi-Nya) pada umumnya lebih banyak diilhami dari ayat-ayat-Nya yang 'tertulis' (kitab-Nya dan sunnah / hadits dari para nabi-Nya), namun relatif jarang dari mempelajari langsung ayat-ayat-Nya yang 'tak-tertulis' di alam semesta ini (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya).
Sedang pada para nabi-Nya, sebagian kecilnya diilhami dari ayat-ayat-Nya yang 'tertulis' (kitab-Nya dan sunnah / hadits dari para nabi-Nya terdahulu), dan sebagian besarnya justru dari mempelajari langsung ayat-ayat-Nya yang 'tak-tertulis'.
Al-Hikmah hanya bisa diperoleh, jika tiap manusia telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang relatif cukup banyak, luas dan mendalam, dengan cara banyak mengamati dan mempelajari segala hal di alam semesta ini, terutama lagi dalam hal pengetahuan dan pengalaman batiniah-rohani-spiritual (mengetahui hal-hal gaib dan batiniah). Tentunya dengan relatif banyak menggunakan akalnya dalam bertafakur, untuk memikirkan tiap kebenaran-Nya.
Hanya 'akal' satu-satunya alat-sarana pada zat ruh tiap manusia, yang bisa memilih, menelaah, menilai dan memutuskan berbagai informasi batiniahnya, untuk dianggap sebagai pengetahuan atau kebenaran 'relatif' baru, yang akan dipakai lebih lanjut.
Hanya dengan akal dan keyakinan hati-nuraninya, tiap manusia bisa membedakan antara ilham yang benar dan sesat dari para makhluk gaib di dalam pikirannya.
Segala kebenaran 'relatif' pada hati-nurani tiap manusia, yang telah bisa membentuk keyakinan batiniahnya, yang bahkan dipakai oleh akalnya untuk memutuskan hal-hal berikutnya, justru hasil dari olahan akal sebelumnya.
Kecuali tentunya atas segala 'fitrah dasar' pada hati-nuraninya, yang justru hanya ditanamkan-Nya pada saat awal penciptaan zat ruhnya, dimana tiap bayi manusia terlahir 'sama' isi hati-nuraninya (sama-sama suci-murni dan bersih dari dosa).
D. Wahyu-Nya jenis ke-4:
Rangkuman ringkas dan penyampaian Wahyu-Nya jenis ke-4
◕ Sebutan dan uraian ringkas : "Al-Kitab" (tiap ayatnya ataupun satu-kesatuan seluruh ayatnya)
Hasil rangkuman atas seluruh pemahaman Al-Hikmah tentang berbagai hal, yang telah tertulis, terucap atau terungkap, terutama untuk bisa menjawab segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan kehidupan umat manusia, yang paling penting, mendasar dan hakiki (hal-hal gaib dan batiniah).
Ringkasnya: bentuk pengungkapan atas seluruh Al-Hikmah, secara relatif lengkap, ringkas, sederhana, praktis-aplikatif dan aktual.
◕ Sebutan lain :
~ Kitab-Nya (kitab Allah);
~ Kitab tauhid;
~ Ayat-ayat-Nya yang tertulis, terucap atau terungkap;
~ Risalah-Nya;
~ Dsb.
◕ Sifat wahyu : Bersifat 'fana' (sesuai umur sarana penyampaiannya), 'nyata' dan 'aktual' (sesuai keadaan umat). Juga bersifat relatif ringkas, sederhana dan praktis-aplikatif.
◕ Dari : Para nabi-Nya.
◕ Ke : Umat-umat manusia lainnya (umat-umat para nabi-Nya).
◕ Bentuk awal : Seluruh Al-Hikmah pada tiap nabi-Nya terkait, yang telah tersusun relatif sempurna (relatif lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan).
◕ Bentuk akhir : Tulisan, lisan, sikap dan contoh-perbuatan dari tiap nabi-Nya terkait (ayat-ayat pada Al-Kitab dan coontoh pengamalannya pada sunnah-sunnahnya). Ayat-ayat Al-Kitab tersusun lengkap, untuk menjawab segala persoalan pokok dalam kehidupan umat manusia, sehari-harinya.
◕ Tempat : Tiap Al-Kitab, kitab-Nya atau kitab tauhid (Jabur, Taurat, Injil dan Al-Qur'an), dan penjelasan contoh pengamalannya pada kitab-kitab hadits, dari tiap nabi-Nya terkait.
◕ Tujuan : Pengajaran dan tuntunan-Nya secara lahiriah-nyata, bagi umat manusia.
Catatan
Al-Kitab bersifat relatif terbatas, karena memang relatif hanya sesuai dengan konteks keadaan umat pada saat disampaikan (konteks waktu, ruang dan budaya).
Namun tiap Al-Hikmah 'di balik' teks-teksnya, justru bersifat 'universal' (bisa melewati konteks waktu, ruang dan budaya). Tiap Al-Hikmah tentang suatu hal tertentu, relatif 'sama' dari nabi ke nabi, dari umat ke umat, dan dari jaman ke jaman. Tauhid dari nabi ke nabi misalnya, juga 'sama', yaitu "tiada tuhan selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa", sebagai puncak pencarian mereka atas Tuhan Pencipta alam semesta ini.
Tentunya banyak ayat Al-Kitab yang mengandung Al-Hikmah, namun hanya berupa rangkuman ringkasnya, tanpa diungkap segala dalil-alasan-hujjah dan penjelasan selengkapnya (tanpa terungkap segala dasar pemikirannya).
Hanya dengan mengungkap kembali segala Al-Hikmah (beserta dalil-alasan-hujjah dan penjelasannya), 'di balik' teks ayat Al-Kitab, lalu disertai pula dengan melahirkan tiap 'ijtihad', berdasar segala Al-Hikmah tersebut, maka tiap ajaran agama-Nya bisa tetap aktual sampai akhir jaman. Bahkan Al-Kitab itu sendiri juga bentuk hasil 'ijtihad' yang lengkap dari tiap nabi-Nya terkait, berdasar segala Al-Hikmah yang dimilikinya.
Saat ini, tiap ijtihad tentunya mestinya hanya dilahirkan oleh Majelis alim-ulama pada tiap negeri dan jaman, karena menyangkut kehidupan beragama seluruh umat. Tiap ijtihad itu mestinya juga berdasar seluruh Al-Hikmah yang tersusun relatif sempurna (lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan), minimal tentang dasar-dasar pokok aqidah agama Islam dan tentang hal-hal yang sedang dibahas.
Tiap ayat Al-Kitab justru satu-kesatuan dengan seluruh ayat lainnya (bukan berdiri-sendiri atau terpisah), sebagai bahan pengajaran dan tuntunan-Nya yang 'lengkap'. Maka pengungkapan tiap Al-Hikmah di dalamnya mestinya menyertakan seluruh ayat terkait, atau minimal beberapa ayat yang bisa mewakili seluruhnya, dari semua aspek, sudut-pandang dan bentuk pengungkapan ayatnya, agar bisa obyektif dalam memperoleh kesimpulan dan makna yang sebenarnya, tentang tiap halnya.
Hadits-hadits adalah bentuk tertulis atas sunnah-sunnah dari para nabi-Nya (segala tulisan di luar kandungan isi Al-Kitab), yang langsung berasal dari para nabi-Nya sendiri, atau dari para pengikutnya (para perawi hadits), sebagai penjelasan contoh pengamalan langsung atas wahyu-wahyu-Nya (Al-Kitab ataupun Al-Hikmah).
Khusus tentang Hadits Nabi, justru tidak ada hadits yang langsung berasal dari nabi Muhammad saw, dan hanya semata dari para perawi hadits. Nabi sendiri memang melarang penulisan hadits, terutama karena ayat-ayat Al-Qur'an sendiri justru belum tuntas atau sempurna diturunkan-Nya (selesai dituliskan menjelang wafatnya Nabi).
Cukup jelas dari sifat-sifatnya, bahwa hadits dari para nabi-Nya bukan Al-Hikmah. Hadits lebih serupa sifat-sifat Al-Kitab (relatif ringkas, sederhana, praktis-aplikatif dan aktual), dan juga hanya mengandung rangkuman ringkas Al-Hikmah. Agak berbeda daripada hadits, Al-Kitab justru sengaja disusun atau dipersiapkan khusus oleh tiap nabi-Nya terkait, terutama karena menyangkut dasar-dasar pokok aqidah agama.
Pernyataan "harus mengikuti ataupun harus kembali kepada kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah Nabi (Hadits Nabi)" mestinya dilengkapi menjadi "harus mengikuti ataupun harus kembali kepada segala Al-Hikmah yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah Nabi (Hadits Nabi)", agar agama Islam tetap aktual sampai akhir jaman.
Karena kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah-sunnah Nabi justru timbul hanya berdasar segala Al-Hikmah (wahyu-Nya), dalam dada-hati-pikiran nabi Muhammad saw.
Berdasar sifat-sifat dari 4 macam bentuk wahyu pada Tabel 8 dan Gambar 14 di atas, ataupun dalam bentuk rangkumannya pada tabel di bawah, cukup jelas bisa ditunjukkan, dimana letak tepatnya 'universalitas' dari wahyu-wahyu-Nya, yaitu pada: nilai-nilai universal (al-Hikmah) 'di balik' teks ayat-ayat kitab-Nya (al-Kitab), segala pemahaman tentang kebenaran-Nya di dalam pikiran para nabi-Nya (al-Hikmah) dan tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta ini. Hal-hal ini sangat diperlukan, agar umat Islam bisa memahami bagaimana cara mengembalikan 'universalitas' dari ajaran-ajaran agama-Nya, dan bagaimana cara selalu menjaga 'aktualitasnya'. Jika hal-hal ini bisa dijawab dan dilaksanakan, maka ajaran-ajarannya bisa tetap berlaku relatif sempurna, bahkan sampai akhir jaman.
Di lain pihak, sebagai bentuk pengungkapan atas segala pemahaman tentang kebenaran-Nya di dalam pikiran para nabi-Nya (al-Hikmah), tentunya kitab-kitab-Nya (al-Kitab) justru bersifat 'aktual', yang berlawanan dengan sifat 'universal'. Karena al-Kitab memang relatif hanya paling tepat atau sesuai bagi keadaan umat dan jaman, pada saat disampaikannya. Sedangkan umat-umat para nabi-Nya lebih membutuhkan tuntunan dan pengajaran-Nya yang bersifat relatif sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual, untuk bisa menjawab segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalannya sehari-harinya. Sehingga ajaran-ajaran dari para nabi-Nya relatif tidak bermanfaat, jika diungkapkan memakai bahasa yang universal, yang bisa sesuai bagi seluruh umat manusia di segala jaman, namun justru bersifat rumit, mendalam, teoretis dan universal. Di samping itu pula, ada keterbatasan bahasa lisan, tulisan dan bahasa tubuh untuk mengungkap segala isi pikiran (termasuk segala pemahaman al-Hikmah pada para nabi-Nya).
Namun dengan telah berakhirnya jaman para nabi-Nya dan telah diragukannya keaslian kitab-kitab-Nya selain Al-Qur'an (Taurat, Jabur dan Injil). Maka hal-hal yang masih ada tertinggal bagi umat manusia, yaitu: kitab suci Al-Qur'an sebagai kitab-Nya yang paling akhir, lengkap dan sempurna, serta juga tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta ini, yang tentunya pasti tetap ada, selama alam semesta ini masih tetap tegak-kokoh. Di satu pihaknya, kitab suci Al-Qur'an bersifat 'nyata', di lain pihaknya, tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya bersifat 'gaib'.
Kedua sifat yang berbeda ini bisa menimbulkan persoalan, karena umat Islam cenderung hanya memakai kitab suci Al-Qur'an, yang memang bersifat 'nyata', sebaliknya justru relatif sangat jarang memakai tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini, yang memang bersifat 'gaib'. Padahal kitab suci Al-Qur'an berdasarkan segala pemahaman nabi Muhammad saw, atas tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya itu. Persoalan juga bisa terjadi, jika umat Islam cenderung memahami kitab suci Al-Qur'an, hanya secara ayat-per-ayat dan secara tekstual-harfiah, namun tidak memahami secara relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan. Dan persoalan-persoalan inipun pada dasarnya bisa relatif mudah diatasi, jika umat Islam mau menggunakan akalnya, agar benar-benar bisa memahami hal-hal yang sebenarnya dimaksudkan oleh Nabi, melalui ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an.
Universalitas dari ajaran-ajaran agama-Nya bisa dikembalikan, dengan berusaha memahami segala nilai universal (al-Hikmah) 'di balik' teks ayat-ayat Al-Qur'an (al-Kitab), sebagai kitab-Nya yang paling akhir, lengkap dan sempurna. Sambil berusaha pula mencocokkan dan menambahkannya dengan berbagai hasil pamahaman atas tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini. Makin sempurna, jika seluruh al-Hikmah bisa tersusun relatif makin lengkap, mendalan, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan. Tiap al-Hikmah ini semestinya bisa dipakai kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun, jika memang bersifat universal (bisa melewati batas waktu, tempat dan budaya).
Sedangkan aktualitasnya bisa selalu dijaga, terutama oleh majelis alim-ulama, dengan berusaha selalu melahirkan berbagai ijtihad yang bersifat relatif sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual, sesuai dengan segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat manusia pada tiap jamannya, berdasarkan segala pemahaman al-Hikmah yang telah diperoleh tersebut.
Rangkuman transformasi perubahan bentuk wahyu
(menurut pemahaman pada buku ini)
Bentuk wahyu jenis ke-1 :
◕ Sebutan : "Fitrah Allah" (sifat-sifat terpuji dan mulia Allah), yang merupakan sebagian dari seluruh sifat mutlak Allah, yang kehendak ditunjukkan-Nya kepada segala makhluk ciptaan-Nya.
◕ Bentuk akhir : Tidak berbentuk (berupa sifat-sifat-Nya).
◕ Sifat : 'Maha kekal', 'Maha gaib' (sesuai sifat-sifat-Nya) dan 'universal'.
◕ Penyampaian : Dari Allah kepada Allah sendiri, melalui pilihan dan kehendak Allah sendiri.
Bentuk wahyu jenis ke-2 :
◕ Sebutan : "Tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya" ("ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis"), yang merupakan segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal' di seluruh alam semesta ini.
◕ Bentuk akhir : Hal-hal yang tercatat secara 'simbolik' pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya.
◕ Sifat : 'Kekal' (sesuai umur alam semesta), 'gaib' (tersembunyi dalam banyak hal) dan 'universal'.
◕ Penyampaian : Dari Allah kepada segala makhluk ciptaan-Nya, melalui penciptaan alam semesta ini, sebagai perwujudan Fitrah Allah.
Bentuk wahyu jenis ke-3 :
◕ Sebutan : "Tiap Al-Hikmah" (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya).
◕ Bentuk akhir : Bangunan pemahaman Al-Hikmah, yang seluruhnya tersusun lengkap dan sempurna dalam dada-hati-pikiran para nabi-Nya.
◕ Sifat : 'Fana' (sesuai umur tiap nabi-Nya), 'gaib' (berupa pemahaman) dan 'universal'. Juga relatif kompleks, rumit, mendalam, tidak praktis-aplikatif dan tidak aktual.
◕ Penyampaian : Dari para malaikat Jibril kepada para nabi-Nya, melalui pemberian segala bentuk "ilham yang positif-benar-baik" ke dalam dada-hati-pikiran para nabi-Nya.
Bentuk wahyu jenis ke-4 :
◕ Sebutan : "Tiap ayat Al-Kitab" (tiap hasil rangkuman atas segala pemahaman Al-Hikmah, yang tertulis / terucap / terungkap).
◕ Bentuk akhir: Tiap Al-Kitab / kitab-Nya / kitab tauhid, yang seluruh ayatnya tersusun lengkap.
◕ Sifat : 'Fana' (sesuai umur sarana penyampaiannya), 'nyata' dan 'aktual' (sesuai keadaan umat). Juga relatif ringkas, sederhana dan praktis-aplikatif.
◕ Penyampaian : Dari para nabi-Nya kepada seluruh umat manusia, melalui lisan dan tulisan para nabi-Nya.
Juga menurut sifatnya secara umum, berbagai macam wahyu bisa dikelompokkan menjadi :
Lebih lanjut, berbagai bentuk dan sifat wahyu yang umum dikenal. Sebagaimana diketahui oleh umat Islam secara umum, bahwa "wahyu adalah perintah atau firman-Nya yang disampaikan kepada para nabi-Nya, melalui perantaraan para malaikat Jibril, dalam bentuk seperti: penampakan dan perkataan langsung para malaikat Jibril, visi, inspirasi, ilham, mimpi, dsb"
Sementara dari berbagai agama yang meyakini adanya wahyu dari Tuhan bagi para nabi-Nya (terutama agama-agama tauhid seperti: Yahudi, Kristen/Nasrani dan Islam), maka menurut bentuknya secara umum, berbagai macam wahyu bisa dikelompokkan menjadi :
a. Wahyu proposisional – lisan & tulisan (
verbal).
b. Wahyu proposisional – bukan lisan & tulisan (
non-verbal propositional).
c. Wahyu akal (
aristotelian rationalism).
d. Wahyu alam (
natural).
e. Wahyu sejarah (
historical faith development).
f. Wahyu eksistensialis (
existentialism).
g. Wahyu sistematik (
systematic theology). .
Juga menurut sifatnya secara umum, berbagai macam wahyu bisa dikelompokkan menjadi :
a. Wahyu progresif (
progressive revelation).
b. Wahyu kontinu (
continuous revelation).
c. Wahyu umum (
general revelation).
d. Wahyu khusus (
special revelation).
e. Wahyu langsung (
direct revelation).
f. Wahyu privat (
private revelation).
g. Wahyu supranatural (
supranatural revelation).
Menurut bentuknya, wahyu bisa dikelompokkan menjadi: Berbagai macam 'bentuk' wahyu yang umum dikenal. Dirangkum dari sarana layanan internet "Wikipedia" (revelation)
a. Wahyu proposisional − lisan & tulisan (
verbal)
Wahyu proposisional − lisan & tulisan adalah wahyu yang berupa hasil penyampaian melalui lisan dan tulisan, atas pesan secara langsung dan proposisional (tersusun apa adanya), dari Tuhan kepada para nabi-Nya. Juga bisa pesan langsung dan proposisional (tersusun apa adanya) dari Tuhan, yang melalui perantaraan para malaikat Jibril.
Bentuk wahyu proposisional − lisan & tulisan ini diyakini oleh sebagian umat Yahudi Ortodoks dan umat Kristiani tradisional. Juga diyakini oleh sebagian umat Islam, terutama wahyu yang melalui perantaraan malaikat Jibril.
Menurut pemahaman pada buku ini:
◕ Secara ringkas : Bentuk wahyu proposisional − lisan & tulisan ini 'tidak ada' (tidak diakui pada buku ini).
Bentuk wahyu ini diyakini oleh sebagian umat Islam.
Bentuk wahyu proposisional − lisan & tulisan ini pada dasarnya 'tidak ada', menurut pemahaman pada buku ini, walau memang ada sebagian umat Islam yang meyakininya. Karena diyakini pada buku ini, bahwa Zat Allah bersifat Maha Gaib dan Maha Suci (tersucikan dari segala sesuatu halnya), termasuk mustahil bisa dijangkau oleh segala alat indera lahiriah dan batiniah makhluk-Nya (mata, telinga, hidung, lidah, kulit, akal, hati, dsb), serta Zat Allah juga mustahil berbicara, menulis ataupun berbuat seperti halnya manusia.
Allah mengungkap segala sesuatu hal (segala kehendak-Nya, perbuatan-Nya, firman / kalam-Nya, perintah-Nya, pengetahuan-Nya, dsb), justru hanya melalui segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal' pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian di seluruh alam semesta ini (gaib dan nyata, lahiriah dan batiniah, zat dan non-zat, dsb), yang lebih sering dikenal sebagai "tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya", serta sebagai bentuk firman atau kalam-Nya yang sebenarnya.
Sehingga perantara yang paling mendasar antara zat Allah dan segala zat makhluk-Nya tentunya berupa 'alam semesta' itu sendiri. Juga bagi tiap manusia pasti melalui perantaraan para makhluk gaib-Nya (malaikat, jin, syaitan dan iblis), yang tiap saatnya bertugas memberi segala bentuk ilham (positif-benar-baik dan negatif-sesat-buruk), ke dalam alam batiniah ruh manusianya (alam pikiran). Lalu juga melalui perantaraan akal dan keyakinan hati-nuraninya, para nabi-Nya memilih, mengolah dan memutuskan ilham-ilham yang dianggapnya relatif benar, yang biasa disebut "berasal dari malaikat Jibril".
Dan satu kesatuan seluruh pemahaman para nabi-Nya, yang telah tersusun relatif sempurna (relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan), khususnya atas segala hal yang paling mendasar, penting dan hakiki dalam kehidupan umat manusia, yang menjadikan tiap pemahaman mereka (berupa al-Hikmah) dan hasil pengungkapannya (berupa al-Kitab), telah pantas pula disebut sebagai 'wahyu-Nya', di samping mereka sendiri pantas disebut sebagai 'nabi-Nya'.
Tiap tabir, hijab atau pembatas antara Zat Allah dan segala zat makhluk-Nya pada dasarnya berupa tingkat kebenaran pengetahuan pada zat makhluk-Nya tentang sesuatu hal di alam semesta ini.
Dan sesuatu hal yang 'benar', yang diperoleh secara 'sangat obyektif', atau relatif sangat mendekati hal-hal yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal' di alam semesta ini, adalah 'satu-satunya' ukuran bahwa hal itu (pengetahuan, lisan, tulisan, keterangan, dsb) memang berasal dari Allah.
Maka mustahil ada pesan, perintah atau firman-Nya secara langsung dan proposisional dari Allah (lisan dan bukan lisan), karena proses turunnya wahyu-Nya memang pasti melalui berbagai tingkatan tabir dan perantara.
Bahkan juga mustahil ada pesan, perintah atau firman-Nya secara langsung dan proposisional dari malaikat Jibril kepada para nabi-Nya, karena di alam pikiran tiap manusia pasti bercampur-baur tiap saatnya, antara segala ilham yang positif-benar-baik (dari para malaikat, khususnya malaikat Jibril) dan segala ilham yang negatif-sesat-buruk (dari para jin, syaitan dan iblis). Di samping itu, para makhluk gaib memang berwujud gaib dan relatif tidak bisa ditunjuk, serta juga relatif tidak konsisten dalam berbuat (sebagaimana halnya segala makhluk-Nya lainnya).
Sehingga proses turunnya tiap wahyu-Nya pasti tetap melalui olahan akal dan keyakinan hati-nurani para nabi-Nya. Karena segala bentuk pengetahuan pada tiap manusia (termasuk wahyu-Nya atau pengetahuan tentang kebenaran-Nya pada para nabi-Nya), pasti diperoleh melalui penggunaan akal dan keyakinan hati-nurani. Perbedaan pada tiap manusia justru hanya semata terjadi pada 'tingkat kebenaran' atau 'tingkat obyektifitas' atas pengetahuan yang diperoleh, dari hasil usaha masing-masingnya (tingkat perbedaan terhadap kebenaran-Nya di alam semesta ini, yang justru bersifat 'mutlak' dan 'kekal'). Lebih lengkapnya, hanya semata terjadi perbedaan pada 'tingkat kesempurnaan' (relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan) dan 'tingkat kepentingan' (paling mendasar, penting dan hakiki dalam kehidupan umat manusia, khususnya hal-hal gaib dan batiniah), pada seluruh pengetahuan yang diperoleh.
Di lain pihak, para nabi-Nya adalah manusia biasa dari segi 'zat'-nya, serta Allah Yang Maha Adil mustahil berlaku pilih-kasih hanya kepada manusia tertentu saja (termasuk hanya kepada para nabi-Nya). Segala hasil yang diperoleh tiap manusia, pada dasarnya pasti sesuai atau setimpal dengan 'hasil usahanya' masing-masing.
Dan juga para nabi-Nya pada dasarnya merupakan orang-orang yang paling berilmu-pengetahuan di antara seluruh umat kaumnya pada tiap jamannya, terutama tentang segala hal yang paling mendasar, penting dan hakiki dalam kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah), dari sangat banyaknya hasil usaha mereka dalam mencari pengalaman batiniah-rohani-spiritual dan dalam bertafakur memikirkan tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini. Sekaligus mereka sangat konsisten dalam mengamalkan segala pengetahuan atau pemahaman mereka pada kehidupannya sehari-hari. Sehingga merekapun telah bisa menjadi tokoh panutan dan contoh suri-teladan bagi umat kaumnya.
Peran akal dan keyakinan hati-nurani para nabi-Nya, pada dasarnya bahkan juga sangat diperlukan dalam interaksi secara terang-terangan antara para nabi-Nya dan para makhluk gaib, dimana 'wujud asli' dari para makhluk gaib menjadi sangat jelas, dalam bentuk 'suara bisikan' mereka, yang serupa halnya suara manusia biasa dengan berbagai usia (dari suara bayi sampai lansia), bangsa (berbagai bahasa) dan jenis kelamin (suara pria, wanita, dan bahkan banci).
Salah-satu ukuran, bahwa wahyu-wahyu-Nya diturunkan kepada para nabi-Nya, memang bukan melalui 'suara bisikan' malaikat Jibril dalam interaksi secara terang-terangan, atau wahyu-wahyu-Nya memang bukan 'didikte' oleh malaikat Jibril, atau penyampaian wahyu-Nya oleh malaikat Jibril memang bukan seperti "Hai Rasul-Nya, Allah telah berfirman kepadamu …", adalah sangat lambatnya kecepatan suara bisikan, sedangkan sebaliknya kecepatan proses akal di alam batiniah ruh manusia memang berlangsung amat sangat cepat. Bahkan dalam Al-Qur'an juga disebutkan bahwa "malaikat Jibril menurunkan wahyu-Nya ke dalam dada, hati atau pikiran Nabi".
Baca pula uraian topik-topik di atas, tentang interaksi terang-terangan antara manusia dan para makhluk gaib, serta tentang 'wujud asli' para makhluk gaib.
"Dan sesungguhnya, Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam,", "dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril),", "ke dalam hatimu (Muhammad), agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan," – (QS.26:192-194).
"Katakanlah: 'Barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkan (Al-Qur'an) ke dalam hatimu (Muhammad), dengan seijin-Nya. …'." – (QS.2:97).
"Berkatalah orang-orang kafir: 'Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) sekali turun saja?'. Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu (Muhammad) dengannya (Al-Qur'an), dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)." – (QS.25:32).
"Sebenarnya, Al-Qur'an itu adalah ayat-ayat-Kami yang nyata, di dalam dada orang-orang yang telah diberikan ilmu. …" – (QS.29:49).
Bahkan bentuk wahyu proposisional − lisan & tulisan ini bisa dibantah secara relatif sederhana dan mudah, melalui adanya penggunaan berbagai macam 'kata ganti' untuk mengacu kepada Allah dalam ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an, seperti: 'Allah', 'Rabb', 'Aku / Ku', 'Engkau', 'Mu', 'Kami', 'Dia', 'Nya', dsb. Sehingga mustahil ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an berbentuk pesan, perintah ataupun firman-Nya secara langsung dan proposisional dari Allah (hampir mustahil Allah sendiri menggunakan istilah 'Allah', 'Rabb', 'Engkau', 'Mu', 'Dia', 'Nya', dsb) dan dari malaikat Jibril (hampir mustahil malaikat Jibril menggunakan istilah 'Aku / Ku', 'Engkau', 'Mu', 'Kami', dsb). Begitu pula penggunaan berbagai 'kata ganti' untuk mengacu kepada hal-hal lainnya (para makhluk gaib, para nabi-Nya, umat biasa, hewan, benda mati, dsb).
Sebaliknya dari penggunaan berbagai 'kata ganti' tersebut, justru bisa lebih menunjukkan adanya hasil olahan nabi Muhammad saw, atas wahyu-wahyu-Nya yang disampaikannya melalui kitab suci Al-Qur'an (berupa al-Kitab), sesuai dengan konteks keadaan dan kepraktisan penyampaian tiap ayatnya, berdasarkan wahyu-wahyu-Nya yang telah tertanam di dalam dada-hati-pikiran Nabi, dalam bentuk pemahaman Nabi tentang berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di alam semesta ini (berupa al-Hikmah).
Penting diketahui pula, bahwa dari sifat bentuk wahyu proposisional − lisan & tulisan ini yang 'langsung' dan 'proposisional' (tersusun apa adanya), maka proses turunnya wahyu justru dianggap 'didiktekan' langsung oleh Allah atau oleh malaikat Jibril (sebagai perantara), secara kata-per-kata dan kalimat-per-kalimat, sekaligus pula dituliskan ke dalam kitab suci Al-Qur'an persis seperti isi dan susunan aslinya. Lalu kepada nabi Muhammad saw juga 'didiktekan' segala penjelasan atas ayat-ayatnya.
Pemahaman atas bentuk wahyu ini melahirkan sejumlah pertanyaan, yang justru menimbulkan keraguan sangat besar atas bentuk wahyu ini sendiri, antara-lain:
~ Bagaimana Nabi meyakini, bahwa makhluk yang membisikinya adalah malaikat Jibril atau utusan-Nya, serta hal-hal yang disampaikan adalah wahyu-Nya?
~ Bagaimana penerimaan akal dan keyakinan Nabi, jika pengetahuannya sendiri memang belum cukup, dan wahyu didiktekan begitu saja kepadanya?
~ Bagaimana cara malaikat Jibril mendiktekan seluruh ayat Al-Qur'an, beserta segala penjelasannya? dan apakah secara bertahap atau sekaligus seluruhnya?
~ Bagaimana cara Nabi bisa menghapal seluruh ayat Al-Qur'an, beserta segala penjelasannya? dan apakah tidak ada kekeliruan hapalan sedikitpun?
~ Apakah mushaf Al-Qur'an yang dipakai oleh umat Islam saat ini, benar-benar asli dari Nabi, terutama dari segi isi dan susunannya, padahal ada mushaf lainnya?
~ Kenapa ayat-ayat Al-Qur'an diwahyukan-Nya dalam bentuk yang relatif singkat, ringkas dan padat, yang relatif mudah menimbulkan kekeliruan pemahamannya?
~ Kenapa Allah tidak langsung menurunkan wahyu yang bersifat universal kepada tiap nabi-Nya, agar bisa langsung berlaku bagi umat manusia di segala jaman, tempat dan budaya?, atau kenapa ada sedikit perbedaan antar wahyu pada para nabi-Nya (wahyu pada tiap nabi-Nya relatif lebih sempurna daripada wahyu pada para nabi-Nya sebelumnya)?
~ Kenapa banyak ayat Al-Qur'an yang menganjurkan umat, untuk menggunakan akalnya, serta banyak mengamati dan mempelajari tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta, jika ayat-ayatnya sendiri justru didiktekan oleh malaikat Jibril?
~ dsb.
Hal-hal di atas, tentunya jika wahyunya dianggap berupa lisan. Dan makin
meragukan lagi, jika wahyunya dianggap berupa tulisan atau kitab,
karena makin jauh mengarah ke dalam mistis-tahayul.
b. Wahyu proposisional – bukan lisan & tulisan (
non-verbal propositional)
Wahyu proposisional – bukan lisan &
tulisan adalah wahyu yang berupa hasil penyampaian atas pesan secara
langsung dan proposisional (tersusun apa adanya), dari Tuhan kepada
manusia (para nabi-Nya), namun para nabi-Nya terispirasi oleh Tuhan,
'bukan' melalui pesan secara lisan ataupun tulisan, melainkan melalui
antara lain: penglihatan langsung, mimpi, ilham, dsb.
Bentuk wahyu proposisional – bukan lisan &
tulisan ini diyakini oleh sebagian umat Yahudi, yang menganggap bahwa
sebagian dari para nabi Yahudi (Isaiah, Micaiah, dsb) telah melihat
langsung dialog antara Tuhan dan para malaikat, lalu isi dialog itu
mereka sampaikan kembali sebagai 'wahyu' kepada umat manusia lainnya.
Juga diyakini oleh sebagian umat Islam, atas wahyu yang berupa mimpi dan
ilham.
Menurut pemahaman pada buku ini:
Secara ringkas : Bentuk wahyu proposisional – bukan lisan & tulisan ini 'tidak ada' (tidak diakui pada buku ini). Bentuk wahyu ini diyakini oleh sebagian umat Islam.
Bentuk wahyu proposisional – bukan lisan
& tulisan ini pada dasarnya 'tidak ada', menurut pemahaman pada buku
ini, walau memang ada sebagian umat Islam yang meyakininya. Baca pula
uraian wahyu proposisional − lisan & tulisan (pada poin a di atas), terutama tentang kelemahan sifat langsung dan proposisional wahyu ini.
Lebih lengkapnya, bahwa zat-zat gaib
selamanya tetap bersifat gaib (tidak memiliki wujud
fisik-lahiriah-nyata). Zat Allah dan zat para makhluk gaib mustahil bisa
ditangkap melalui alat-alat indera lahiriah manusia (mata, telinga,
hidung, lidah, kulit, dsb). Bahkan Allah Yang Maha Gaib dan Maha Suci
(tersucikan dari segala sesuatu halnya), juga mustahil bisa ditangkap
melalui alat-alat indera batiniah (akal, hati, dsb).
Di lain pihaknya, para makhluk gaib masih bisa ditangkap
melalui alat-alat indera batiniah manusia. Karena sejumlah terbatas
manusia masih bisa mengetahui 'wujud asli' mereka, melalui alam batiniah
ruhnya (termasuk sebagian para nabi-Nya). Seperti telah diuraikan dalam
topik-topik di atas, bahwa 'wujud asli' itu hanya berupa 'suara
bisikan', yang serupa halnya suara manusia biasa dengan berbagai usia
(dari suara bayi sampai lansia), bangsa (berbagai bahasa) dan jenis
kelamin (suara pria, wanita, dan bahkan banci). Kalaupun seolah-olah ada
tampak 'bentuk tubuh' mereka dalam pikiran manusianya, pada dasarnya
hanya berupa hasil persepsi atau imajinasi manusianya sendiri, berdasar
bentuk 'suara bisikan' mereka. Sehingga 'bentuk tubuh' mereka itu bukan
bentuk yang sebenarnya, dan bahkan bisa berubah-ubah.
Maka mustahil bisa terjadi penglihatan langsung (lahiriah dan
batiniah) oleh manusia, terhadap zat Allah dan zat para makhluk gaib,
karena memang berupa zat-zat gaib, yang tidak bisa dilihat dan diraba.
Termasuk manusia mustahil bisa melihat langsung dialog antara Allah dan
para malaikat.
Sedangkan 'mimpi' pada dasarnya hanya suatu
bentuk ilham yang diberikan oleh para makhluk gaib ke alam pikiran tiap
manusia, pada saat manusianya sedang tertidur. Segala penglihatan
manusia dalam mimpinya, juga bukan penglihatan yang sebenarnya. Kesan,
visi, khayalan, mimpi dan ilham pada dasarnya hanya hasil dari perbuatan
para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis), yang memang
bertugas di alam pikiran tiap manusia, dalam memberi segala bentuk ilham
tiap saatnya.
Lalu bisa timbul pertanyaan, "bagaimana
wahyu-Nya yang diturunkan-Nya melalui perantaraan malaikat Jibril?",
atau "apakah ilham dari malaikat Jibril, bukan suatu wahyu-Nya". Padahal
di lain pihaknya sering disebut dalam Al-Qur'an, bahwa "wahyu-Nya
disampaikan oleh malaikat Jibril, kepada para nabi-Nya".
Jawaban atas pertanyaan tersebut relatif sangat sederhana,
karena hanya menyangkut ruang lingkup dari 'ilham' itu sendiri. Jika
sekedar disebut "ilham adalah wahyu-Nya", maka hal ini bisa keliru,
karena 'ilham' secara umum justru mengandung segala ilham yang
positif-benar-baik (dari para malaikat, khususnya malaikat Jibril) dan
segala ilham yang negatif-sesat-buruk (dari para jin, syaitan dan
iblis). Sehingga lebih tepat jika disebut "ilham 'yang benar' (dari
malaikat Jibril) adalah wahyu-Nya", justru tidak ada disebut "ilham 'yang benar'" sebagai salah-satu bentuk
wahyu-Nya. "Ilham 'yang benar'" memang sengaja tidak disertakan, karena
ada persyaratan lain agar sesuatu hal bisa disebut sebagai wahyu-Nya,
justru bukan hanya memenuhi syarat sebagai sesuatu 'yang benar'. Hal ini
terutama untuk menghindari adanya umat biasa (selain para nabi-Nya),
yang mudah mengaku-aku juga telah mendapat 'wahyu-Nya', karena umat
manusia biasa memang tiap saatnya bisa mendapat "ilham 'yang benar'".
Di dalam pemahaman pada buku ini, bahwa sesuatu 'pemahaman kenabian'
mestinya memenuhi syarat, antara-lain: relatif sangat lengkap, mendalam,
konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, atas keseluruhan
pemahaman dalam dada-hati-pikiran seorang nabi-Nya, yang berupa segala
hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah), terutama tentang segala
hal yang paling mendasar, penting dan hakiki dalam kehidupan umat
manusia (hal-hal gaib dan batiniah).
Sehingga tiap wahyu-Nya (tiap pemahaman yang berupa al-Hikmah
ataupun tiap hasil pengungkapannya yang berupa ayat al-Kitab, pada
dasarnya bukan sesuatu yang terpisah-pisah. Namun keseluruhan wahyu-Nya
(berupa al-Hikmah) dalam dada-hati-pikiran seorang nabi-Nya, justru
satu-kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, yang membentuk sesuatu
'pemahaman kenabian'. Juga seluruh al-Hikmah tersebut juga merupakan
satu-kesatuan, dengan seluruh ayat al-Kitab darinya (jika ada).
c. Wahyu akal (
aristotelian rationalism)
Wahyu akal adalah wahyu yang berupa hasil
penemuan atas kebenaran mutlak tentang Tuhan, manusia, keberadaan
manusia di alam semesta ini, dsb, yang ditemukan melalui penyelidikan
secara logis dan filosofis oleh para nabi-Nya, karena hubungan antara
para nabi-Nya dan Tuhan dianggap hanya bisa terjadi, ketika para
nabi-Nya itu telah mencapai suatu 'tingkat pemikiran murni' (state of
pure reason).
Bentuk wahyu akal ini terutama diyakini oleh sebagian para filsuf pada abad pertengahan penganut paham 'neo-Aristotelian'.
Menurut pemahaman pada buku ini: Wahyu
Secara ringkas : Bentuk wahyu akal ini 'ada' (diakui pada buku ini), tetapi dengan sejumlah catatan. Bentuk wahyu ini tidak dikenal oleh sebagian besar umat Islam.
Sebagaimana uraian wahyu proposisional − lisan & tulisan (pada poin a
di atas), diyakini pada buku ini bahwa 'segala wahyu-Nya' pada dasarnya
pasti berupa wahyu akal ini, walau wahyu akal ini memang sama sekali
tidak dikenal dalam agama Islam. Bahkan sebagian besar para alim-ulama
dan umat Islam pada umumnya, saat ini cenderung saling mempertentangkan
antara akal dan wahyu (akal dan agama).
Padahal pada puncaknya, akal dan keyakinan
hati-nurani para nabi-Nya pasti berperan sangat penting dalam turunnya
wahyu-Nya (atau pengetahuan tentang kebenaran-Nya). Padahal umat para
nabi-Nya juga bersedia mengikuti para nabi-Nya, pasti setelah akal dan
keyakinan hati-nuraninya sendiri memang telah bisa meyakini
ajaran-ajaran dari para nabi-Nya. Padahal relatif sangat banyak
anjuran-Nya di dalam Al-Qur'an, agar umat Islam banyak memakai akalnya,
termasuk agar memperhatikan, mengamati, mencermati, meneliti,
mempelajari dan memahami tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam
semesta ini.
Lebih lanjut lagi, hati-nurani pada ruh tiap manusia yang
membentuk segala keyakinannya, yang di dalamnya terkandung segala
pengetahuan tentang kebenaran yang bersifat 'relatif' dan 'subyektif'
menurut tiap manusianya, justru pasti terbentuk hanya dari hasil segala
olahan 'akal' manusianya sendiri sebelumnya. Karena hanya 'akal'
satu-satunya alat-sarana pada tiap manusia, yang berkemampuan untuk bisa
memilih, mengolah, menilai dan memutuskan segala informasi batiniahnya
(termasuk segala bentuk ilham para makhluk gaib, yang benar dan yang
sesat), untuk dianggap sebagai sesuatu pengetahuan yang ingin dipakainya
lebih lanjut.
Namun perlu diketahui, bahwa pemahaman pada
buku ini tentang wahyu akal pada dasarnya justru sama sekali tidak ada
hubungannya dengan paham 'neo-Aristotelian', walau tanpa sengaja
barangkali ada beberapa kesamaan.
Sedang 'tingkat pemikiran murni' (state of pure reason) yang
disebut di atas, di dalam agama Islam lebih dikenal dengan "tingkat
makrifat", "tingkat pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya
(al-Hikmah)" ataupun "tingkat pemahaman yang relatif sangat mendekati
kebenaran 'mutlak' milik Allah". Seluruh para nabi-Nya telah mencapai
tingkat pemahaman al-Hikmah, namun dengan tingkat kesempurnaannya
masing-masing (tingkat kelengkapan, kedalaman, dsb). Bahkan umat manusia
biasa juga bisa memperoleh 'al-Hikmah' ini, namun tidak memperoleh
'wahyu-Nya'. Karena seluruh al-Hikmah semestinya telah tersusun
sempurna, sebelum tiap al-Hikmah itu sendiri bisa disebut sebagai
'wahyu-Nya'. Baca pula uraian-uraian di bawah.
Pertanyaannya, "apakah memang ada hubungan
antara para nabi-Nya dan Allah, yang hanya bisa terjadi ketika para
nabi-Nya itu telah mencapai suatu 'tingkat pemahaman tertentu?".
Jawabannya "tidak ada". Dalam keadaan apapun, sama sekali tidak ada
hubungan khusus antara Allah, dengan seorang atau sekelompok manusia.
Pada dasarnya hanya ada 'tingkat kedekatan' antara pengetahuan manusia
tentang segala sesuatu hal di alam semesta ini, terhadap pengetahuan-Nya
yang terkait, yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal'. Sekaligus ada
'tingkat pengamalan' atas pengetahuan tersebut. Makin dekat atau sesuai
antara pengetahuan manusia dan pengetahuan-Nya, maka pengetahuan manusia
itu bisa disebut makin 'benar'.
Segala pengetahuan para nabi-Nya memang paling sempurna
dibandingkan seluruh umat manusia lainnya pada jamannya masing-masing
(relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling
bertentangan), terutama tentang segala hal yang paling mendasar, penting
dan hakiki dalam kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah).
Maka pada jamannya masing-masing, para nabi-Nya itu adalah orang-orang
yang paling memahami berbagai kebenaran-Nya di alam semesta ini,
sekaligus paling konsisten dalam mengamalkan segala pemahamannya itu.
Wahyu akal ini juga pada dasarnya sangat terkait dengan wahyu alam (pada poin
d
di bawah). Karena segala informasi batiniah yang tersedia untuk diolah
oleh akal, pada dasarnya pasti bersumber dari segala sesuatu hal di alam
semesta ini yang bisa ditangkap oleh semua alat indera lahiriah-fisik
pada tiap manusia.(mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dsb). Lalu
segala informasi lahiriah-fisik ini terkirim ke hati, sebagai alat
indera batniah pada ruh tiap manusia.
Namun di dalam hati, segala informasi lahiriah-fisik ini lalu
bercampur-baur pula dengan segala bentuk ilham (yang benar dan yang
sesat), yang diberikan oleh para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan
dan iblis), yang memang bertugas di alam batiniah ruh tiap manusia (alam
pikiran). Lalu segala informasi batiniah, yang tersusun dari segala
informasi hasil tangkapan alat-alat indera lahiriah-fisik dan segala
bentuk ilham para makhluk gaib, akhirnya bisa dipakai dan diolah oleh
akal, untuk menyusun tiap pengetahuan.
Namun sangat perlu diketahui pula, bahwa
segala informasi lahiriah-fisik dari hasil tangkapan alat-alat indera
lahiriah-fisik pada tiap manusia, justru memiliki nilai 'tingkat
kebenaran' yang relatif paling rendah (misalnya: hal-hal yang terlihat
bisa relatif berbeda daripada hal-hal yang sebenarnya), dan bahwa pasti
selalu bercampur-baur tiap saatnya antara ilham-ilham yang benar dan
ilham-ilham yang sesat dari para makhluk gaib. Sehingga pemakaian akal
secara relatif sangat maksimal dan obyektif sangat diperlukan, untuk
memperoleh pengetahuan yang bisa relatif sangat mendekati
pengetahuan-Nya yang terkait, yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal' di alam
semesta ini.
Sedang pengetahuan atau kebenaran milik
manusia, yang bisa mendekati pengetahuan atau kebenaran milik Allah,
adalah pengetahuan yang bisa mengungkap dengan tepat, tentang hal-hal
yang "pasti terjadi kapanpun", pada segala keadaan yang "persis sama"
(selain waktu). Pengetahuan ini tentunya bersifat 'universal'.
Hal yang paling penting tentunya, jika pengetahuan ini bisa
bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dalam menjawab atau mengatasi
segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalannya sehari-harinya,
terutama tentang segala hal yang paling mendasar, penting dan hakiki
dalam kehidupannya (hal-hal gaib dan batiniah).
Karena itulah di dalam Al-Qur'an, relatif
sangat banyak disebut anjuran-Nya agar umat Islam banyak memakai
akalnya, serta disebut pula berbagai kemuliaan bagi umat yang berakal
(mau memakai akalnya). Hal-hal semacam inipun tentunya justru dilakukan
pula oleh para nabi-Nya, untuk bisa memahami berbagai kebenaran-Nya
secara relatif sempurna (relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten,
utuh dan tidak saling bertentangan), terutama tentang segala hal yang
paling mendasar, penting dan hakiki dalam kehidupan umat manusia
(hal-hal gaib dan batiniah).
Dan tiap ajaran agama-Nya pada dasarnya pasti sesuai dengan
akal sehat manusia. Namun persoalannya ada pada tingkat kemampuan akal
tiap manusia yang sangat berbeda-beda (dari yang sangat berilmu sampai
yang sangat awam). Sehingga akal pada sebagian umat seolah-olah tidak
bisa menjangkau atau menalar berbagai ajaran agama-Nya, serta menganggap
ajaran-ajaran tersebut 'mustahil' bisa dinalar melalui akal (atau
mengtahayulkannya). Padahal jika umat-umat tersebut telah berilmu agama
relatif sangat tinggi, semestinya akalnya juga bisa menjangkau
ajaran-ajaran tersebut, serupa seperti halnya yang terjadi pada para
nabi-Nya.
Di samping wahyu alam, wahyu akal juga pada dasarnya sangat terkait dengan wahyu sistematik (pada poin g
di bawah). Karena segala wahyu-Nya atau pengetahuan tentang
kebenaran-Nya dalam dada-hati-pikiran para nabi-Nya, memang telah
tersusun secara relatif sempurna (relatif sangat lengkap, mendalam,
konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan), yang telah bisa
membentuk keimanan batiniah (pemahaman) yang sangat tinggi. Selain itu,
keimanan lahiriah mereka (pengamalan) juga sangat tinggi (sangat
konsisten dengan pemahamannya).
Sehingga segala pengetahuan tentang kebenaran-Nya pada para
nabi-Nya, dengan sendirinya juga telah tersusun dalam dada-hati-pikiran
mereka, secara sangat sistematik, terstruktur, saling terkait ataupun
sangat ilmiah. Tanpa adanya segala pengetahuan atau pemahaman semacam
ini, tentunya para nabi-Nya hampir mustahil bisa menjadi tokoh panutan,
yang bisa menjawab segala hal yang paling mendasar, penting dan hakiki
dalam kehidupan umat kaumnya, atau bahkan dalam kehidupan seluruh umat
manusia (hal-hal gaib dan batiniah).
Lalu bisa timbul pertanyaan seperti "apakah
umat manusia biasa saat ini (bukan para nabi-Nya), yang telah relatif
sangat tinggi ilmunya, juga bisa memperoleh wahyu akal?" atau "apakah
tiap al-Hikmah yang telah didapatkan oleh umat manusia biasa saat ini
(bukan para nabi-Nya), juga telah bisa disebut 'wahyu'".
Jawabannya jelas "tidak", karena 'wahyu' dan 'kenabian' adalah
suatu satu-kesatuan. Juga sesuatu hal hanya bisa disebut sebagai 'wahyu'
ataupun 'nabi', jika telah memenuhi berbagai persyaratan tertentu,
seperti yang telah dijelaskan pula pada uraian wahyu proposisional –
bukan lisan & tulisan (pada poin b di atas).
Sekali lagi, tiap wahyu-Nya yang berupa
al-Hikmah dalam dada-hati-pikiran para nabi-Nya, pada dasarnya bukan
sesuatu yang terpisah-pisah. Namun seluruh wahyu-Nya atau al-Hikmah,
justru satu-kesatuan yang membentuk suatu 'pemahaman kenabian', yaitu
keseluruhan pemahaman yang telah tersusun relatif sempurna (relatif
sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling
bertentangan), terutama tentang segala hal yang paling mendasar, penting
dan hakiki dalam kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah).
Maka seseorang yang telah memiliki keseluruhan pemahaman seperti itu
telah bisa disebut sebagai 'nabi-Nya', serta tiap pemahaman di dalamnya
(tiap al-Hikmah) ataupun tiap hasil pengungkapannya (tiap ayat al-Kitab)
juga telah bisa disebut sebagai 'wahyu-Nya'.
Namun begitu, sebagaimana keyakinan umat
Islam dan juga pada buku ini, bahwa wahyu dan kenabian telah berakhir
sejak wafatnya nabi Muhammad saw. Hal ini pada dasarnya terjadi secara
sangat alamiah, karena 'pemahaman kenabian' pada Nabi diyakini sebagai
pencapaian paling maksimal, yang bisa dicapai oleh seorang manusia dalam
memahami berbagai kebenaran-Nya, dan memang telah dicapai oleh Nabi
hampir sepanjang seluruh hidupnya. Sementara itu, kapasitas dan
kemampuan seseorang dalam memahami segala sesuatu halnya, terutama yang
paling mendasar, penting dan hakiki dalam kehidupannya, makin lama
justru relatif makin berkurang.
Sehingga hal-hal yang telah disampaikan atau diwariskan oleh
Nabi (kitab suci Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Nabi), adalah sumber
tuntunan dan pengajaran-Nya yang relatif paling lengkap dan sempurna,
milik dan bagi seluruh umat manusia.
Juga bisa timbul pertanyaan seperti "apakah
akal tidak bisa menjangkau dan menjelaskan hal-hal moral-batiniah-gaib,
yang justru paling banyak terdapat di dalam ajaran-ajaran agama-Nya?",
atau "apakah para nabi-Nya adalah orang-orang yang tidak waras, yang
menyampaikan hal-hal yang berada di luar jangkauan akal sehat manusia?",
atau "apakah ajaran-ajaran agama-Nya ada mengandung hal-hal
mistis-tahayul, yang 'mustahil' bisa dijelaskan melalui akal sehat?",
atau "apakah para nabi-Nya hanya menerima dan menyampaikan saja wahyu
yang diperolehnya, secara apa adanya, sama sekali tanpa memahami wahyu
itu sendiri dengan akalnya?".
Semua jawabannya jelas "tidak", karena segala sesuatu hal yang
'benar', termasuk hal-hal moral-batiniah-gaib dan berbagai kebenaran-Nya
lainnya yang telah disampaikan oleh para nabi-Nya, justru semestinya
memiliki segala dalil-hujjah-alasan dan segala penjelasannya, yang bisa
diterima oleh akal sehat manusia.
Persoalan umumnya justru terjadi, karena amat
sangat berragamnya tingkat pemahaman atau tingkat kemampuan akal tiap
umat, dalam memahami ajaran-ajaran agama-Nya, sehingga ada sebagian umat
yang justru menganggap, bahwa berbagai hal moral-batiniah-gaib di
dalamnya adalah hal-hal mistis-tahayul. Padahal hal-hal itu hanya
'sangat sulit' (bukan 'mustahil') untuk dijangkau oleh akal sebagian
umat.
Bahkan jika umat telah memiliki relatif banyak pengetahuan
fisik-lahiriah-nyata dan terutama lagi relatif banyak pengalaman
moral-batiniah-gaib, atas ijin-Nya, hampir semua ajaran-ajaran agama-Nya
justru semestinya bisa relatif sangat mudah pula dijelaskannya. Dan
bahkan agama Islam justru semestinya agama yang sangat rasional dan
universal, karena memang semestinya sesuai dengan segala kebenaran-Nya,
yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal' di seluruh alam semesta ini.
d. Wahyu alam (
natural)
Menurut pemahaman pada buku ini:
Secara ringkas : Bentuk wahyu ini alam 'ada' (diakui pada buku ini), tetapi dengan sejumlah catatan. Juga lebih dipilih wahyu akal. Bentuk wahyu ini tidak dikenal oleh sebagian besar umat Islam.
Sebagaimana uraian wahyu akal (pada poin c
di atas), maka bentuk wahyu alam ini pada puncaknya justru juga berubah
menjadi wahyu akal. Maka wahyu akal lebih dipakai dan diakui pada buku
ini daripada wahyu alam. Juga lingkup cakupan wahyu akal relatif jauh
lebih luas daripada wahyu alam ini, karena tingkat kebenaran informasi
yang diperoleh dari mempelajari alam fisik-lahiriah-nyata, umumnya
relatif lebih rendah nilainya daripada tingkat kebenaran informasi dari
hasil olahan akal, yang dipakai secara relatif sangat maksimal, obyektif
dan mendalam.
Akal juga bisa menjangkau berbagai hal yang tersembunyi,
terkandung atau tersirat jauh di balik hal-hal fisik-lahiriah-nyata,
termasuk hal-hal moral-batiniah-gaib, yang justru paling mendasar,
penting dan hakiki di dalam kehidupan umat manusia, serta paling banyak
terdapat dalam ajaran-ajaran agama-Nya.
Juga sebagaimana halnya wahyu akal (pada poin c di atas), bahwa bentuk wahyu alam ini sama sekali tidak dikenal dalam agama Islam.
Sangat penting diketahui, bahwa alam semesta
dan segala isinya ini secara umum bisa dikelompokkan menjadi berbagai
hal, antara-lain: fisik dan moral, lahiriah dan batiniah, nyata dan
gaib, material dan spiritual, zat dan non-zat, dsb. Dimana hal-hal
fisik-lahiriah-nyata adalah hal-hal yang relatif mudah ditangkap secara
langsung ataupun tidak, dengan alat-alat indera fisik-lahiriah manusia
(mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dsb), sedang sebaliknya dengan
hal-hal moral-batiniah-gaib.
Sehingga pengetahuan tentang hal-hal fisik-lahiriah-nyata itu
juga menjadi relatif mudah diperoleh, dengan mempelajari berbagai
ilmu-pengetahuan fisik-empirik-teoretis. Sebaliknya pengetahuan tentang
hal-hal moral-batiniah-gaib justru relatif jauh lebih banyak hanya
diperoleh, dengan merasakan atau menjalani langsung berbagai pengalaman
moral-batiniah-gaib.
Dengan relatif lebih sedikitnya hal-hal
fisik-lahiriah-nyata yang disebut dalam ajaran-ajaran agama-Nya, jika
dibandingkan dengan hal-hal moral-batiniah-gaib, yang memang paling
mendasar, penting dan hakiki dalam kehidupan umat manusia, maka lingkup
cakupan wahyu alam dalam kitab-kitab-Nya juga relatif sedikit dan
terbatas.
Namun di dalam ajaran-ajaran agama-Nya justru relatif banyak
anjuran-Nya, agar umat Islam memperhatikan, mengamati, mencermati,
meneliti, mempelajari dan memahami tanda-tanda kemuliaan dan
kekuasaan-Nya di alam semesta ini, termasuk karena sebagian besar dari
hal-hal moral-batiniah-gaib tersebut memang tersembunyi, terkandung atau
tersirat di balik hal-hal fisik-lahiriah-nyata di alam semesta ini.
Segala perbuatan-Nya di alam semesta ini (melalui sunatullah) misalnya,
relatif lebih mudah bisa dipahami dengan mempelajari hal-hal
fisik-lahiriah-nyata, karena memang lebih mudah dilihat, diukur ataupun
diuji. Padahal sunatullah itu sendiri hal yang gaib.
Sebagaimana uraian wahyu proposisional − lisan & tulisan dan wahyu akal (pada poin
a dan poin
c
di atas), maka pada dasarnya 'tidak ada' teks atau kitab suci yang
diturunkan oleh Allah, secara langsung dan proposisional (tersusun apa
adanya). Namun segala wahyu-Nya justru ada mengalami serangkaian
transformasi perubahan bentuk, dari bentuk awalnya yang langsung dari
Allah, sampai bentuk akhirnya yang biasa dikenal oleh umat manusia
(ayat-ayat kitab-kitab-Nya),
Juga proses turunnya segala wahyu-Nya justru melalui serangkaian media
atau perantara, antara-lain: alam semesta ini, alat-alat indera
fisik-lahiriah para nabi-Nya, hati para nabi-Nya, para makhluk gaib
(termasuk malaikat Jibril), akal para nabi-Nya, hati-nurani para
nabi-Nya, mulut para nabi-Nya, dan alat-alat tulis bagi kitab-Nya. Maka
memang 'tidak ada' teks atau kitab suci yang diturunkan 'langsung' dari
Allah.
Namun satu-satunya ukuran bahwa segala sesuatu pengetahuan memang
berasal dari Allah, yaitu pengetahuan itu 'benar' (relatif sangat sesuai
atau mendekati kebenaran atau pengetahuan-Nya yang bersifat 'mutlak'
dan 'kekal' di seluruh alam semesta ini), yang bisa diperoleh
dengan.mempelajari alam semesta ini, secara relatif sangat obyektif dan
mendalam.
Sehingga bagaimanapun, dari siapapun dan dari kitab apapun
pengetahuan yang 'benar' itu diperoleh, sumbernya pasti hanya semata
berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pencipta, Maha Kuasa dan
Maha Benar. Maka kitab-kitab-Nya yang ditulis berdasarkan segala
pemahaman para nabi-Nya, pada dasarnya juga pasti berasal dari Allah.
Karena dalam kitab-kitab-Nya memang keseluruhannya terkandung
pengetahuan tentang kebenaran-Nya, yang tersusun relatif sempurna
(relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling
bertentangan), terutama tentang segala hal yang paling mendasar, penting
dan hakiki dalam kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah).
e. Wahyu sejarah (
historical faith development)
Wahyu sejarah adalah wahyu yang berupa hasil
pemahaman atas berbagai kebenaran tentang Tuhan, yang bisa diperoleh
dengan mempelajari 'sejarah', karena kehendak Tuhan Yang Maha Gaib hanya
bisa terungkap ketika terjadi interaksi antara Tuhan dan manusia
melalui 'sejarah'.
Bentuk wahyu sejarah ini diyakini oleh sebagian
umat Yahudi, yang justru menganggap bahwa sejarah perkembangan budaya
hukum bangsa Yahudi adalah sesuatu bentuk wahyu (perwujudan kehendak
Tuhan).
Menurut pemahaman pada buku ini:
Secara ringkas : Bentuk wahyu sejarah ini 'tidak ada' (tidak diakui pada buku ini). Bentuk wahyu ini tidak dikenal oleh sebagian besar umat Islam.
Bentuk wahyu sejarah ini pada dasarnya 'tidak
ada', serta juga sama sekali tidak dikenal dalam agama Islam. Wahyu
sejarah ini hanya tepat disebutkan sebagai 'produk budaya' sesuatu
masyarakat tertentu secara 'kolektif', namun bukan sebagai 'wahyu-Nya'.
Wahyu-Nya hanya muncul dari segala pemahaman yang telah tersusun relatif
sempurna (relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak
saling bertentangan), yang membentuk 'keyakinan pribadi' yang sangat
kuat pada seorang nabi-Nya, tentang segala kebenaran-Nya. Sebaliknya
wahyu-Nya sama sekali bukan muncul dari 'keyakinan kolektif' pada
sesuatu masyarakat tertentu.
Bahwa kehendak Allah sama sekali berbeda
daripada kehendak sesuatu masyarakat ataupun seseorang manusia. Kehendak
Allah justru bersifat 'mutlak' dan 'kekal', serta berlaku 'universal'
bagi keseluruhan alam semesta ini. Sedang kehendak masyarakat atau
manusia justru bersifat 'relatif' dan 'fana' (sementara), serta berlaku
'terbatas' dan 'temporer' bagi masyarakat atau manusianya itu sendiri.
Begitu pula, kehendak Allah bukan berupa penentuan 'keadaan'
lahiriah dan batiniah pada tiap zat ciptaan-Nya tiap saatnya, tetapi
justru berupa segala aturan atau rumus proses kejadian, yang bersifat
'mutlak' dan 'kekal', yang mengatur proses perubahan 'keadaan' lahiriah
dan batiniah pada tiap zat ciptaan-Nya tiap saatnya. Di lain pihaknya,
tiap zat makhluk-Nya justru bisa berusaha mengubah-ubah berbagai
keadaannya (lahiriah dan batiniah), sebelum aturan-Nya menentukan segala
keadaan akhirnya (lahiriah dan batiniah), yang pasti setimpal sesuai
dengan usaha yang telah dilakukannya tiap saatnya.
Dengan sendirinya, sejarah perkembangan agama, keyakinan,
keadaan dan budaya sesuatu masyarakat, sama sekali bukan bagian dari
Kehendak Allah. Padahal masyarakat itu tiap saatnya juga diberikan-Nya
kebebasan untuk bisa mengubah-ubah berbagai keadaannya sendiri.
Lalu timbul pertanyaan seperti "adakah
interaksi antara Allah dan manusia melalui 'sejarah'". Jawabannya jelas
"tidak ada". Allah tidak mengurusi tiap zat ciptaan-Nya satu-per-satu
(tiap benda, makhluk/manusia, masyarakat, dsb), tetapi Allah justru
mengurusi segala zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta, secara 'sama',
'seragam' dan 'adil', melalui aturan-Nya atau sunatullah, yang bersifat
'mutlak' dan 'kekal', serta berlaku sesuai dengan segala keadaan tiap
zat ciptaan-Nya tiap saatnya (dari hasil usaha tiap zat itu sendiri,
ataupun dari hasil interaksinya dengan zat-zat lainnya di lingkungan
sekitarnya, tiap saatnya).
Sedang interaksi antara Allah dan manusia, justru hanya terjadi
secara tak-langsung, dan hanya melalui alam semesta ini (atau melalui
segala zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini).
Betul, bahwa di dalam kitab-kitab-Nya memang ada
disebut tentang sejarah atau kisah umat-umat terdahulu, namun bukan
berarti 'wahyu-Nya' adalah 'sejarah' itu sendiri. Wahyu-Nya yang terkait
justru berupa berbagai pelajaran positif, yang bisa diambil 'di balik'
sejarah atau kisah tersebut, bagi kebaikan umat-umat berikutnya.
Bahkan sejarah atau kisah tersebut justru kebanyakan
menceritakan tentang kehidupan umat-umat terdahulu yang memang penuh
dengan kemusyrikan, kekafiran, kezaliman, kemungkaran, kebatilan, dsb,
yang semestinya dihindari. Dan bahkan lebih khususnya lagi kisah tentang
umat Yahudi, yang memang banyak melakukan hal-hal yang sangat
berlebihan atau melampaui-batas, yang sangat dilaknat oleh Allah.
Wahyu eksistensialis adalah wahyu yang berupa
hasil tanggapan seorang nabi terhadap Tuhan, ketika ia terinspirasi
oleh Tuhan, yang sedang berhubungan, berinkarnasi atau menyatu dengan
dirinya.
Bentuk wahyu eksistensialis ini diyakini oleh
sebagian umat Kristiani, yang menganggap bahwa esensi Tuhan telah
berinkarnasi, menyatu, bereksistensi atau mewujud ke dalam tubuh Yesus
Kristus (nabi Isa as).
Menurut pemahaman pada buku ini:
Secara ringkas : Bentuk wahyu eksistensialis ini 'tidak ada' (tidak diakui pada buku ini). Bentuk wahyu ini tidak dikenal oleh sebagian besar umat Islam.
Bentuk wahyu eksistensialis ini pada dasarnya
'tidak ada', serta sama sekali tidak dikenal dalam agama Islam. Wahyu
eksistensialis inipun pada dasarnya hanya diyakini oleh umat-umat agama
yang menganut 'kemusyrikan' (menyembah Tuhan selain Allah, atau
mempersekutukan Allah).
Begitu pula, sama sekali tidak dikenal dalam
agama Islam, tentang adanya proses eksistensi, inkarnasi, penyatiuan
atau perwujudan esensi zat Allah, ke dalam tubuh zat-zat ciptaan-Nya.
Zat Allah Yang Maha Suci justru tersucikan dari segala sesuatu halnya,
termasuk mustahil bisa dijangkau oleh segala alat indera lahiriah dan
batiniah zat makhluk-Nya (mata, telinga, hidung, lidah, kulit, akal,
hati, dsb), serta Zat Allah juga mustahil berbuat seperti halnya segala
zat makhluk-Nya.
Sebagaimana uraian wahyu sejarah dan wahyu akal (pada poin e dan poin c di atas), maka sama sekali tidak ada interaksi
secara khusus antara Allah dan sesuatu zat ciptaan-Nya (termasuk para
nabi-Nya). Sedang interaksi antara Allah dan sesuatu zat ciptaan-Nya,
justru hanya terjadi secara tak-langsung, dan hanya melalui alam semesta
ini (atau melalui segala zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini). Bahkan kekhususan ataupun keistimewaan pada
para nabi-Nya, juga sama sekali bukan karena Allah telah memberi
perlakuan khusus ataupun berlaku pilih-kasih kepada mereka. Tetapi
justru hal itu bisa mereka peroleh, karena mereka sendiri telah berusaha
sangat keras dan setimpal, dalam mencapainya. Tentunya Allah Yang Maha
Adil, pasti memberi segala bentuk balasan-Nya yang setimpal (hukuman dan
nikmat-Nya, lahiriah dan batiniah), atas tiap usaha tiap zat
makhluk-Nya, 'tiap saatnya'.
Proses perolehan segala pengetahuan para
nabi-Nya tentang kebenaran-Nya, sama sekali tidak memerlukan adanya
interaksi khusus antara Allah dan para nabi-Nya. Bahkan sama sekali
tidak memerlukan adanya proses eksistensi, inkarnasi, penyatiuan atau
perwujudan esensi zat Allah, ke dalam tubuh para nabi-Nya.
Sangat sederhana, ukuran bahwa sesuatu pengetahuan memang
berasal dari Allah, yaitu pengetahuan itu 'benar' (relatif sangat sesuai
atau sangat mendekati pengetahuan atau kebenaran-Nya yang bersifat
'mutlak' dan 'kekal' di seluruh alam semesta ini), yang bisa diperoleh
dengan.mempelajari alam semesta ini, secara relatif sangat obyektif dan
mendalam. Baca pula uraian wahyu alam (pada poin d di atas).
Walau memang ada berbagai persyaratan tertentu, agar tiap
pengetahuan pantas disebut sebagai 'wahyu-Nya'. Baca pula uraian Wahyu
proposisional – lisan & tulisan, Wahyu proposisional – bukan lisan
& tulisan dan wahyu akal (pada poin a, poin b dan poin c di atas).
Bentuk wahyu eksistensialis yang relatif hanya
diyakini oleh umat Kristiani, justru melahirkan banyak hal
mistis-tahayul dalam ajaran-ajaran agamanya. Misalnya umat Kristiani
harus mempercayai doktrin 'Trinitas' (tiga esensi Tuhan, di dalam satu
wujud eksistensi), tanpa boleh mempertanyakan bagaimana nalar-logikanya.
Begitu pula berbagai "rahasia ilahi" lainnya yang harus dipercayai
secara dogmatis.
Wahyu sistematik adalah wahyu yang berupa
hasil formulasi filosofis dan sistematik, yang masuk akal dan bisa
diterapkan bagi berbagai dasar ajaran agama, dengan memperhitungkan
teks-teks suci, sejarah, filosofi, ilmu-pengetahuan, etika, dsb, untuk
bisa mencapai pendekatan filosofis yang utuh dan lengkap.
Bentuk wahyu sistematik ini diyakini oleh sebagian
umat Kristiani, terutama dalam menjelaskan tentang konsep 'Trinitas' dan
'Inkarnasi'.
Menurut pemahaman pada buku ini:
Secara ringkas : Bentuk wahyu sistematik ini 'ada' (diakui pada buku ini), tetapi dengan sejumlah catatan. Juga lebih dipilih wahyu akal. Bentuk wahyu ini tidak dikenal oleh sebagian besar umat Islam.
Sebagaimana uraian wahyu akal (pada poin c
di atas), maka bentuk wahyu sistematik ini pada puncaknya justru juga
berubah menjadi wahyu akal. Maka wahyu akal lebih dipakai dan diakui
pada buku ini daripada wahyu sistematik. Walau sebagaimana halnya wahyu akal, wahyu sistematik ini juga sama sekali tidak dikenal dalam agama Islam.
Aspek sistematik dan kelengkapan dari
wahyu-wahyu-Nya dalam kitab suci Al-Qur'an, sekilas bisa mudah diketahui
dari banyaknya bidang ilmu yang tercakup di dalamnya, antara-lain:
fisika, kimia, biologi, aljabar, astronomi, kosmologi, kedokteran,
pertanian, geografi, psikologi, etika, filsafat, sejarah, politik,
budaya, dsb. Walau begitu memang relatif sangat terbatas, serta kurang
detail dan mendalam pengungkapannya (hanya garis besarnya saja), sesuai
dengan tingkat perkembangan ilmu-pengetahuan umat manusia pada saat
penyampaian Al-Qur'an itu sendiri.
Namun lebih penting lagi, justru segala
pengetahuan tentang hal-hal gaib dan batiniah di dalamnya, yang memang
paling mendasar, penting dan hakiki dalam kehidupan umat manusia, serta
paling banyak terdapat dalam ajaran-ajaran agama-Nya, yang telah
tersusun secara relatif sempurna (relatif sangat lengkap, mendalam,
konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan). Pengetahuan tentang
hal-hal gaib dan batiniah inilah yang membentuk keyakinan umat manusia,
tentang Pencipta, hakekat dan tujuan penciptaan alam semesta,
jenis-jenis zat ciptaan-Nya, Hari Kiamat, dsb.
Sehingga segala pengetahuan tentang kebenaran-Nya pada para
nabi-Nya (terutama nabi Muhammad saw), dengan sendirinya juga telah
tersusun dalam dada-hati-pikiran mereka, secara relatif sangat
sistematik, terstruktur, saling terkait ataupun sangat ilmiah, sesuai
perkembangan jamannya masing-masing.
Sekali lagi, sebagaimana uraian wahyu akal (pada poin
c
di atas), bahwa wahyu dan kenabian telah berakhir sejak wafatnya nabi
Muhammad saw, yang justru terjadi secara sangat alamiah. Sedang wahyu
dan kenabian itu sendiri justru memiliki berbagai persyaratan tertentu,
walaupun hanya bersifat 'semu' (tidak ada sesuatu hal yang
menyaratkannya). Berbagai persyaratan itu hanya sekedar untuk
menunjukkan perlu terpenuhinya tingkat kesempurnaan tertentu atas
sesuatu wahyu, yang justru sangat berpengaruh kepada tingkat kemantapan
keyakinan umat manusia atas tingkat kebenarannya (jika diabaikan, secara
alamiah wahyu itu sendiri menjadi relatif mudah digoyahkan, diragukan,
diabaikan ataupun ditinggalkan).
Dan secara alamiah pula, hampir mustahil ada umat-umat manusia
pada saat ini ataupun setelah wafatnya Nabi, yang bisa memperoleh
'wahyu-Nya', serta bisa disebut sebagai 'nabi-Nya'. Paling maksimalnya,
umat-umat manusia pada saat ini hanya bisa memperoleh berbagai hikmah
dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah), sebagai pemahaman yang relatif
paling tinggi dan benar tentang "hal-hal tertentu".
Semua bentuk wahyu pada tabel di atas, pada
dasarnya sama sekali tidak ada yang betul-betul persis sama, karena memang tidak menunjukkan proses transformasi perubahan
bentuk wahyu, sejak dari bentuk awalnya yang langsung dari Allah, sampai
ke bentuk akhirnya yang biasa dikenal oleh umat manusia saat ini
(ayat-ayat kitab-kitab-Nya), seperti yang terrangkum pada tabel di
bawah. Sedang semua bentuk wahyu pada tabel di atas,
pada dasarnya hanya menunjukkan secara ringkas dan langsung, 'darimana'
seorang manusia (nabi-Nya) bisa memperoleh wahyu, sehingga relatif
kurang bisa menjelaskan proses perolehan yang sebenarnya. Juga wahyu
yang diperoleh para nabi-Nya, dianggap 'persis sama' dengan wahyu yang
telah mereka ungkapkan atau sampaikan.
Dari semua bentuk wahyu pada tabel di atas, hanya
diyakini pada buku ini adanya wahyu akal, wahyu alam dan wahyu
sistematik, karena semuanya relatif cukup mendekati wahyu jenis ke-3
(hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, al-Hikmah) karena pada wahyu
jenis ke-3 tersebut, tiap al-Hikmah hanya bisa disebut sebagai
'wahyu-Nya', jika keseluruhan al-Hikmah yang bisa dipahami oleh
seseorang, telah bisa tersusun relatif sempurna di dalam pikirannya
(relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling
bertentangan), terutama tentang segala hal yang paling mendasar, penting
dan hakiki dalam kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah). Di samping itu pula, wahyu jenis ke-3
tersebut dianggap hanya tetap tersimpan di dalam pikiran pemilik
pengetahuannya sendiri, atau sama sekali belum disampaikan atau
diungkapkan kepada orang lain, melalui lisan, tulisan, sikap dan contoh
perbuatan. Hal ini dipisahkan, terutama karena sedikit-banyak ada
perbedaan antara tiap pemahaman dalam pikiran dan bentuk
pengungkapannya, akibat keterbatasan pada bahasa lisan, bahasa tulisan
ataupun bahasa tubuh. Sedangkan aspek kesempurnaan dan aspek
pengungkapan itu kurang diperhatikan pada semua bentuk wahyu pada tabel
di atas.
Sementara itu, sebagian besar umat Islam pada
dasarnya hanya meyakini adanya "wahyu proposisional – lisan &
tulisan" dan "wahyu proposisional – bukan lisan & tulisan" (pada
poin a dan poin b tabel di atas), walau istilah-istilahnya sendiri barangkali kurang dikenal.
Hal ini bisa terjadi, karena sebagian besar
umat Islam memang sangat mempertentangkan antara akal dan wahyu (akal
dan agama), atau mereka sama sekali mengabaikan peranan akal para
nabi-Nya, di dalam proses turunnya wahyu. Terutama karena hampir tidak
adanya penjelasan yang lengkap dan mendalam dari para alim-ulama,
tentang bagaimana proses turunnya wahyu, sejak dari bentuk awalnya yang
langsung dari Allah, sampai bentuk akhirnya yang biasa dikenal oleh umat
manusia saat ini (ayat-ayat kitab-kitab-Nya), termasuk tentang proses
penyampaian wahyu dari malaikat Jibril kepada para nabi-Nya.
Penting pula untuk diperhatikan kembali,
bahwa wahyu pada dasarnya hanya bisa diperoleh para nabi-Nya, serta
wahyu justru telah berakhir secara alamiah sejak setelah wafatnya nabi
Muhammad saw, sebagai nabi-Nya yang terakhir. Terutama karena wahyu dan
kenabian memang satu-kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, serta
masing-masingnya memang ada memiliki berbagai persyaratan tertentu, yang
secara alamiah telah hampir mustahil bisa dicapai oleh umat manusia
biasa lainnya, sampai saat ini.
Sehingga pada saat ini dan bahkan sampai akhir jaman, secara alamiah
pada dasarnya telah tidak ada lagi 'wahyu baru' ataupun 'nabi baru'.
Maka adanya pengelompokan bentuk wahyu pada tabel di atas, sama sekali
bukan untuk menunjukkan kemungkinan adanya 'wahyu baru' ataupun 'nabi
baru' tersebut, namun hanya sebagai alat analisis dan perbandingan
pemahaman umat atas wahyu-wahyu-Nya yang ada.
Menurut sifatnya, wahyu bisa dikelompokkan menjadi:
a. Wahyu progresif (
progressive revelation)
Wahyu dianggap bersifat progresif (maju),
karena wahyu-wahyu-Nya yang diturunkan kemudian, dianggap relatif lebih
lengkap jika dibandingkan dengan wahyu-wahyu-Nya sebelumnya.
Termasuk wahyu-wahyu-Nya dianggap diturunkan secara siklis
(berulang), berkesinambungan dan bahkan tidak pernah berhenti, dari
waktu ke waktu melalui serangkaian para nabi-Nya. Serta ajaran-ajaran
agama-Nya dianggap tersusun makin lengkap, sesuai dengan kebutuhan waktu
dan tempat kemunculannya.
Wahyu progresif diyakini oleh sebagian umat Kristiani dan umat Baha'i.
Menurut pemahaman pada buku ini:
Secara ringkas : Sifat wahyu progresif ini 'ada' (diakui pada buku ini), tetapi dengan sejumlah catatan. Juga bersifat terbatas dan alamiah. Sifat wahyu ini diyakini secara terbatas oleh sebagian umat Islam.
Diyakini pada buku ini bahwa wahyu bersifat
progresif terbatas dan alamiah, karena kesempurnaan dan kelengkapan
wahyu-wahyu-Nya memang makin meningkat secara alamiah, sesuai dengan
perkembangan kemajuan pengetahuan umat manusia. Sehingga wahyu justru
tidak bersifat siklis (berulang), yang bisa mudah diketahui dari
saat-saat kemunculan para nabi-Nya, yang bersifat sangat random atau
acak.
Walaupun memang harus diakui, bahwa jumlah para nabi-Nya sebenarnya
justru tak-terhitung (tidak hanya 25 orang, yang telah biasa dikenal).
Juga wahyu tidak bersifat berkesinambungan, yang bisa mudah
diketahui dari terputusnya kenabian pada berbagai saat, selama beberapa
tahun dan bahkan beberapa abad. Misalnya: nabi Isa as dan nabi Muhammad
saw yang terpisah selama 5 abad, nabi Musa as dan nabi Daud as yang
terpisah selama 4 abad lebih, nabi Nuh as dan nabi Hud as yang terpisah
selama 5 abad lebih, dsb. Dan sekali lagi, proses turunnya wahyu dan
kenabian justru berlangsung secara sangat alamiah.
Baca pula uraian wahyu kontinu (pada poin b di bawah), tentang bantahan lainnya atas wahyu yang bersifat kontinu (berkesinambungan) dan siklis (berulang).
Juga wahyu pasti berhenti secara alamiah pada
suatu saat tertentu, karena ada keterbatasan kapasitas dan kemampuan
seorang manusia di dalam memahami segala hal yang paling mendasar,
penting dan hakiki dalam kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan
batiniah), di samping keterbatasan dalam melayani seluruh umatnya,
sebagai salah-satu syarat dan kewajiban seorang nabi-Nya. Padahal di
lain pihaknya, perkembangan seluruh aspek kehidupan umat manusia relatif
pasti terus-menerus makin meningkat, bersama berjalannya waktu.
Padahal konteks wahyu hanya terkait dengan kesempurnaan
keimanan atau keyakinan 'pribadi' seorang manusia tentang segala
kebenaran-Nya, secara batiniah (pemahaman) ataupun lahiriah
(pengamalan), serta sama sekali bukan terkait dengan keyakinan
'kolektif' dua orang, sekelompok orang ataupun suatu masyarakat. Padahal
kesempurnaan keyakinan kolektif relatif jauh lebih rendah daripada
keyakinan pribadi, karena makin banyak orang, relatif makin banyak pula
perbedaan tingkat pemahaman dan pengamalan antar masing-masingnya.
Dan telah diyakini oleh seluruh umat Islam,
bahwa wahyu-wahyu-Nya pada nabi Muhammad saw, yang telah disampaikannya
dalam kitab suci Al-Qur'an, adalah paling sempurna dibandingkan pada
seluruh nabi-Nya lainnya, serta nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir
bagi seluruh umat manusia.
Lebih lanjut lagi, segala bentuk pengetahuan di dalam pikiran
tiap manusia biasa (selain para nabi-Nya), tidak pernah disebut sebagai
'wahyu-Nya', tetapi disebut sebagai 'al-Hikmah' atau 'pemahaman'. Sedang
hasil pengungkapannya secara relatif sederhana, ringkas,
praktis-aplikatif dan aktual, disebut sebagai 'ijtihad', yang biasa
dihasilkan sesuai dengan segala perkembangan keadaan, kebutuhan,
tantangan dan persoalan umat manusia pada tiap jamannya, terutama
melalui majelis alim-ulama, agar ajaran-ajaran agama-Nya bisa tetap
aktual sampai akhir jaman.
Sifat wahyu yang progresif terbatas di atas
(berkembangnya hanya sampai saat wafatnya nabi Muhammad saw), pada
dasarnya berlangsung secara alamiah, sesuai dengan batas kapasitas dan
kemampuan manusiawi seorang manusia (nabi-Nya), perkembangan seluruh
aspek kehidupan umat manusia, serta sesuai dengan tingkat kemantapan
keyakinan umat manusia atas sesuatu wahyu, yang secara semu menyaratkan
ada terpenuhinya tingkat kesempurnaan tertentu (jika diabaikan, secara
alamiah wahyunya menjadi relatif mudah digoyahkan, diragukan, diabaikan
ataupun ditinggalkan).
b. Wahyu kontinu (
continuous revelation)
Wahyu dianggap bersifat kontinu, karena
wahyu-wahyu-Nya dianggap terus-menerus diturunkan-Nya, untuk bisa
mengungkapkan segala prinsip dan perintah ilahi untuk kemanusiaan.
Wahyu kontinu ini terkadang dianggap bersesuaian dengan wahyu progresif (pada poin a di atas). Juga wahyu kontinu terkadang dianggap tanpa harus melalui kitab suci dan para nabi-Nya.
Wahyu kontinu diyakini oleh sebagian umat Kristiani, umat Taoisme, umat Baha'i, umat Ahmadiah, dsb.
Menurut pemahaman pada buku ini:
Secara ringkas : Sifat wahyu kontinu ini 'tidak ada' (tidak diakui pada buku ini). Sifat wahyu ini diyakini secara terbatas oleh sebagian umat Islam.
Sebagaimana uraian wahyu progresif (pada poin a di atas), bahwa wahyu bersifat alamiah, yang justru tidak sesuai dengan sifat kontinu.
Memang betul, bahwa wahyu adalah suatu bentuk
pengetahuan, dan proses perolehan wahyu pada para nabi-Nya pada
dasarnya justru 'persis sama' dengan proses perolehan segala pengetahuan
pada tiap umat manusia biasa lainnya, yang dilakukan secara relatif
sangat obyektif, dari hasil mempelajari segala sesuatu hal di seluruh
alam semesta ini (lahiriah dan batiniah). Padahal hakekat pengetahuan
pada dasarnya hasil usaha untuk mengungkap kebenaran di alam semesta
ini, yang bisa 'mendekati' kebenaran atau pengetahuan-Nya, yang bersifat
'mutlak' dan 'kekal'.
Sehingga proses perolehan pengetahuan memang berlangsung
kontinu tiap saatnya, selama manusia memanfaatkan akalnya, ataupun
bahkan juga saat manusia relatif sedang 'tidak berpikir' sama sekali
(saat melongo, melamun, mimpi, mengantuk, dsb). Hal terakhir ini bisa
terjadi, karena tiap saatnya para makhluk gaib yang bertugas di alam
batiniah ruh tiap manusia (alam pikiran), memang selalu memberi
manusianya segala bentuk ilham, yang positif-benar-baik dan yang
negatif-sesat-buruk. Dalam Al-Qur'an, ilham ini lebih dikenal sebagai
'suara bisikan' yang amat sangat halus dari para makhluk gaib, walau
pada dasarnya bukan hanya berupa 'suara'.
Namun begitu, wahyu berbeda daripada
pengetahuan biasa, karena wahyu memiliki berbagai persyaratan tertentu.
Bahwa tiap pengetahuan hanya bisa disebut sebagai 'wahyu', jika
keseluruhan pengetahuan yang bisa dipahami oleh seseorang, telah
tersusun relatif sempurna di dalam pikirannya (relatif sangat lengkap,
mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan), khususnya
tentang segala hal yang paling mendasar, penting dan hakiki dalam
kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah). Selain berbagai
persyaratan tersebut juga masih perlu ditambah lagi dengan berbagai
persyaratan 'kenabian', yang menyangkut pemilik pengetahuannya sendiri
Semua persyaratan tersebut pada dasarnya diperlukan untuk bisa menjamin
tingkat kesempurnaan wahyu (tingkat kelengkapan, kedalaman, keutuhan,
kebenaran, konsistensi, dsb), sebagai pengetahuan tentang kebenaran-Nya,
atau sebagai sumber tuntunan dan pengajaran-Nya bagi seluruh umat
manusia. Dengan adanya berbagai persyaratan itu, maka dengan sendirinya
proses perolehan wahyu menjadi tidak bisa berlangsung kontinu, namun
sekali lagi, tetap berlangsung secara sangat alamiah.
Sifat alamiah ini bisa terjadi, terutama karena semua
persyaratan tersebut memang hanya bersifat 'semu' (tidak ada sesuatu hal
yang menyaratkannya). Namun hanya sekedar untuk menunjukkan perlu
terpenuhinya tingkat kesempurnaan tertentu atas sesuatu wahyu, yang
justru bisa sangat berpengaruh kepada tingkat kemantapan keyakinan umat
manusia atas tingkat kebenarannya (jika diabaikan, wahyunya sendiri
relatif mudah tergoyahkan, diragukan, diabaikan ataupun ditinggalkan).
Dengan sangat diperlukannya kesempurnaan suatu wahyu (bersama−sama
dengan seluruh wahyu lainnya yang telah diperoleh, sebagai
satu-kesatuan), maka wahyu semestinya hanya disampaikan oleh seorang
'nabi-Nya', ataupun semestinya hanya melalui suatu 'kitab suci', sebagai
rangkuman lengkap atas sekumpulan besar wahyu pada seorang nabi-Nya, di
samping dilengkapi pula dengan 'sunnah-sunnah' dari nabi-Nya yang
terkait (lisan, tulisan, sikap dan contoh-perbuatan), sebagai bentuk
penjelasan dan contoh pengamalan lansung atas ayat-ayatnya.
Jika wahyu hanya disampaikan satu-per-satu (tanpa dari
'nabi-Nya' sendiri ataupun tanpa dari 'kitab suci'), sedang tanpa ada
segala penjelasan yang lengkap, berikut segala wahyu lainnya yang
terkait dan segala penjelasannya, maka wahyu itu sendiri bisa kehilangan
maknanya, karena umat bisa makin berkurang keyakinannya atas wahyu
tersebut. Padahal umat memerlukan wahyu, justru untuk bisa memperoleh
segala jawaban atas segala aspek dalam kehidupannya sehari-hari (segala
keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalannya), terutama segala hal
yang paling mendasar, penting dan hakiki (hal-hal gaib dan batiniah).
c.
Wahyu umum (
general revelation)
Wahyu dianggap bersifat umum, karena
wahyu-wahyu-Nya dianggap sangat mengacu kepada aspek universalitas
tentang Tuhan, pengetahuan-Nya dan hal-hal spiritual lainnya, yang
dianggap pasti bisa ditemukan melalui cara-cara alami, seperti:
pengamatan alam fisik, ilmu filsafat, penalaran, hati-nurani, kebaikan
ataupun sejarah takdir manusia.
Sehingga Tuhan dianggap tidak menggunakan kata-kata ataupun
tindakan tertentu, tetapi bersifat lebih umum atau mencakup segala
kejadian yang terjadi dalam penciptaan, hati-nurani dan sejarah.
Juga karya dan keberadaan Tuhan dianggap bisa diketahui oleh manusia, walau hanya secara tak-langsung.
Wahyu umum ini dianggap berkebalikan dengan wahyu khusus (dalam kitab suci atau mu'jizat dari para nabi-Nya, pada poin d di bawah) ataupun wahyu langsung (hasil komunikasi langsung antara Tuhan dan para nabi-Nya, pada poin e di bawah).
Wahyu umum terutama diyakini oleh sebagian umat Kristiani.
Menurut pemahaman pada buku ini:
Secara ringkas : Sifat wahyu umum ini 'ada' (diakui pada buku ini), tetapi dengan sejumlah catatan. Juga bersifat universal. Sifat wahyu ini tidak dikenal oleh sebagian besar umat Islam.
Pada tingkat pemahaman hakekatnya (sesuai
makna yang sebenarnya 'di balik' teksnya), wahyu mestinya memang
bersifat 'umum' dan 'universal'. Wahyu juga diperoleh secara 'alamiah',
karena memang 'persis sama' dengan proses perolehan segala bentuk
pengetahuan lainnya. Namun wahyu berbeda daripada pengetahuan biasanya,
hanya pada 'tingkat kesempurnaan' pengetahuannya sendiri (relatif sangat
lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, atas
keseluruhan wahyu yang telah dipahami oleh seorang nabi-Nya) dan pada
'tingkat kepentingannya' (mengandung segala hal yang paling mendasar,
penting dan hakiki dalam kehidupan umat manusia, terutama hal-hal gaib
dan batiniah).
Namun pada tingkat pemahaman tekstual-harfiahnya (sesuai makna
yang secara sekitas bisa langsung diperoleh dari teksnya), wahyu
bersifat relatif sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual,
sesuai perkembangan jaman atau keadaan umat saat disampaikan. Dan makna
hakekat dari sesuatu wahyu (makna yang sebenarnya) relatif bisa berbeda
daripada makna tekstual-harfiahnya, karena sedikit-banyak bisa terjadi
perbedaan antara pemahaman dengan hasil pengungkapannya, melalui lisan,
tulisan, sikap dan contoh-perbuatan (ada keterbatasan bahasa lisan,
bahasa tulisan dan bahasa tubuh).
Baca pula uraian pada topik-topik di bawah, tentang tentang keterbatasan bahasa lisan dan tulisan dalam penyampaian wahyu-Nya.
Allah Yang Maha Gaib dan Maha Pencipta sama
sekali tidak bertindak atau berbuat seperti halnya segala makhluk
ciptaan-Nya. Bentuk perkataan, wahyu, sabda, firman atau kalam-Nya yang
sebenarnya, paling mendasar dan satu-satunya, justru hanya berupa "alam
semesta dan segala isinya" ini. Lebih khusus lagi, bentuk wahyu ini
berupa segala sesuatu halnya yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal', pada
segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian (lahiriah dan batiniah) di
seluruh alam semesta ini. Dan sekali lagi, wahyu yang sebenarnya atau wahyu jenis ke-2 itu justru
disampaikan-Nya hanya 'satu kali' saja, yaitu pada saat 'paling awal'
penciptaan alam semesta ini. Setelahnya, sama sekali tidak ada lagi
sesuatupun wahyu yang 'langsung' dari Allah. Sedangkan segala wahyu dari
para nabi-Nya, yang umum dikenal oleh umat manusia, pada dasarnya hanya
berupa wahyu yang 'tak-langsung', dari hasil pemahaman atas wahyu yang
sebenarnya, setelah melalui berbagai perantara atau media.
Allah juga sama sekali tidak melakukan
tindakan atau perbuatan tertentu di alam semesta ini. Bahkan
tindakan-Nya yang terkait dengan seluruh alam semesta ini, pada dasarnya
justru hanya 'satu kali' saja, yang berupa 'penciptaan' alam semesta
itu sendiri, yang tidak lain adalah penyampaian wahyu yang sebenarnya di
atas.
Di dalam penciptaan itu sendiri, pada
dasarnya terdapat 2 kelompok besar ciptaan-Nya, yaitu: segala 'zat
ciptaan-Nya' (dalam bentuknya yang paling dasar, yaitu ruh, materi
terkecil dan energi), beserta segala 'ketentuan-Nya' (segala ketentuan
atau ketetapan yang berlaku 'mutlak' dan 'kekal' atas segala zat
ciptaan-Nya). Seluruhnya diciptakan-Nya sekali saja, secara sekaligus.
Dalam Al-Qur'an, segala 'ketentuan-Nya' itu disebut sebagai segala hal
yang tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh), yang berada di sisi
'Arsy-Nya.
Jika 'seolah-olah' ada lagi segala kehendak, tindakan atau
perbuatan-Nya di seluruh alam semesta ini, yang juga disebut sebagai
'Sunnah Allah' (sunatullah), hal ini tidak lain adalah salah-satu bagian
dari ketentuan-Nya di atas, yang berupa segala aturan atau rumus proses
kejadian (lahiriah dan batiniah, bersifat 'mutlak' dan 'kekal'), yang
pasti mengatur segala zat ciptaan-Nya. Sehingga sunatullah sering pula
disebut sebagai 'aturan-Nya' atau 'hukum-Nya' (di samping
'ketentuan-Nya', 'ketetapan-Nya', 'kehendak-Nya', 'tindakan-Nya' ataupun
'perbuatan-Nya' di seluruh alam semesta ini). Dan 'hukum-Nya' ini untuk
mengatur seluruh alam semesta, sangat berbeda daripada hukum-Nya di
dalam ajaran-ajaran agama-Nya (hukum syariat), untuk mengatur umat-umat
manusia yang beriman.
Lebih lanjut lagi, sunatullah memang bukan
dilakukan 'langsung' oleh Allah, namun justru dilakukan oleh
tak-terhitung jumlah ruh ciptaan-Nya, bahkan termasuk ruh tiap manusia.
Namun pada buku ini, pelaksanaan sunatullah disebut "dikawal oleh para
malaikat", karena para makhluk gaib ataupun para malaikat adalah
makhluk-Nya yang berwujud paling sederhana (hanya berupa ruh). Sedang
manusia dan makhluk-Nya lainnya yang lebih kompeks justru tersusun dari
tak-terhitung makhluk yang lebih sederhana (termasuk sel-sel), yang
membentuk hierarki dan berujung sampai kepada para malaikat itu sendiri, sebagai makhluk yang paling sederhana. Bisa disimpulkan, bahwa Allah justru sama
sekali tidak menggunakan kata-kata dan tindakan tertentu di alam semesta
ini. Segala tindakan-Nya di seluruh alam semesta ini (melalui
sunatullah) justru bersifat universal, sangat umum dan mendasar,
termasuk 'penciptaan' segala jenis makhluk dan benda.
Namun Allah justru sama sekali tidak bertindak mengatur-atur
isi hati-nurani tiap makhluk-Nya, juga tidak mengatur-atur sejarah umat
manusia. Pada saat awal penciptaan alam semesta (atau penciptaan segala
zat ruh makhluk-Nya), Allah hanya menanamkan segala 'fitrah dasar' ke
dalam hati-nurani tiap makhluk-Nya. Selanjutnya hanya tiap makhluk-Nya
sendiri yang mengatur-atur isi hati-nurani, dengan akalnya. Begitu pula
dengan sejarah, hanya manusianya sendiri yang mengubah-ubahnya.
Di dalam ajaran agama Islam, hasil karya
Allah Yang Maha Pencipta justru sangat jelas dan bisa diketahui
langsung, karena memang berupa "alam semesta dan segala isinya ini".
Segala sesuatu halnya yang ada di sekitar, pada puncaknya hanya Allah
semata yang menciptakannya.
Segala pencipta lainnya (termasuk manusia) pada dasarnya hanya
semata menggunakan hal-hal yang telah diciptakan-Nya sejak awal
penciptaan alam semesta ini. Karya-Nya yang barangkali relatif sulit
diketahui secara langsung, adalah bentuk yang 'paling dasar' dari segala
jenis zat ciptaan-Nya. Pada buku ini diyakini, bahwa elemen-elemen
paling dasar itu hanya berupa ruh, materi terkecil dan energi.
Juga di dalam ajaran agama Islam, keberadaan
Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa justru sangat jelas dan bisa
diketahui langsung, dari adanya segala hasil karya Allah di seluruh alam
semesta ini. Padahal diketahui, sesuatu zat (termasuk zat Allah)
memiliki 'esensi' dan 'perbuatan', yang menunjukkan keberadaan zat itu
sendiri. Jika 'keduanya' tidak ada (tanpa esensi dan tanpa perbuatan),
maka zatnya memang 'tidak ada', dan jika 'salah-satu' atau 'keduanya'
ada, maka zatnya memang 'ada'.
Diyakini di dalam agama Islam, bahwa 'esensi'
zat Allah Yang Maha Gaib, Maha Tersembunyi dan Maha Suci, memang
tersucikan dari segala sesuatu halnya, termasuk mustahil bisa dijangkau
oleh segala alat indera lahiriah dan batiniah makhluk (mata, telinga,
hidung, lidah, kulit, akal, hati, dsb).
Sedang 'perbuatan' zat Allah justru sangat jelas, dari adanya
segala hasil karya-Nya di atas. Namun hal yang barangkali relatif sulit
diketahui secara langsung, adalah bagaimana cara Allah dalam berbuat.
Pada buku ini diyakini, bahwa segala perbuatan-Nya di seluruh alam
semesta ini (melalui sunatullah), berupa segala proses kejadian atas
segala zat ciptaan-Nya, yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal' (biasa
disebut pula bersifat 'alamiah'). Dan gravitasi adalah salah-satu contoh
yang sangat jelas dari berlakunya sunatullah atau aturan-Nya.
Sehingga keberadaan Allah justru sangat jelas bisa
diketahui, dari adanya hal-hal yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi)
dan 'kekal' (pasti konsisten) di seluruh alam semesta ini, sebagai hasil
dari segala perbuatan-Nya (melalui sunatullah). Padahal sifat-sifat
'mutlak' dan 'kekal' itu hanya milik Allah Yang Maha Kuasa dan Maha
Kekal. Walau 'esensi' zat Allah sendiri memang 'mustahil' bisa diketahui
oleh manusia dan segala zat makhluk-Nya lainnya, di dunia dan di
akhirat, secara lahiriah dan batiniah.
Sekali lagi, keberadaan Allah dalam hal ini sama sekali tidak
terkait dengan adanya diketahui 'esensi' dari zat Allah (bentuk sosok,
letak atau posisi, dsb). Namun hanya terkait dengan adanya 'perbuatan'
dari zat Allah, dalam mencipta dan mengatur alam semesta dan segala
isinya ini, dengan Maha Sempurna. Dan sifat 'wujud' Allah bukan berarti
'ada sosok' zat Allah, tetapi 'ada' zat Allah (karena ada
perbuatan-Nya).
Wahyu dianggap bersifat khusus, karena
wahyu-wahyu-Nya dianggap lebih mengacu kepada keyakinan, bahwa
pengetahuan tentang Allah dan hal-hal spiritual lainnya bisa ditemukan
melalui cara-cara supranatural, seperti kitab suci atau mu'jizat pada
waktu tertentu dan bagi orang-orang tertentu, yang merupakan cara-cara
selain melalui akal manusia.
Perolehan wahyu khusus ini dianggap berkebalikan dengan wahyu umum (pada poin c di atas). Wahyu langsung (pada poin e di bawah) juga bisa dianggap termasuk ke dalam klasifikasi wahyu khusus ini.
Wahyu khusus terutama diyakini oleh sebagian umat Kristiani.
Menurut pemahaman pada buku ini:
Secara ringkas : Sifat wahyu khusus ini 'tidak ada' (tidak diakui pada buku ini).
Sifat wahyu ini diyakini oleh sebagian umat Islam.
Sebagaimana uraian wahyu progresif dan wahyu umum (pada poin a
dan poin c di atas), bahwa wahyu bersifat alamiah, yang
justru tidak sesuai dengan sifat khusus, dan bahwa wahyu justru
diperoleh secara alamiah, yang 'persis sama' dengan proses perolehan
segala bentuk pengetahuan lainnya. Wahyu bisa berbeda daripada
pengetahuan biasa, hanya pada tingkat kesempurnaan dan tingkat
kepentingannya.
Bahwa wahyu sama sekali tidak diperoleh
dengan 'cara-cara' supranatural atau khusus, karena proses perolehan
segala bentuk pengetahuan lainnya juga pasti melibatkan para makhluk
gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis), yang bertugas di alam batiniah
ruh tiap manusia (alam pikiran), terutama dalam memberi segala bentuk
ilham tiap saatnya, yang positif-benar-baik dan negatif-sesat-buruk.
Segala ilham ini makin 'memperkaya' isi pikiran manusia (di samping
segala informasi yang murni dari alat-alat indera fisik-lahiriah), yang
menjadikan akal juga mendapat makin banyak pilihan informasi, untuk bisa
diolah menjadi segala bentuk pengetahuan.
Ilham dari para makhluk gaib pada dasarnya suatu 'potongan
kecil' informasi atau informasi sederhana, yang bisa dipakai untuk
menyusun sesuatu pengetahuan yang lengkap, namun ilham bukan pengetahuan
itu sendiri. Wahyu juga bukan ilham dari para makhluk gaib. Wahyu
ataupun pengetahuan ibaratnya suatu kalimat, sedang ilham ibaratnya
hanya suatu kata saja. Sedang pemilihan kata-kata bagi kalimatnya,
justru hanya dilakukan melalui akal, agar tepat susunan kata-katanya.
Jika makin banyak mengalami hal-hal spiritual-rohani-batiniah,
mengamati segala kejadian di alam semesta, membaca buku (termasuk kitab
suci Al-Qur'an dan Hadits-hadits Nabi), dan disertai dengan makin banyak
memakai akal, maka atas ijin-Nya, makin tinggi pula tingkat pengetahuan
yang bisa diperoleh.
Baca pula uraian wahyu akal (pada poin c tabel di atas), tentang peran para makhluk gaib dalam proses perolehan pengetahuan.
Maka kalaupun ada kejadian supranatural yang
dialami oleh para nabi-Nya, terutama dalam berinteraksi secara
terang-terangan dengan para makhluk gaib, pada dasarnya hal ini sama
sekali tidak mempengaruhi 'proses perolehan' wahyu. Namun kejadian
supranatural itu pada dasarnya hanya memperkaya 'isi' wahyu.
Misalnya para nabi-Nya bisa lebih memahami antara-lain: zat
ruh, jenis zat ciptaan-Nya, tugas dan jenis kelamin para makhluk gaib,
alam dan kehidupan akhirat, dsb. Namun proses perolehan pemahaman itu
sendiri tetap diperoleh hanya melalui akal para nabi-Nya sendiri (bukan
diberitahukan langsung oleh para makhluk gaib itu).
'Proses' turunnya suatu kitab suci justru
suatu proses yang alamiah, persis seperti penulisan segala buku lainnya
berdasar pengetahuan pada penulisnya (bukan suatu proses supranatural).
Perbedaan antara kitab suci dan buku biasa hanya pada kandungan isi atau
pengetahuan di dalamnya. Kitab suci berisi rangkuman lengkap atas
sekumpulan besar wahyu, yang telah diperoleh seorang nabi-Nya.
Mu'jizat adalah suatu peristiwa luar-biasa
(sesuai konteks jaman terjadinya), yang pernah dialami oleh para
nabi-Nya dan umat kaumnya, secara berulang ataupun secara tak-berulang.
Namun mu'jizat pada para nabi-Nya justru juga
terjadi melalui proses yang alamiah (bukan melalui suatu proses
supranatural), karena segala sesuatu kejadian di alam semesta ini pasti
mengikuti sunatullah (aturan-Nya), yang bersifat mutlak, kekal dan
alamiah. Walau memang ada berbagai keadaan tertentu dan langka, yang
justru terbentuk sebelum berlakunya sunatullah, yang menimbulkan suatu
mu'jizat. Berbagai keadaan ini juga bisa terbentuk secara 'tidak
disengaja' (oleh kejadian alam), ataupun 'disengaja' oleh para nabi-Nya.
Mu'jizat yang berulang biasanya akibat dari penerapan
pengetahuan yang sangat tinggi, yang dimiliki oleh para nabi-Nya.
Sedangkan mu'jizat yang tak-berulang biasanya akibat dari peristiwa alam
yang luar-biasa, yang dialami oleh para nabi-Nya. Tentunya ada pula
mu'jizat yang tak-berulang, akibat dari pengetahuan para nabi-Nya
(misalnya kitab suci Al-Qur'an). Dan keluar-biasaan sesuatu mu'jizat
pada dasarnya bersifat 'relatif' (tergantung sudut pandang dan
perkembangan kehidupan umat). Serta semestinya bisa dipelajari pula oleh
tiap umat manusia biasa, jika telah diketahui ilmu-pengetahuan di balik
berbagai mu'jizat pada para nabi-Nya.
Jika umat telah memahami sunatullah, maka proses
turunnya kitab suci dan kejadian mu'jizat pada dasarnya proses-proses
yang biasa dan alamiah, yang bahkan semestinya bisa dinalar dengan akal
sehat. Hal yang justru jauh lebih penting untuk diperhatikan, adalah
segala bentuk pengetahuan atau kebenaran yang terkandung di dalamnya
(bukan pada keluar-biasaan yang bisa tampak terlihat, yang sangat mudah
mengarahkan umat kepada mistik-tahayul).
Kitab suci Al-Qur'an misalnya, keluar-biasaannya sama sekali
bukan terletak pada cara proses perolehannya, bentuk kitab dan susunan
teks-teksnya (seni dan tata bahasanya), namun justru pada segala
pengetahuan tentang kebenaran-Nya di dalamnya ('di balik' teks-teksnya),
yang telah tersusun relatif sempurna (relatif sangat lengkap, mendalam,
konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan).
e.
Wahyu langsung (
direct revelation)
Wahyu dianggap bersifat langsung, karena
wahyu-wahyu-Nya dianggap ada mengacu kepada sesuatu komunikasi langsung
antara manusia dan Tuhan, dengan kata-kata, kesan, visi, mimpi ataupun
dengan kemunculan yang sebenarnya.
Secara lebih umum, wahyu langsung ini juga bisa diklasifikasikan sebagai wahyu khusus (pada poin d di atas).
Wahyu langsung terutama diyakini oleh sebagian umat Kristiani.
Menurut pemahaman pada buku ini:
Secara ringkas : Sifat wahyu langsung ini 'tidak ada' (tidak diakui pada buku ini).
Sifat wahyu ini diyakini secara terbatas oleh sebagian umat Islam.
Sebagaimana uraian wahyu progresif dan wahyu umum (pada poin a
dan poin c di atas), bahwa wahyu bersifat alamiah, yang
justru tidak sesuai dengan sifat langsung, serta bahwa sama sekali tidak
ada interaksi ataupun komunikasi 'langsung' antara manusia dan Allah,
karena hanya semata ada 'interaksi' satu arah, umum, tak-langsung dan
satu-satunya, melalui "penciptaan alam semesta" ini, pada saat paling
awalnya. Interaksi ini bahkan bukan interaksi yang sebenarnya, karena
hanya berupa: penciptaan segala zat yang paling elementer penyusun
keseluruhan alam semesta ini (ruh, materi terkecil dan energi), termasuk
zat ruh tiap manusia. Setelah penciptaan paling awal ini, tiap manusia
hanya semata bisa berinteraksi dengan zat-zat ciptaan-Nya lainnya di
alam semesta ini, melalui segala proses kejadian yang pasti mengikuti
aturan-Nya (sunatullah).
'Esensi' dari zat Allah Yang Maha Gaib, Maha
Tersembunyi dan Maha Suci (tersucikan dari segala sesuatu hal), justru
kapanpun dan dimanapun (di dunia dan di akhirat), mustahil bisa
dijangkau oleh segala alat indera lahiriah dan batiniah makhluk-Nya
(mata, telinga, hidung, lidah, kulit, akal, hati, dsb). Maka manusia
(termasuk para nabi-Nya) 'mustahil' bisa melihat wujud Allah, berdialog
dengan Allah, dan mendengar perkataan Allah, secara langsung ataupun
tidak (melalui media atau perantara).
Allah Yang Maha Kekal dan Maha Kuasa sama sekali tidak berbuat
seperti halnya segala makhluk ciptaan-Nya. Bentuk perkataan, wahyu atau
firman-Nya yang sebenarnya, paling mendasar dan satu-satunya, justru
hanya berupa "alam semesta dan segala isinya" ini. Lebih khusus lagi,
bentuk wahyu ini berupa segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' dan
'kekal', pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian (lahiriah dan
batiniah) di seluruh alam semesta ini. Wahyu inipun lebih dikenal
sebagai "tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya", Kesan, visi, mimpi ataupun ilham pada dasarnya
hanya hasil dari perbuatan para makhluk gaib, yang memang bertugas di
alam batiniah ruh tiap manusia (alam pikiran), sama sekali bukanlah
hasil dari perbuatan Allah, ataupun hasil dari interaksi antara manusia
dan Allah. Hal-hal tersebut bahkan relatif 'tidak bernilai' apa-apa atau
bersifat 'netral', karena ada yang positif-benar-baik (dari para
malaikat) dan ada yang negatif-sesat-buruk (dari para jin, syaitan dan
iblis).
Wahyu juga bukan kesan, visi, mimpi ataupun ilham dari para
makhluk gaib. Namun hal-hal tersebut hanya mengandung segala informasi
sederhana, mentah dan netral (di samping segala informasi yang murni
dari alat-alat indera fisik-lahiriah), yang bisa dipakai oleh akal para
nabi-Nya, dalam menyusun tiap pengetahuan atau wahyu.
f. Wahyu privat (
private revelation)
Wahyu dianggap bersifat privat, karena wahyu-wahyu-Nya tertentu dianggap bisa diturunkan kepada umat-umat tertentu, dalam bentuk kontemplasi, yang terjadi setelah berakhirnya jaman para nabi-Nya. Wahyu privat ini dianggap tidak diwajibkan kepada umat untuk mempercayainya, dan relatif hanya membentuk keyakinan pribadi saja, pada umat yang memperolehnya
Sedangkan wahyu-wahyu-Nya yang telah diturunkan kepada para
nabi-Nya, dianggap bersifat universal atau umum, sehingga dianggap harus
diyakini oleh semua umat.
Wahyu privat terutama diyakini oleh sebagian umat Kristen Katolik.
Menurut pemahaman pada buku ini:
Secara ringkas : Sifat wahyu privat ini 'tidak ada' (tidak diakui pada buku ini).
Sifat wahyu ini tidak dikenal oleh sebagian besar umat Islam.
Sebagaimana uraian wahyu progresif (pada poin a
di atas), bahwa wahyu bersifat alamiah, yang justru tidak sesuai dengan
sifat privat atau pribadi (hanya bagi umat-umat tertentu dan pada
waktu-waktu tertentu).
Di dalam ajaran agama Islam, segala bentuk
pengetahuan di dalam pikiran tiap umat manusia biasa (selain para
nabi-Nya), tidak pernah disebut sebagai 'wahyu-Nya', tetapi hanya
disebut sebagai 'al-Hikmah' atau 'pemahaman'. Sedangkan bentuk hasil
pengungkapannya secara relatif sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan
aktual, hanya disebut sebagai 'ijtihad', yang biasa dihasilkan sesuai
dengan segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat manusia
pada tiap jamannya.
Bahwa wahyu dan kenabian adalah satu-kesatuan yang tidak bisa
dipisah-pisahkan, dan masing-masingnya memiliki berbagai persyaratan
tertentu, khususnya untuk menjamin tingkat kesempurnaannya sebagai
sumber tuntunan dan pengajaran-Nya bagi seluruh umat manusia, yang
secara alamiah, hampir mustahil bisa dicapai oleh umat manusia biasa.
Al-Hikmah dan ijtihad bisa diperoleh dari
mempelajari ajaran-ajaran agama-Nya (kitab suci Al-Qur'an, Sunnah Nabi
dan ijtihad dari para alim-ulama) ataupun dari mempelajari langsung
tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini, secara
sangat obyektif dan mendalam. Tetapi tentunya, al-Hikmah dan ijtihad
tetap bukan 'wahyu-Nya' (tidak ada wahyu privat), walaupun proses
perolehannya memang 'persis sama' dengan proses perolehan wahyu pada
para nabi-Nya (berupa al-Hikmah dan berupa ayat-ayat al-Kitab).
Dan wahyu pada para nabi-Nya tentunya relatif lebih banyak
diperoleh dari mempelajari langsung tanda-tanda kemuliaan dan
kekuasaan-Nya di alam semesta ini, daripada dari mempelajari
risalah-risalah para nabi-Nya yang terdahulu. Terutama karena para
nabi-Nya biasanya membawa hal-hal baru, yang belum ada sebelumnya.
Dan 'secara umum', seluruh umat Islam memang
diwajibkan untuk meyakini dasar-dasar ajaran agamanya, terutama kitab
suci Al-Qur'an dan Sunnah Nabi (Hadits Nabi), beserta berbagai prinsip
dasar aqidah di dalamnya. Namun selain dari hal-hal tersebut, tiap umat
Islam justru bisa memiliki pemahaman yang berbeda-beda, atas tiap ayat
Al-Qur'an ataupun tiap Hadits Nabi. Karena suatu keyakinan memang hanya
hak-milik pribadi tiap umatnya sendiri, yang tidak bisa
dipaksa-paksakan.
Wahyu dianggap bersifat supranatural, karena
wahyu-wahyu-Nya dianggap mengacu kepada suatu hasil komunikasi antara
manusia dengan Tuhan ataupun zat supranatural lainnya (seperti para
malaikat).
Wahyu supranatural terkadang dianggap tidak
selalu memerlukan kehadiran fisik dari suatu zat supranatural. Misalnya
wahyu supranatural dianggap cukup hanya mencakup suara hati ('ilham'
atau 'interior locution'), yang didengar oleh penerimanya.
Juga ada anggapan lain, bahwa Tuhan dan zat-zat supranatural
tidak bisa diakses oleh mata dan telinga fisik manusia, tetapi hanya
bisa diamati dan didengar oleh manusia, yang memiliki kekuatan
ekstrasensori.
Wahyu supranatural diyakini oleh umat banyak agama
(seperti: Yahudi Ortodoks, Kristen Katolik dan aliran Kristen lainnya,
Islam, Hindu, Budha, dsb), dan bahkan membentuk keyakinan fundamental
dalam ajaran agama-agama itu.
Menurut pemahaman pada buku ini:
Secara ringkas : Sifat wahyu supranatural ini 'tidak ada' (tidak diakui pada buku ini).
Sifat wahyu ini diyakini oleh sebagian umat Islam.
Sebagaimana uraian wahyu progresif dan wahyu khusus (pada poin a
dan poin d di atas), bahwa wahyu bersifat alamiah, yang
justru tidak sesuai dengan sifat supranatural, walau wahyu terkait
secara 'tak-langsung' dengan berbagai pengalaman supranatural yang telah
dialami oleh para nabi-Nya, dan bahwa wahyu justru diperoleh secara
sangat alamiah, secara 'persis sama' dengan proses perolehan segala
bentuk pengetahuan lainnya. Wahyu bisa berbeda daripada pengetahuan
biasa, hanya pada tingkat kesempurnaan dan tingkat kepentingannya.
Bahwa sama sekali tidak ada 'komunikasi'
antara manusia dan Allah, yang ada hanya semata 'interaksi' satu arah,
umum, tak-langsung dan satu-satunya (dari Allah kepada segala zat ruh
ciptaan-Nya, termasuk seluruh umat manusia), melalui "penciptaan alam
semesta" ini, pada saat paling awalnya. Interaksi ini bahkan bukan
interaksi yang sebenarnya, karena hanya berupa: penciptaan segala zat
yang paling elementer penyusun keseluruhan alam semesta ini (ruh, materi
terkecil dan energi), termasuk zat ruh tiap manusia. Setelah penciptaan
paling awal ini, tiap manusia hanya bisa berinteraksi dengan zat-zat
ciptaan-Nya lainnya di alam semesta ini, termasuk dengan para makhluk
gaib.
Bahwa ada 2 macam interaksi antara manusia dan para makhluk
gaib, yang justru bertugas di alam batiniah ruh tiap manusia (alam
pikiran), yaitu: interaksi secara terselubung dan interaksi secara
terang-terangan. Pada 2 macam interaksi ini, para makhluk gaib pasti
mengetahui segala isi pikiran manusianya, yang amat sangat halus dan
sesaat sekalipun tanpa bisa dibohongi. Tetapi sebaliknya, isi pikiran
para makhluk gaib tidak bisa diketahui.
Bahwa dalam interaksi secara terselubung,
hanya terjadi komunikasi satu arah (dari para makhluk gaib kepada
manusianya), serta suara bisikan para makhluk gaib justru amat sangat
halus, yang umumnya disebut sebagai 'ilham'. Ilham adalah informasi
'sederhana' dan 'mentah' (di samping segala informasi yang murni dari
alat-alat indera fisik-lahiriah), yang bisa dipakai oleh akal manusia di
dalam menyusun tiap bentuk pengetahuannya. Ilham tentunya bukan hanya
berupa 'suara', namun berupa segala sesuaru hal yang bisa tersedia di
dalam pikiran, dan juga proses pemberiannya berlangsung 'amat sangat
cepat' (secepat proses berpikir manusia).
Interaksi secara terselubung ini bahkan pasti dialami oleh tiap
manusia, tiap saatnya sepanjang hidupnya. Namun karena amat sangat
halusnya ilham-ilham itu, bahkan 'seolah-olah' memang berasal dari
pikiran manusianya sendiri. Dan walaupun interaksi semacam ini kejadian
yang sangat biasa dan bersifat 'netral' (ada ilham yang
positif-benar-baik dan yang negatif-sesat-buruk), namun justru berperan
paling penting dalam proses perolehan segala bentuk pengetahuan manusia.
Karena ilham−ilham itu memang sangat memperkaya atau menghidupkan 'isi'
pikiran tiap manusia.
Baca pula uraian pada topik-topik di atas, tentang ilham, serta tentang cara-cara para makhluk gaib berinteraksi dengan manusia.
Dalam interaksi secara terang-terangan antara
manusia dan para makhluk gaib, suara bisikan para makhluk gaib sangat
jelas (berupa suara hati, yang 'serupa' seperti suara manusia biasa
melalui mulut), serta bisa terjadi komunikasi dua arah di dalam
dada-hati-pikiran manusianya. Komunikasi inipun 'serupa' seperti dialog
sehari-harinya antara seorang manusia dengan manusia lainnya, tetapi
telah berupa 'bahasa hati'. Karena para makhluk gaib memang mengetahui
segala isi pikiran manusianya. Dan tentunya proses interaksi atau
komunikasi ini berlangsung 'amat sangat lambat' (secepat bahasa lisan
manusia).
Dari para nabi-Nya sampai orang gila justru bisa berinteraksi
secara terang-terangan dengan para makhluk gaib, secara disengaja
ataupun tidak (hanya kebetulan saja), sejak jaman dahulu sampai saat
ini. Walau jumlah manusia yang mengalaminya memang relatif sangat
terbatas dibandingkan keseluruhan jumlah umat manusia. Dan interaksi ini
bisa terjadi tanpa harus dimiliki suatu kekuatan ekstrasensori sama
sekali.
Maka adanya interaksi secara terang-terangan
ini sama sekali bukan berarti, bahwa orang-orang yang mengalaminya pasti
bisa memperoleh wahyu. Karena wahyu memang bukan didiktekan oleh para
makhluk gaib, namun berupa pengetahuan, yang pasti tetap diperoleh
melalui hasil olahan akal para nabi-Nya.
Ada-tidaknya wahyu juga tidak terkait dengan ada-tidaknya
interaksi secara terang-terangan antara para nabi-Nya dan para makhluk
gaib. Tetapi adanya interaksi ini pada dasarnya hanya ikut memperkaya
'isi' wahyu, karena para nabi-Nya menjadi bisa memahami berbagai hal
yang gaib (zat ruh, jenis zat ciptaan-Nya, tugas dan jenis kelamin para
makhluk gaib, alam dan kehidupan akhirat, dsb).
Dan perlu diketahui, bahwa para makhluk gaib
yang bertugas di alam pikiran tiap manusianya, justru banyak jumlahnya.
Serta tiap saatnya justru selalu bercampu-baur, antara bisikan yang
positif-benar-baik dan yang negatif-sesat-buruk. Sehingga secara
keseluruhan, suara bisikan mereka pada dasarnya bersifat 'netral'.
Juga perlu diketahui, bahwa dalam interaksi secara
terang-terangan, 'tiap' makhluk gaib bisa membisikkan hal yang
positif-benar-baik pada berbagai saatnya, namun membisikkan hal yang
negatif-sesat-buruk pada berbagai saat lainnya (serupa pembicaraan
manusia). Maka relatif tidak bermanfaat untuk berusaha membedakan jenis
mereka (malaikat, jin, syaitan atau iblis). Jauh lebih bermanfaat untuk
menilai 'isi' suara bisikan mereka, persis seperti menilai 'isi'
pembicaraan manusia lainnya.
Bahwa pada dasarnya 'tidak ada' interaksi dan
komunikasi antara manusia dengan para makhluk gaib, yang 'khusus'
terkait dengan 'proses perolehan' wahyu. Hasil dari interaksi dan
komunikasi tersebut, pada dasarnya hanya berupa tersedianya segala
bentuk informasi 'mentah dan 'netral' bagi tiap manusia, yang diperlukan
bagi penyusunan segala bentuk pengetahuannya, dengan akalnya sendiri.
Hal serupa pula pada interaksi antara manusia dengan Allah, melalui
"alam semesta" ini, karena Allah menyediakan segala sesuatu informasi
agar manusia bisa mengenal Penciptanya itu.
Adapun proses kenaikan tingkat, dari segala bentuk pengetahuan
pada para nabi-Nya, sampai menjadi wahyu-wahyu, yang bernilai kebenaran
sangat tinggi, justru hanya semata melalui usaha keras dan penggunaan
maksimal akal mereka sendiri, serta sama sekali tidak terkait dengan
adanya interaksi dan komunikasi di atas. Para nabi-Nya adalah
orang-orang yang banyak mengamati segala kejadian di sekitarnya, serta
banyak menyendiri dan bertafakur untuk memikirkan segala kebenaran-Nya.
Bahwa zat-zat gaib selamanya tetap bersifat gaib
(tidak memiliki wujud fisik-lahiriah-nyata). Sehingga Allah dan para
makhluk gaib mustahil bisa ditangkap melalui alat-alat indera lahiriah
manusia (mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dsb). Bahkan Allah Yang
Maha Gaib juga mustahil bisa ditangkap melalui alat-alat indera batiniah
(akal, hati, dsb), di lain pihaknya, masih bisa terhadap para makhluk
gaib (terutama melalui interaksi secara terang-terangan di atas).
Allah juga hanya bisa diketahui secara 'tak-langsung', melalui
segala bentuk pengetahuan tentang kebenaran-Nya di alam semesta ini
(termasuk melalui wahyu-wahyu-Nya dari para nabi-Nya). Bahkan hal inipun
pada dasarnya hanya pengetahuan tentang 'perbuatan' zat Allah. Namun
hampir tidak ada pengetahuan tentang 'esensi' zat Allah Yang Maha Suci
dan tersucikan dari segala sesuatu halnya.
Ada yang cukup menarik yang disimpulkan dari semua bentuk dan sifat
wahyu pada tabel-tabel di atas, karena hampir semua agama kurang
memiliki konsep 'wahyu' yang jelas, yang tampak dari relatif banyaknya
bentuk dan sifat wahyu yang diyakini pada tiap agamanya. Hal yang paling
parahnya terjadi pada agama Kristen/Nasrani (dengan berbagai
alirannya), karena umatnya meyakini hampir semua bentuk dan sifat wahyu
tersebut.
Adaya variasi konsep 'wahyu' pada tiap agama tentunya akibat
banyaknya bentuk pemahaman dari umat penganutnya tentang wahyu. Termasuk
pula akibat kurang adanya penjelasan yang cukup memadai dan lengkap,
tentang proses diturunkan-Nya wahyu, sejak dari bentuk awalnya yang
langsung dari Allah, sampai bentuk akhirnya yang biasa dikenal oleh umat
manusia saat ini (ayat-ayat kitab suci). Lebih utama lagi akibat kurang
adanya penjelasan, tentang peran akal para nabi-Nya, peran zat-zat gaib
(supranatural) dalam proses turunnya wahyu, serta bagaimana peran-peran
itu dilakukan
Keterbatasan bahasa tulisan dalam penyampaian wahyu-Nya
Dari perbedaan perwujudan dan perolehan pada kedua jenis wahyu-Nya pada QS.53:4, QS.6:145, QS.42:52 dan QS.42:51, tentang "wahyu-Nya yang diwahyukan, atau dibacakan" (wahyu yang diterima oleh Nabi dari malaikat Jibril, dan wahyu yang disampaikan oleh Nabi kepada umat), maka bahasa lisan dan tulisan yang dipakai pada setiap penyampaian wahyu-Nya, justru memegang peranan amatlah penting. Terutama agar hal-hal yang telah dipahami oleh para nabi-Nya (secara batiniah), justru bisa tepat sesuai pada saat disampaikan melalui lisan dan tulisan (perwujudan lahiriahnya).
Juga perlu diketahui, bahwa bahasa lisan dan tulisan pastilah memiliki berbagai keterbatasan, seperti:
Berbagai keterbatasan bahasa lisan dan tulisan, dalam penyampaian wahyu-Nya
Jumlah halaman tulisan
Ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis itu mustahil
akan bisa dituliskan seluruhnya ("tidak cukup dengan tinta beberapa
samudera"). Dan bahkan bisa memerlukan ribuan lembar halaman tulisan,
hanya untuk bisa mengungkap segala isi pikiran seorang manusia saja.
Kesulitan yang serupa terjadi pada Al-Qur'an,
karena Al-Qur'an adalah rangkuman atas berbagai hal berdasar seluruh
pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), yang telah bisa
dipahami oleh nabi Muhammad saw sepanjang hidupnya, dalam menjawab
berbagai keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umatnya, terutama
yang paling penting, mendasar dan hakiki
Dan apabila seluruh pemahaman hikmah dan hakekat
kebenaran-Nya (Al-Hikmah), dalam pikiran Nabi dituliskan semuanya, tentu
kitab suci Al-Qur'an bisa terdiri dari belasan ataupun puluhan kali
lipat daripada bentuknya sekarang.
Bentuk 'rangkuman' itupun bisa dilihat dari
bentuk ayat-ayat Al-Qur'an, yang relatif amat singkat, ringkas dan
sederhana, namun kandungan isinya justru amat padat dengan makna-makna.
Bahkan pada uraian poin di bawah, diketahui bahwa
Al-Hikmah memang kurang cocok untuk diungkap secara langsung kepada
umat, yang lebih memerlukan pengajaran dan tuntunan-Nya yang bersifat
relatif sederhana, praktis-aplikatif dan aktual (seperti Al-Qur'an dan
sunnah-sunnah Nabi). Sedangkan Al-Hikmah bersifat amat rumit, mendalam,
tidak praktis-aplikatif dan universal.
Kemampuan pengungkapan
Biasanya ada jurang perbedaan antara
keyakinan batiniah (atau pemahaman), dan tiap bentuk pengungkapan
lahiriahnya (melalui tulisan, lisan, sikap dan contoh-perbuatan), yang
lebar ataupun hanya sempit saja perbedaannya.
Hal-hal dalam pikiran biasanya belum tentu persis sama dengan hasil pengungkapannya secara lahiriah.
Hal yang lebih ekstrim terjadi pada
pengungkapan atas hal-hal gaib dan batiniah dalam Al-Qur'an, karena
perbedaannya justru relatif amat jauh (perbedaan antara suatu
"contoh-perumpamaan simbolik" dan "fakta-kenyataannya yang sebenarnya").
Walaupun di lain pihak, kekayaan kosa-kata
bahasa Arab cukup banyak menolong Nabi, dalam mengungkap seluruh
pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah) yang telah bisa
dimilikinya, melalui seluruh ayat Al-Qur'an dan sunnah Nabi.
Baca pula uraian pada poin di bawah, tentang "contoh-perumpamaan simbolik" dan tentang pengaruh kosa-kata bahasa.
Keterbatasan pengungkapan
Segala keyakinan batiniah (atau pemahaman) di
dalam pikiran, biasanya berupa sesuatu bangunan pemahaman, yang relatif
amat utuh, menyeluruh dan saling terkait aspek-aspeknya.
Sebaliknya sesuatu keyakinan atau pemahaman yang tidak utuh,
tidak menyeluruh atau tidak saling terkait aspek-aspeknya, justru pada
dasarnya bukanlah keyakinan yang kuat dan kokoh.
Demikian pula halnya dengan pemahaman atas
agama-Nya yang lurus, yang justru meliputi segala aspek yang amat
lengkap, utuh, menyeluruh dan saling terkait, tentang: Allah, alam
semesta dan segala isinya, kehidupan segala makhluk-Nya, dan banyak
lagi.
Sehingga tiap pengungkapan atas isi bangunan
pemahaman itu, yang justru hanyalah disampaikan melalui beberapa kalimat
saja (relatif amat ringkas), melalui lisan dan tulisan, pastilah
mustahil bisa langsung memberi gambaran yang jelas tentang keseluruhan
bangunan pemahaman itu sendiri.
Maka Al-Qur'an semestinya bisa dipahami oleh
tiap umat Islam, dengan menelaah dan mempelajari seluruh ayatnya secara
utuh dan menyeluruh, serta termasuk pula menelaah dan mempelajari
seluruh penjelasan dan keterangan yang terkait, seperti: Hadits-hadits
Nabi; Asbabun Nuzul (sejarah turunnya ayat-ayat Al-Qur'an); sejarah dan
budaya umat-umat pada jaman para nabi-Nya; ijtihad dari para alim-ulama
terdahulu; dsb.
Dengan cara seperti itu, diharapkan Al-Qur'an tidaklah dipahami secara sepotong-sepotong, terpisah-pisah ataupun ayat per ayat.
Contoh-perumpamaan simbolik bagi hal-hal gaib (tidak nyata)
Segala bentuk contoh-perumpamaan simbolik
justru diperlukan pada kitab-kitab suci agama, khususnya agar bisa makin
mudah dalam menjelaskan hal-hal gaib dan batiniah.
Nabi Muhammad saw juga biasanya (atau bahkan
hampir pasti) menjelaskan hal-hal gaib dan batiniah dalam Al-Qur'an,
melalui segala bentuk contoh-perumpamaan simbolik.
Karena hal-hal gaib itu memang bukan hal-hal
yang dibicarakan oleh umat, di dalam kehidupan nyatanya sehari-harinya.
Bahkan istilah-istilah yang relatif 'asing atau baru', dan bersifat
simbolik, justru diadopsikan ke dalam bahasa yang biasa dipakai
sehari-harinya oleh umat, seperti: 'Allah', 'Maha', 'Malaikat' sampai
'Iblis', 'Surga' dan 'Neraka', 'Hari Kiamat', 'Takdir', dsb.
Dan pada saat memakai istilah-istilah dari kitab-kitab agama
itu, umat memang relatif jauh lebih sulit bisa menjelaskannya secara
utuh dan lengkap, daripada pada saat menjelaskan tentang hal-hal
nyata-fisik-lahiriah di sekitarnya.
Jelas tentunya, sesuatu contoh-perumpamaan
pasti bukan sesuatu fakta-kenyataan yang sebenarnya. Dan tentunya, Nabi
bukanlah tidak mampu menjelaskan tentang hal-hal gaib itu, namun segala
keterbatasan bahasa, waktu dan kemampuan penerimaan umat, yang membuat
Nabi justru memilih menggunakan segala contoh-perumpamaan simbolik
tersebut.
Serta melalui segala contoh-perumpamaan itu
diharapkan umat telah bisa merasakan sesuatu bentuk 'analogi atau
pendekatan', terhadap hal-hal yang sebenarnya dimaksudkan.
Di samping itu, pengungkapan melalui tiap contoh-perumpamaan itu bisa menjadi relatif jauh lebih sederhana, mudah dan ringkas.
Kekayaan kosa-kata bahasa yang dipakai
Koleksi kosa-kata pada suatu bahasa amatlah
menentukan proses interaksi antar masyarakat pemakainya, justru
sebaliknya budaya masyarakat menentukan bentuk bahasa yang dipakainya,
seperti diungkap dalam peribahasa "bahasa menunjukkan karakter suatu
bangsa, dan bangsa menentukan bahasa yang dipakainya".
Dalam hal bahasa yang dipakai dalam Al-Qur'an
(bahasa Arab), memang relatif tidak ada masalah, karena amat kaya
dengan tata bahasa dan makna.
Sedang bahasa dalam Al-Qur'an, berasal dari hasil percampuran
berbagai bahasa yang dipakai oleh berbagai suku di tanah Arab pada
jaman Nabi. Dan diketahui, Nabi adalah seorang pedagang yang biasa
berkeliling ke berbagai daerah atau negeri, tentunya Nabi banyak bergaul
dengan berbagai suku itu. Lagipula, bangsa Arab relatif amat menyukai
kesusasteraan.
Bahkan sebagian dari para nabi-Nya terdahulu
(sebelum Nabi), juga berasal dari tanah Arab, sehingga istilah-istilah
keagamaan di dalam Al-Qur'an, memang telah berkembang sejak dahulu.
Lebih untungnya lagi, bahasa Arab tetap
dipakai sebagai bahasa bagi penyiaran agama Islam di seluruh belahan
dunia, sehingga makna dalam ayat-ayat Al-Qur'an pada akhirnya menjadi
relatif amat terjaga dari perkembangan jaman dan budaya.
Namun poin ini lebih bertujuan untuk berusaha
mempertahankan dan menekankan pemakaian bahasa Arab, sebagai alat
penyiaran agama Islam melalui lisan dan tulisan. Dan bagi bangsa-bangsa
di luar tanah Arab, tentunya teks-teks bahasa Arab dari ajaran-ajaran
agama-Nya semestinya tetap disertakan, di samping teks-teks
terjemahannya dalam bahasa umat sehari-harinya. Sehingga jika
sedikit-banyak ada kesalahan dalam penerjemahan atas teks ajaran-ajaran
agama-Nya, maka umat bisa langsung mengoreksi atau membandingkannya
dengan teks asli bahasa Arabnya.
Hanya sesuai dengan konteks keadaan umat, ketika disampaikan
Hal-hal yang bersifat universal relatif amat
sulit bisa dijelaskan, sebagaimana halnya segala hikmah dan hakekat
kebenaran-Nya (Al-Hikmah), 'di balik' teks-teks ajaran agama-Nya.
Karena Al-Hikmah itu mestinya bisa berlaku bagi umat
terdahulu, umat sekarang ataupun bagi umat masa mendatang, sampai akhir
jaman (bisa melewati batas ruang, waktu dan konteks budaya).
Maka cara yang paling logis dan mudah adalah
segala Al-Hikmah dirangkum dan dijelaskan dengan memakai bahasa yang
umum dipakai dan mudah dipahami oleh umat pada sesuatu jaman, dan
tentunya sesuai dengan tantangan, kebutuhan dan persoalan umat pada saat
itu, serta memakai segala bentuk contoh-perumpamaan simbolik, dari
kehidupan dan budaya umat sehari-harinya.
Selanjutnya, umat pada 'setiap jamannya' (melalui Majelis
alim-ulamanya) bisa menafsirkan kembali, sesuai dengan tantangan,
kebutuhan dan persoalan umat pada setiap jamannya sendiri.
Sekali lagi, untuk bisa memahami kembali segala
Al-Hikmah 'di balik' teks ayat-ayat Al-Qur'an, tentunya umat amat perlu
pula menelaah dan mempelajari seluruh penjelasan dan keterangannya yang
terkait, seperti: Hadits-hadits Nabi, Asbabun Nuzul (sejarah turunnya
ayat-ayat Al-Qur'an), sejarah dan budaya umat di jaman para nabi-Nya,
ijtihad dari para alim-ulama terdahulu, dsb.
Bisa dipahami oleh seluruh golongan umat
Agama-Nya yang lurus adalah agama bagi
seluruh umat manusia (dari segala jaman, segala suku-bangsa, segala
golongan, segala jenis kelamin, segala tingkat pendidikan, dsb), serta
agama-Nya yang lurus bukan hanya milik sekelompok ataupun segolongan
umat saja.
Namun terkait dengan tingkat pengetahuan dan
pemahaman umat atas ajaran-ajaran agama-Nya, secara garis besar dan
sederhana, cukup dikelompokkan menjadi: umat yang awam (sebagian amat
besar umat) dan umat yang berilmu (sebagian amat kecil umat).
Pada dasarnya ajaran-ajaran agama-Nya berupa
pengajaran dan tuntunan-Nya yang bersifat relatif ringkas, sederhana,
praktis-aplikatif dan aktual, sesuai segala keadaan, kebutuhan,
tantangan dan persoalan umat, bahkan tentunya agar bisa mudah dipahami
dan diamalkannya dalam kehidupannya sehari-hari.
Sehingga ajaran-ajaran agama-Nya justru lebih
banyak ditujukan bagi sebagian terbesar umat, yaitu umat-umat yang awam
dalam hal ilmu-pengetahuan (termasuk ilmu-ilmu agama).
Namun di lain pihak, dengan kemampuan ilmu-pengetahuannya,
umat-umat yang berilmu ataupun para alim-ulama tetaplah cukup memadai
bisa memahami segala rahasia di balik teks-teks ajaran agama-Nya
(terutama Al-Qur'an dan Hadits), yang berupa segala hikmah dan hakekat
kebenaran-Nya (Al-Hikmah).
Sedangkan Al-Hikmah itu sendiri bersifat amat rumit, mendalam, tidak praktis-aplikatif dan universal.
Maka pada buku ini, penyampaian wahyu-Nya
dalam Al-Qur'an disebut memakai 'bahasa pertengahan', dimana umat-umat
yang awam bisa memahami pada tingkat tekstual-harfiah saja, namun
umat-umat yang berilmu dan para alim-ulama bisa memahami, pada tingkat
hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah).
Segala tingkat pemahaman umat yang
berbeda-beda justru suatu bentuk kekayaan rahmat-Nya dimana umat justru
bisa mengikuti ajaran-ajaran agama-Nya, sesuai dengan tingkat
pemahamannya masing-masing. Sedangkan tetaplah hanya hak Allah Yang Maha
mengetahui siapa yang pemahamannya paling benar, dan siapa yang
pengamalannya paling baik.
Serta menjadi tugas penting bagi para alim-ulama
ataupun para cendikiawan Muslim (terutama melalui Majelis ulamanya),
untuk mengkaji dan memahami tiap Al-Hikmah di dalam ajaran-ajaran
agama-Nya, lalu melahirkan ijtihad-ijtihad untuk bisa menjawab segala
keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan aktual umat, pada tiap
jamannya masing-masing.
Pengaruh gender
Sesuai dengan fitrahnya, tentunya ada perbedaan antara bahasa yang
dipakai bagi kaum wanita dan kaum pria dalam kitab-kitab suci agama,
terutama untuk bisa menjaga etika dan sopan-santun.
Selain itu, penyampaian tiap wahyu-Nya pada umumnya perlu dilakukan secara relatif amat sangat hati-hati, antara-lain:
Berbagai catatan tambahan, dalam penyampaian wahyu-Nya
• Agar tetap terjaga konsistensi dan keutuhan seluruh kandungan isinya. Padahal diketahui, penyampaian wahyu-Nya justru telah berlangsung selama bertahun-tahun (seperti Al-Qur'an misalnya penyampaiannya sekitar 23 tahun).
• Agar tercakup lengkap segala keadaan, kebutuhan dan persoalan umat kaumnya, bahkan umat manusia keseluruhan, terutama atas segala persoalan yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia.
• Agar mudah tetap terus diingat, untuk hal-hal yang amat penting, terutama agar umat bisa selalu ingat kepada Allah, juga kepada hal-hal yang amat perlu dilakukan ataupun dihindari.
• Agar tidaklah terlalu sering diulang persis sama, kecuali memang disengaja dan amat penting, serta terkait dengan berbagai topik yang relatif serupa, namun sedikit berbeda sudut pandangnya.
• Agar terjaga seni dan tata bahasanya, terutama agar umat relatif lebih senang membaca dan menghapalnya.
Hal-hal di atas itulah yang membuat amat kuat
keyakinan pada buku ini, bahwa 'bangunan pemahaman' nabi Muhammad saw
atas sebagian besar dari wahyu-wahyu-Nya, yang berupa berbagai hikmah
dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), justru telah tersusun dengan
relatif sempurna (relatif amat lengkap, mendalam, utuh, konsisten dan
tidak saling bertentangan secara keseluruhan), sebelum disampaikan
kepada umat ataupun sebelum pernyataan kenabiannya, terutama yang
menyangkut berbagai persoalan yang paling penting, mendasar dan hakiki
bagi kehidupan umat manusia (disebut "kisah-kisah yang paling baik" pada
QS.12:3). Tentunya hanyalah dengan 'bangunan pemahaman'
Al-Hikmah yang tersusun relatif sempurna seperti itu di dalam pikiran
Nabi, maka Nabi justru bisa memiliki keberanian dan keyakinan yang amat
kuat, untuk menyatakan diri sebagai 'nabi-Nya', dan di lain pihaknya,
umat kaumnya juga dengan amat yakin mau bersedia menjadi pengikutnya.
Hal yang justru serupa pula terjadi pada para nabi-Nya lainnya.
Setelah pernyataan kenabiannya itu juga pada
dasarnya wahyu-wahyu-Nya di dalam pikiran Nabi (berupa Al-Hikmah), hanya
tinggal menunggu waktu yang relatif tepat saja untuk disampaikannya
kepada umat kaumnya, dalam bentuk wahyu-wahyu-Nya yang relatif bersifat
sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual (berupa Al-Kitab)
sesuai dengan berbagai keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat
kaumnya sehari-harinya.
Dan sekali lagi, perubahan wahyu-wahyu-Nya dari berbentuk Al-Hikmah
menjadi berbentuk Al-Kitab, tentunya justru amat tergantung kepada
bahasa lisan dan tulisan yang biasa dipakai oleh umat sehari-harinya,
pada saat wahyu-wahyu-Nya itu disampaikan.
"Janganlah kamu gerakkan lidahmu (hai Muhammad) untuk (membaca) Al-Qur'an, karena hendak cepat-cepat (menyampaikan)-nya." – (QS.75:16).
"Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah, mengumpulkannya (ke dalam hati atau dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya." – (QS.75:17).
"Apabila Kami telah selesai membacakannya (mewahyukannya), maka ikutilah bacaannya itu." – (QS.75:18).
"Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya." – (QS.75:19).
"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu (hai manusia bisa) memahaminya." – (QS.12:2) dan (QS.43:3, QS.46:12, QS.41:44, QS.42:7, QS.39:28).
"Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur'an ini kepadamu, dan sesungguhnya, kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya, adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui." – (QS.12:3).
Syaitan yang diusir dan diikat
Dalam berbagai keadaan tertentu, iblis, syaitan dan jin sering disebut "diusir dan diikat", seperti pada saat bulan Ramadhan; pada saat 1 / 3 malam terakhir, untuk shalat malam; pada saat setiap umat Islam sedang berdo'a; dan banyak lagi keadaan lainnya.
Pada dasarnya keadaan saat diusir dan diikatnya iblis, syaitan dan jin itu bersifat simbolik dan umum. Lebih tepatnya, suatu keadaan batiniah ruh tiap manusia (yang diusahakan oleh manusia itu sendiri), yang bisa membuat iblis, syaitan dan jin, 'tidak memiliki' kesempatan atau celah keleluasaan lagi, dalam berusaha menggoda manusianya.
Hal ini amat terkait dengan kekhusu'an tiap manusia, di dalam melakukan sesuatu amal-kebaikan ataupun menjalani hidupnya, sesuai dengan segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya. Sehingga amatlah tertutup tiap celah kelemahan di dalam pikirannya, yang justru mudah dimanfaatkan oleh iblis, syaitan dan jin. Semakin tinggi keimanan tiap manusia, relatif semakin sedikit pula segala celah kelemahan itu.
Sehingga iblis, syaitan dan jin itu tidaklah 'diusir dan diikat' secara 'otomatis' dengan begitu saja, oleh para malaikat ataupun oleh Allah sendiri. Segalanya justru hanya berdasar usaha manusia, secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok, agar bisa membina suasana atau keadaan batiniah yang semakin positif di dalam kehidupannya sehari-hari (suasana yang 'Islami').
"Jembatan siratal mustaqim" dan filter batiniah ruh
Hal yang umum diketahui, "jembatan siratal mustaqim" adalah sesuatu jembatan pada Hari Kiamat, yang lebarnya hanyalah seukuran seperti rambut yang dibelah tujuh, sebagai satu-satunya tempat yang haruslah dilewati untuk menuju ke Surga. Sedang di bawah jembatan itu terdapat Neraka (suatu jurang yang sangat dalam, dengan api yang berkobar-kobar di dalamnya). Dan orang-orang yang memiliki tingkat keimanan relatif amat tinggi, bisa mudah dan cepat melalui jembatan itu. Sebaliknya orang-orang tidak beriman pasti mudah terpeleset dan jatuh ke dalam jurang itu (Neraka).
Sekilas tampak jelas, bahwa pemahaman di atas hanya berupa suatu bentuk perumpamaan simbolik, karena justru amat mustahil ada seorang manusiapun, yang mampu menyeberangi jembatan seperti itu (setipis rambut).
Namun pemahaman pada buku ini, 'keadaan filter' pada alam batiniah ruh manusia, atas segala bentuk pengajaran dari para makhluk gaib, bisa pula dipahami sebagai 'jembatan siratal mustaqim' tersebut. Pemahaman inipun hanya untuk bisa menggambarkan, bahwa betapa amat sangat halusnya (tipis, tidak kentara) perbedaan antara kebenaran dan kesesatan. Maka suatu keburukan atau perbuatan dosa yang amat sederhana sekalipun, namun dengan secara sengaja dan terus-menerus dilakukan, justru bisa menjerumuskan manusia ke dalam api neraka.
Bahwa dosa kecil semacam itu cenderung melahirkan berbagai dosa lainnya (kecil ataupun besar, sengaja ataupun tidak), karena pada alam batiniah ruh pelakunya itu terbentuk pondasi 'keyakinan baru', yang justru membenarkan dosa kecil itu, sekaligus melupakan pondasi awalnya yang benar. Pergeseran keyakinan perlahan-lahan inipun bisa berlangsung terus-menerus sepanjang hidup pelakunya, dan akhirnya tanpa disadari justru telah bisa menjerumuskan pelakunya itu.
Tingkat keimanan itu (kemampuan melewati "jembatan siratal mustaqim") berupa keyakinan batiniah pada tiap manusia, untuk bisa memfilter atau memisahkan, antara hal-hal yang benar dan yang sesat. Makin tinggi tingkat keimanannya, relatif makin mudah pula baginya untuk bisa memfilter atau memisahkan antara sesuatu kebenaran dan sesuatu kesesatan, yang perbedaannya justru bisa amat sangat halus, tipis atau tidak kentara bagi mata batiniah manusia.
Perwujudan keimanan di atas tentunya bukanlah hanya sebatas pemahaman (hanya dalam pikiran semata), namun jauh lebih penting lagi justru dalam mengamalkan pemahaman itu sesuai dengan keadaan dan kemampuan. Suatu pemahaman (keimanan batiniah) tanpa disertai pula dengan pengamalannya (keimanan lahiriah), sama halnya dengan pemahamannya yang justru masih relatif dangkal dan belum kokoh.
Hal inipun justru terkait dengan makna dari pernyataan, seperti "makin tinggi keimanan seseorang, relatif makin banyak pula cobaan atau ujian-Nya kepadanya", karena ia makin jelas bisa memahami dan memisahkan antara berbagai kebaikan yang semestinya diikutinya dan berbagai keburukan yang semestinya dihindari ataupun ditolaknya.
Akhirnya tentunya makin banyak pula hal-hal yang semestinya perlu ia amalkan dalam kehidupannya sehari-hari (disebut pula makin banyak cobaan atau ujian-Nya), agar iapun tetap bisa menjaga ataupun mempertahankan keimanannya itu sendiri.
Wujud asli para makhluk gaib
Dari uraian-uraian di atas bisa dipahami, jika 'wujud asli' para makhluk gaib itu justru serupa seperti manusia, karena memang harus sesuai dengan manusia yang diberikannya pengajaran dan ujian-Nya. Di mana mereka juga terdiri dari berbagai: kedudukan, usia (dari bayi sampai lansia), bangsa (berragam bahasa), jenis kelamin (pria, wanita, bahkan banci), dsb.
Baca pula topik "Ruh-ruh", tentang sifat-sifat zat ruh.
Namun dipahami pada buku ini, bahwa ruh para makhluk gaib relatif amat berbeda daripada ruh manusia, antara-lain karena:
Berbagai perbedaan antara ruh manusia dan ruh para makhluk gaib
• Ruh para makhluk gaib umumnya dianggap relatif tidak bersifat menyatu dengan tubuh wadah, sebagai makhluk hidup utuh.
Walau ada pula anggapan lainnya, bahwa segala zat ruh minimal memiliki tubuh wadah berupa materi 'terkecil', yang sekaligus materi pembawa energi dan penyusun sistem benda terkecil.
• Para makhluk gaib tidak memiliki nafsu (tepatnya nafsunya amat stabil), walau juga berakal sempurna seperti manusia. Sehingga mereka pasti tunduk, patuh dan taat kepada segala perintah-Nya, sebaliknya manusia justru relatif belum tentu tunduk, patuh dan taat kepada-Nya (nafsu manusia justru relatif amat tidak stabil).
Juga mereka relatif tidak memiliki kebebasan dalam berkehendak dan berbuat, sebaliknya manusia memilikinya. Tepatnya, mereka amat sangat konsisten dalam melaksanakan segala perintah-Nya.
• Para makhluk gaib relatif tidak mengalami ujian-Nya. Sebaliknya tiap manusia tiap saatnya sepanjang hidupnya justru relatif pasti mengalami ujian-Nya, secara lahiriah dan batiniah.
• Para makhluk gaib bisa hadir atau berada pada alam batiniah ruh manusia, dalam memberikan segala bentuk bisikan-ilham-godaan (benar dan sesat), sebaliknya manusia tidak bisa.
• Para makhluk gaib bisa mengetahui segala keadaan batiniah ruh manusia (memori-ingatan, pengetahuan, pengalaman, pikiran dan perasaan, pahala dan dosa, dsb), sebaliknya manusia tidak bisa.
• Segala keadaan akhir tiap manusia pasti dihisab di Hari Kiamat, saat ruhnya meninggalkan dunia dan naik kembali kepada-Nya. Sedang para makhluk gaib justru tidak dihisab (termasuk syaitan dan iblis), karena mereka hanya melaksanakan tugas dari Allah. Bahkan iblis justru ditugaskan-Nya untuk 'membakar' manusia di Neraka (menghakimi dosa-dosanya pada alam akhiratnya).
• Para makhluk gaib selalu tinggal di Surga, sejak awal diciptakan-Nya sampai akhir jaman. Sedang tiap manusia hanya tinggal di Surga, sejak awal diciptakan-Nya ruhnya sampai sebelum mulai berusia akil-baliq (sebelum mulai melakukan dosa pertamanya). Selanjutnya justru tinggal pilihan dan kehendak tiap manusianya sendiri, dengan berusaha amat keras dan atas ijin-Nya, untuk bisa tinggal lagi di Surga di Hari Kiamat.
Cara-cara lain interaksi para makhluk gaib dengan manusia
Secara umumnya interaksi melalui suara bisikan para makhluk gaib itulah (secara terang-terangan ataupun terselubung), yang paling penting, karena memang paling 'efektif' dalam pemberian pengajaran meraka. Bahkan interaksi inipun sering disebutkan dalam Al-Qur'an, seperti "bisikan syaitan dan iblis" dan "penyampaian wahyu-Nya oleh malaikat Jibril, ke dalam hati para nabi-Nya".
Namun pada dasarnya, hampir semua hal-hal yang ada dalam benak pikiran manusia, bisa dipakai oleh para makhluk gaib itu untuk menyampaikan maksud pengajarannya (misalnya: ilmu-pengetahuan, nafsu-keinginan-semangat, pikiran-perasaan, memori-ingatan, intuisi-nalar-logika, dsb), maka bukan hanya suara bisikan secara sederhana, yang umumnya dipahami oleh umat, ataupun yang diuraikan di atas.
Tetapi ada pula berbagai bentuk cara bernteraksi lainnya, yang juga relatif bersifat 'sepihak' (hanya pengaruh dari para makhluk gaib kepada manusia), misalnya:
• Gambaran dalam pikiran tentang berbagai hal (nyata dan semu), pada saat melamun (sangat sekilas ataupun lama). Juga gambaran-gambaran dalam mimpi saat tertidur.
• Bau-bebauan yang wangi, ataupun yang tidak enak.
• Sentuhan sangat halus pada kulit atau rambut.
• Goyangan, ketegangan, kedutan dan cubitan amat sangat halus di berbagai permukaan tubuh. Juga gatal-gatal di telapak tangan.
• Ketokan amat pelan dan halus di kepala, seperti suatu kehilangan kesadaran pikiran, dengan amat cepat dan amat singkat (hanyalah seper sekian detik).
• Dan banyak lagi hal-hal lainnya.
Juga diduga, interaksi antara para makhluk gaib dan manusia ada yang
melalui medan energi secara fisik. Padahal diketahui, bahwa energi
merupakan unsur pembentukan semua zat ruh. Namun medan energi inipun
tak-terlihat dengan mata, dan hanya bisa dirasakan atau dipahami oleh
orang-orang tertentu saja, yang memiliki kemampuan ilmu supranatural
relatif amat tinggi.
Hal lainnya yang banyak disebut, seperti: sihir, santet, gedam, dsb,
yang diduga memakai bantuan dari para makhluk gaib, untuk bisa
mempengaruhi dan mencelakakan orang-lain. Hal inipun justru tidak
dikenal, tidak diajarkan, dan bahkan diharamkan dalam agama Islam.
Kalaupun sihir ada disebut dalam Al-Qur'an, justru hanya saat
menceritakan kisah-kisah umat dan para nabi-Nya terdahulu, sebelum ada
kedatangan nabi Muhammad saw. Hal inipun bukan berarti bahwa sihir
diajarkan dalam agama Islam. Kedatangan nabi Muhammad saw justru untuk
meluruskan aqidah seluruh umat manusia.
Shalatnya para makhluk gaib
Bahwa para makhluk gaib itu melakukan shalat,
seperti yang dilakukan oleh manusia, ataupun berbeda dari cara shalat
yang dikenal atau menurut pemahaman manusia. Selain karena mereka itu
memang tidak memiliki tubuh wadah, juga karena mereka senantiasa tiap
saat selalu tunduk, bertasbih dan selalu mengingat Allah.
Sedang manusia yang memang sangat banyak disibukkan oleh
urusan-urusan duniawi (sebagai suatu cobaan atau ujian-Nya), sangat
perlu disyariatkan-Nya untuk menyediakan sebagian dari waktunya (di
antara berbagai kesibukannya itu), khusus bagi Allah, misalnya agar
melakukan shalat wajib 5 waktu setiap harinya. Dan kewajiban inipun
sebenarnya semata-mata hanya demi kemuliaan manusia itu sendiri, dan
justru sama sekali bukanlah demi kepentingan Allah, Yang tidak
memerlukan atau tidak tergantung kepada segala sesuatu.
Bahkan sebaliknya, para makhluk gaib itu
justru setiap saatnya sangat sibuk dalam melaksanakan segala perintah
atau urusan Allah, yang ditugaskan kepada setiap mereka masing-masing
(malaikat, jin, syaitan dan iblis), seperti misalnya untuk: mendukung
tetap tegak dan kokohnya seluruh alam semesta, dengan cara 'mengawal'
pelaksanaan aturan-Nya (sunatullah); menyampaikan pengajaran dan
tuntunan-Nya secara batiniah bagi tiap manusia, memberikan cobaan atau
ujian-Nya secara batiniah; serta juga sangat tunduk, patuh dan taat
melaksanakan segala urusan-Nya lainnya yang ditugaskan kepada mereka.
"Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah, (Yang) kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) shalat dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." – (QS.24:41).
"dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat,", "dan yang mendahului dengan kencang,", dan "dan yang mengatur urusan (Allah)," – (QS.79:3-5)
Di dalam Al-Qur'an dan Hadits ada pula disebut, tentang para makhluk
gaib yang ikut shalat dan mengaji bersama para nabi-Nya. Pada dasarnya
hal ini memang ada jelas terjadi dalam interaksi secara terang-terangan
antara mereka dan para nabi-Nya. Karena mereka itu memang sering
"mengikuti bacaan" shalat dan mengajinya para nabi-Nya, yang bisa
jelas-jelas terdengar dari suara 'bisikan' mereka.
"Dan bahwasanya, tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (untuk mengerjakan shalat), hampir saja jin-jin itu desak-mendesak mengerumuninya." – (QS.72:19).
"Katakanlah (hai Muhammad): 'Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jin telah mendengarkan (bacaan Al-Qur'an), lalu mereka berkata: 'Sesungguhnya kami telah mendengarkan (bacaan) Al-Qur'an yang menakjubkan," – (QS.72:1).
"Dan (ingatlah), ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu (Muhammad), yang (datang untuk) mendengarkan (bacaan) Al-Qur'an. Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya), lalu mereka berkata: 'Diamlah kamu (kepada temannya, untuk ikut mendengarkannya)'. Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan." – (QS.46:29)
Pemahaman atas wujud asli para makhluk gaib.
Di dalam Al-Qur'an atau Hadits disebut pula,
misalnya: nabi Muhammad saw telah bertemu langsung dengan malaikat
Jibril, dalam wujud seorang pemuda; nabi Ibrahim as bertemu dua orang
malaikat, yang datang membawa khabar, tentang akan lahirnya anaknya
Ismail; yang sekaligus membawa khabar tentang akan datang azab-Nya bagi
umat kaumnya nabi Luth as; nabi Daud as bertemu dua malaikat yang
berpura-pura memintanya bisa memutuskan sesuatu perkara mereka; istri
dan anak nabi Ibrahim as bertemu iblis, dalam wujud seorang kakek tua,
yang melarang rencana penyembelihan nabi Ismail as; dsb.
Pemahaman tentang wujud zat para malaikat,
jin, syaitan atau iblis, yang pernah 'dilihat' oleh para nabi dan
rasul-Nya di atas, juga "lebih penting" jika dipandang dari segi
keberadaan "nilai perbuatan" mereka, berikut berbagai pengaruhnya bagi
manusia (bukanlah pada hakekat "wujud zat" mereka). Karena hanya "nilai
perbuatan" mereka itulah yang bisa diketahui atau dipahami oleh
akal-pikiran manusia.
Sehingga para makhluk gaib yang menampakkan diri di dalam bentuk
tubuh manusia, seperti halnya yang disebutkan di atas, adalah manusia
biasa yang kebetulan menyampaikan 'berbagai nilai pelajaran tertentu'
yang sangat penting kepada para nabi dan rasul-Nya, untuk kemudian bisa
dijadikan contoh ataupun bahan pelajaran bagi seluruh manusia lainnya.
Hal ini justru sesuai dengan aturan-Nya (sunatullah), dan segala
penampakan lahiriah para makhluk gaib itu hanyalah suatu "contoh
perumpamaan simbolik" semata.
Seperti halnya pula dengan seorang manusia yang
menganggap manusia lain yang berperangai sangat buruk, sebagai "syaitan
ataupun iblis" (bahkan dalam Al-Qur'an disebut "syaitan terdiri dari
golongan jin dan manusia"). Serta manusia yang menganggap manusia lain
yang telah sangat membantu kesulitannya, sebagai "malaikat penolong".
Di samping itu dari uraian-uraian di atas terungkapkan, bahwa 'wujud
asli' dari para makhluk gaib itu memang serupa manusia, yang masuk dan
hadir dalam pikiran manusia (pada alam batiniah ruhnya), untuk
membisikkan segala bentuk pengajaran dan ujian-Nya.
Hakekat pengajaran dan pengujian dari para makhluk gaib
Pada akhirnya dari berbagai uraian di atas,
maka hal-hal yang paling penting mengenai para makhluk gaib, adalah
"nilai perbuatan" mereka itu, sebagai bahan pengajaran dan ujian-Nya
secara 'batiniah' bagi setiap manusia, bukan pada hakekat "zat-zat"
mereka yang justru memang tidak tampak terlihat (gaib).
Serta serupa pula halnya dengan segala pengajaran dan ujian-Nya
lainnya secara 'lahiriah', dari segala zat ciptaan-Nya dan segala
kejadiannya yang ada di seluruh alam semesta ini (ayat-ayat-Nya yang
'tak-tertulis' ataupun 'tertulis'), agar setiap manusia bisa mencari dan
mengenal Allah dan kembali ke hadapan 'Arsy-Nya, dengan mendapat
rahmat-Nya yang paling baik (segala kemuliaan hidup di Surga).
Hakekat setiap zat makhluk-Nya terletak pada 'ruh'
dan 'nilai amal-perbuatannya'. Namun untuk memberi pengajaran dan
tuntunan-Nya kepada setiap manusia, agar sangat mewaspadai segala
pengaruh godaan dari iblis, syaitan dan jin, maka tidaklah terlalu
keliru tindakan para nabi-Nya yang seolah-olah juga melaknat zat para
makhluk gaib itu, karena nama sebutan mereka justru bukan mengacu kepada
'zat' mereka yang memang gaib, namun kepada 'nilai perbuatan' mereka.
Di samping itu pula, adanya 'laknat' itu memang menjadi resiko bagi
mereka dalam menjalankan tugas-amanat dari Allah.
Bahkan penilaian yang 'sebenarnya' atas segala perbuatan para
makhluk gaib itu, hanya hak Allah Yang Maha mengetahui dan Maha adil,
Yang bisa menilainya, begitu pula terhadap segala balasan-Nya bagi
mereka. Hal inipun persis serupa pada penilaian atas segala
amal-perbuatan dari setiap manusia itu sendiri.
Syaitan yang berwujud manusia
Dalam Al-Qur'an juga disebut, "syaitan
ataupun kawan-kawan syaitan, dari golongan jin dan manusia", dan telah
pula diuraikan di atas bahwa hakekat nilai setiap makhluk-Nya terletak
pada nilai segala amal-perbuatannya. Maka setiap makhluk-Nya (gaib dan
nyata) yang sedang berbuat segala bentuk keburukan, pada dasarnya
melakukan perbuatan yang dianjurkan oleh syaitan. Sehingga makna dari
"syaitan berwujud jin dan manusia", masing-masingnya adalah, "para
makhluk gaib yang sedang membisikkan suatu keburukan" dan "manusia yang
sedang berbuat suatu keburukan" (telah mengikuti godaan syaitan).
Dari kenyataannya, bahwa relatif sangat sedikit manusia yang
terhindar dari suatu bentuk keburukan (dari yang amat ringan sampai yang
amat berat), seperti halnya para nabi-Nya. Maka pada dasarnya hampir
bisa dipastikan, setiap manusia pernah 'menjadi syaitan', atau pernah
melakukan 'perbuatan syaitan' suatu saat sepanjang hidupnya. Hanya para
nabi-Nya, yang memiliki kesempurnaan akhlak dan budi-pekerti, yang
relatif bisa terhindar dari hal-hal semacam ini.
Pada dasarnya, besarnya pengaruh godaan dari
"syaitan yang berwujud jin ataupun manusia" relatif sama saja. Karena
pada syaitan yang berwujud jin atau gaib, pengaruh itu amat sangat
halus, sehingga godaannya itu justru seolah-olah berasal dari hasil
pikiran manusia itu sendiri. Dengan sendirinya juga menjadi amatlah
sangat sulit dihindari atau ditolak, walau pengaruh mereka ini
sebenarnya tidaklah memiliki kekuasaan yang 'memaksa'.
Sedangkan pada syaitan yang berwujud manusia (jelas tampak wujudnya)
pada dasarnya mestinya mudah bisa dihindari dengan tidak bertemu dengan
manusianya. Tetapi hal inipun relatif cukup sulit bisa dilakukan, jika
selalu hidup selingkungan. Akhirnya relatif cukup sulit pula dihindari
atau ditolak, jika manusia yang berbuat kemungkaran atau keburukan,
memiliki kekuasaan yang 'memaksa' atas korbannya.
Maka relatif sulit bisa diukur, manakah
bentuk pengaruh yang lebih berat untuk dihindari dan ditolak. Bahkan hal
inipun tidak perlu diukur, karena pada akhirnya kesemuanya hanya akan
kembali kepada tingkat keimanan setiap umat itu sendiri, dalam
menghindari ataupun menolak setiap bentuk pengaruh syaitan tersebut.
Berat atau tidaknya pengaruh itu sangat subyektif menurut penilaian
masing-masing umat. Hakekatnya, setiap bentuk pengaruh itu adalah suatu
bentuk ujian-Nya secara lahiriah dan batiniah, bagi setiap manusia yang
terkait.
Bagi orang-orang yang 'mukhlis' (sangat berikhlas diri), setiap
bentuk ujian-Nya bisa relatif mudah diatasinya dan bahkan darinyapun
bisa diperolehnya berbagai hikmah-Nya, terutama karena mereka bisa
menerima segala kehendak-Nya atas dirinya dengan amat lapang dada.
Hal yang sangat penting untuk diketahui, bahwa
"syaitan yang berwujud manusia" (orang-orang yang berbuat segala
kemungkaran), pada dasarnya hanyalah perlu diperangi jika mereka telah
'menzalimi' umat Islam. Di luar hal ini, maka sikap terbaik bagi setiap
umat Islam, adalah tetap beramar ma'ruf nahi munkar (berusaha mengajak
mereka kepada segala kebaikan dan juga mengingatkannya untuk menghindari
segala keburukan). Pada dasarnya hanya inilah batas kewajiban bagi
setiap umat Islam, jika mereka memang tidak 'menzalimi' umat Islam.
Sedang kezaliman itu sendiri adalah bentuk pemaksaan (secara
lahiriah dan batiniah) yang sangat merugikan, serta sama sekali tidak
ada sesuatupun cara bagi korbannya untuk bisa menghindar ataupun
menolaknya. Usaha untuk bisa memerangi setiap bentuk kezaliman itu
mestinya dilakukan umat Islam, secara proporsional dan sewajarnya saja,
agar tidak melahirkan suatu kezaliman baru, sehingga semestinya diukur
benar-benar dengan sangat cermat.
Bahkan pasti ada hukuman-Nya bagi setiap pelaku kezaliman, yang amat
sangat berat dan setimpal (diancamkan-Nya dengan siksaan api Neraka
yang amat sangat buruk pada Hari Kiamat).
Tugas-tugas khusus para malaikat
Ada berbagai nama sebutan bagi para malaikat, berikut tugas atau
amanatnya masing-masing yang telah diberikan-Nya, yang secara amat umum
dan ringkas, antara-lain:
~ Jibril : Menyampaikan segala kebenaran-Nya atau wahyu-Nya.
~ Mikail : Membagikan segala macam rahmat, rejeki atau karunia-Nya (lahiriah dan batiniah). Termasuk menurunkan air hujan.
~ Izrail : Mencabut nyawa manusia.
~ Israfil : Meniup sangkakala di Hari Kiamat.
~ Ridwan dan Malik : Menjaga surga dan neraka.
~ Rakid dan 'Atid : Mencatat segala amal-perbuatan baik dan buruk manusia.
~ Munkar dan Nakir : Menanyai dan memeriksa manusia di alam kubur.
~ Jabaniah : Menyiksa manusia yang berdosa di neraka.
Dari sebagian tugas di atas tampak jelas,
bahwa para malaikat yang bertugas 'menegakkan' ataupun 'mengawal'
pelaksanaan aturan-Nya (sunatullah) di seluruh alam semesta (terutama
malaikat Mikail).
Sejalan itu pula, bahwa tugas-peran para malaikat itu memang sangat
halus, tidak terlihat atau tidak kentara. Serupa seperti peranan
malaikat Mikail, ketika membagikan rejeki-Nya dan menurunkan air hujan,
yang seolah terjadi otomatis begitu saja. Bahkan para malaikat itulah
yang memang mewujudkan segala kehendak ataupun tindakan-Nya di alam
semesta ini ("ikut mengatur segala urusan-Nya").
Sehingga perwujudan dari ayat-ayat dalam
Al-Qur'an, "bahwa Allah tidaklah akan pernah lelah dan terus-menerus
dalam mengurus segala zat makhluk ciptaan-Nya", adalah Allah Yang Maha
Sempurna telah mengutus sejumlah tak-terhitung para malaikat, untuk
mengurus segala sesuatu urusan Allah di alam semesta ini, dan setelah
selesainya penciptaan alam semesta ini (ringkasnya, menetapkan segala
sesuatu halnya dan menciptakan tak-terhitung jumlah dan jenis atom dan
ruh), maka lalu Allah kembali ke 'Arsy-Nya, yang sangat agung dan mulia.
"Dia-lah Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya …." − (QS.16:10).
"dan (para malaikat) yang turun dari langit dengan cepat,", "dan yang mendahului dengan kencang," dan "dan yang mengatur segala urusan (Allah)," − (QS.79:3-5).
"Sesungguhnya Rabb-mu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy (singgasana), untuk mengatur segala urusan. …." − (QS.10:3).
Kecerdasan dan pengetahuan para makhluk gaib
Di dalam Al-Qur'an, malaikat Jibril juga
disebut amat cerdas akalnya, serta paling mudah dirasakan oleh tiap
manusia, adalah amat cerdasnya jin, syaitan atau iblis dalam menggoda
manusia. Sehingga ujian-Nya kepada para malaikat itu setelah
diciptakan-Nya Adam, untuk bisa menyebutkan "nama-nama benda", pada
dasarnya hanyalah bersifat 'praktis' dan 'simbolik', sebagai "cara
paling mudah" sekedar untuk bisa menunjukkan kelebihan Adam sebagai
khalifah-Nya, dari segala makhluk lainnya.
Padahal sebagian para makhluk gaib itu justru ditugaskan-Nya, untuk
selalu mengikuti tiap manusia tiap saatnya, sehingga mereka itu pastilah
mengetahui pula segala hal yang bisa diketahui oleh manusia (termasuk
mereka pastilah mengetahui pula "nama-nama benda" itu). Lagipula mereka
diciptakan-Nya sebelum penciptaan tubuh Adam di Bumi, dan mereka hidup
kekal pada alam ruh, sehingga para makhluk gaib itu pastilah memiliki
pengetahuan yang justru amat sangat luas.
Hal yang sebenarnya terjadi adalah, para
makhluk gaib tidak mengetahui seluruh rahasia dan rencana-Nya, termasuk
pula tentang rencana-Nya dalam menunjuk umat manusia sebagai
khalifah-Nya di muka Bumi. Bahkan mereka tidak mengetahui awal
penciptaan alam semesta ini, ataupun penciptaan diri mereka sendiri.
Bahkan dalam Al-Qur'an tidak disebutkan 'langsung', tentang ketidak-tahuan mereka terhadap "nama-nama benda" itu
"Dan Dia mengajarkan kepada Adam, nama-nama seluruhnya. Kemudian Allah menguji para malaikat, melalui firman-Nya: 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu, jika memang kamu (para malaikat) termasuk orang-orang yang benar (sangkaanmu tentang kemuliaan manusia)!'," − (QS.2:31).
"Mereka (para malaikat) menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui, selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana." − (QS.2:32).
"…, Allah berfirman: "Bukankah telah Kukatakan kepadamu (para malaikat), bahwa sesungguhnya, Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan mengetahui, apa yang kamu lahirkan, dan apa yang kamu sembunyikan"," − (QS.2:33).
Kekurangan manusia, dan ketundukan para makhluk gaib
Kelebihan pada manusia yang justru telah
dipilih-Nya sebagai khalifah-Nya, dibanding para makhluk gaib adalah,
'hanyalah' karena manusia memiliki 'nafsu' dan 'tubuh wadah', yang
justru sangat sulit bisa dijelaskan segala keistimewaannya. Bahkan para
malaikat telah memprotes tentang 'nafsu' itu, yang bisa berakibat
manusia cenderung berbuat kerusakan di muka Bumi, ataupun bisa
menjadikan manusia menghinakan dirinya sendiri.
Termasuk pula kehinaan pada 'tubuh wadah' manusia, yang sering
disebut dalam Al-Qur'an, karena berasal dari "tanah lumpur liat yang
berwarna hitam" ataupun "air yang hina" (air mani). Bahkan hal inilah
yang menjadikan iblis tidak mau bersujud kepada Adam, yang telah
diperintahkan-Nya. Maka timbulnya kesombongan iblis (karena merasa
diciptakan-Nya dari api, sedangkan Adam dari tanah), justru sesuatu
fakta dan memiliki dasar alasan yang relatif 'benar'.
Sehingga kesombongan iblis inipun bersifat
simbolik, 'hanya' karena iblis juga tidak mengetahui seluruh rahasia dan
rencana Allah, yang persis serupa halnya dengan kejadian pada para
malaikat, tentang 'nafsu' manusia dan 'nama-nama benda' di atas.
"…. Mereka berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu, orang yang akan membuat kerusakan di muka bumi, dan akan menumpahkan darah (saling membunuh). Padahal (telah Engkau ciptakan) kami yang senantiasa selalu bertasbih, dengan memuji Engkau, dan mensucikan Engkau'. Rabb berfirman: 'Sesungguhnya Aku mengetahui, apa yang tidak kamu ketahui'." − (QS.2:30).
"Kemudian Dia menjadikan keturunannya (anak keturunan umat manusia), dari saripati air yang hina (air mani)." − (QS.32:8).
"Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata." − (QS.16:4).
Perbedaan yang sebenarnya antara para
malaikat dan para iblis pada dasarnya 'hanyalah' masalah ketundukan
mereka (mau bersujud ataupun tidak) kepada Adam (manusia), seperti yang
diuraikan di atas. Namun alasan-alasan di sekitarnya, pada dasarenya
'hanyalah' bersifat simbolik dan praktis untuk bisa membedakan penugasan
mereka, bagi kepentingan manusia (menguntungkan ataupun merugikan).
Bahkan jika tanpa adanya iblis misalnya, manusia
tidak akan bisa mengenal hal-hal yang bisa sangat merugikan kemuliaan
dirinya. Keberadaan iblis, beserta segala kesesatannya, justru hanya
sebagian dari rencana-Nya, untuk bisa menguji keimanan tiap manusia.
Tidak ada segala sesuatu halpun yang berada di luar kekuasaan Allah, Yang Maha kuasa. Tentunya Allah
Keistimewaan manusia atas makhluk lain, dari kekurangannya
Terpilihnya manusia sebagai khalifah-Nya
(penguasa di muka Bumi), justru karena ia memiliki berbagai 'kehinaan'
di atas (memiliki nafsu yang bisa menghinakan dirinya, dan dari tubuh
yang hina), yang sebenarnya sekaligus memberi sesuatu 'keistimewaan'
bagi manusia. Karena dalam menghadapi berbagai ujian-Nya pada kehidupan
dunia fana ini, manusia justru memiliki segala kebebasan (dengan akal)
dan keinginan (dengan nafsu), misalnya "sampai akhir hidupnya, apakah
manusia berkeinginan untuk memuliakan dan mensucikan dirinya (ruh atau
jiwanya), dengan berusaha menjalankan segala amal-ibadah yang
diperintahkan-Nya?".
Apabila dikaitkan pula dengan keadaan tiap ruh bayi manusia, yang
terlahir sama-sama suci-murni dan tanpa dosa, maka hal itu bisa menjadi
"apakah ia ingin untuk kembali ke fitrahnya yang suci dan mulia, seperti
ketika kelahirannya?". Seluruh hasil usaha tiap manusia dalam mengatasi
segala bentuk beban ujian-Nya, bisa menjadikannya menjadi makhluk-Nya
yang jauh lebih mulia dibanding dengan segala makhluk-Nya lainnya,
tetapi sebaliknya justru bisa lebih hina.
Di lain pihak, kebebasan, keinginan dan ujian-Nya
seperti itu relatif tidak dialami oleh segala makhluk-Nya lainnya.
Karena mereka justru ditugaskan-Nya, untuk bisa mendukung berjalannya
kehidupan manusia di dunia, serta proses penggodokan atau pengujian
manusia. Tetapi para makhluk gaib itu misalnya, mereka selalu tinggal di
Surga, sejak awal diciptakan-Nya zat ruhnya sampai saat sekarang ini.
Tentunya segala kemuliaan manusia itu justru semestinya tetap
diusahakan atau dicapainya sendiri, dengan semaksimal mungkin dan
sebaik-baiknya berusaha mengikuti tiap pengajaran dan tuntunan-Nya,
sesuai dengan keadaan, kemampuan dan pengetahuannya.
Para makhluk gaib yang selalu mengikuti manusia
Akhirnya, bagi tiap manusia terdapat sejumlah
berbagai jenis para makhluk gaib yang tiap saatnya pasti selalu
menjaga, mengawasi dan mengikuti (termasuk memberi segala pengajaran dan
ujian-Nya). Tetapi ada pula yang datang 'sementara' saja pada alam
batiniah ruh manusia, seperti yang jelas terjadi pada interaksi
'terang-terangan'.
Di dalam Al-Qur'an, para malaikat yang sangat
sering disebut mengikuti tiap umat manusia, adalah malaikat Rakid dan
'Atid, yang ditugaskan-Nya untuk mencatat tiap amal-perbuatan baik dan
buruk, sekecil ataupun sesederhana apapun bentuknya (sebesar 'biji
zarrah').
Begitu pula iblis, syaitan dan jin, yang tiap saatnya sepanjang
hidup tiap umat manusia, selalu menggoda pada alam batiniah ruhnya, ke
arah segala bentuk keburukan atau kesesatan.
Pada dasarnya malaikat Jibril juga pasti
selalu mengikuti tiap manusia, untuk menyampaikan berbagai kebenaran-Nya
(pada aspek lahiriah dan batiniah), termasuk pula ketika malaikat
Jibril membantu memilihkan tiap informasi tuntunan-Nya pada hati nurani
manusianya, di dalam menilai segala sesuatu hal.
Namun hal ini tidaklah jelas disebut dalam Al-Qur'an, karena
malaikat Jibril lebih khusus dikaitkan dengan tugas-tugasnya dalam
menyampaikan wahyu-Nya (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya) bagi para
nabi-Nya. Hal ini amat dimaklumi, karena segala kebenaran-Nya yang
dipahami oleh manusia biasa pada umumnya justru relatif amat terbatas,
maka 'kurang pantas' apabila disebut diperoleh dari malaikat Jibril, dan
juga demi menjaga nilai kemuliaan wahyu-wahyu-Nya.
"Bagi (tiap) manusia ada malaikat-malaikat, yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya. …." − (QS.13:11) dan (QS.72:26-28).
"Padahal sesungguhnya, bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),", "yang mulia (di sisi-Nya) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),", "mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan." – (QS.82:10-12).
"tidak ada suatu jiwapun (diri), melainkan ada (malaikat-malaikat) penjaganya." – (QS.86:4).
"Dan Dia-lah Yang mempunyai kekuasaan tertinggi, atas semua hamba-Nya, dan diutusnya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian, kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya." – (QS.6:61).
"Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Rabb) Yang Maha Pemurah, Kami hadirkan baginya syaitan, maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya." – (QS.43:36).
Lebih lanjut, ketundukan para makhluk gaib kepada-Nya
Dalam uraian-uraian di atas telah disebut, bahwa para makhluk gaib pasti
tunduk, patuh dan taat dalam melaksanakan segala perintah-Nya. Namun
pada tabel berikut diungkapkan kembali rangkuman atas berbagai hal, yang
menunjukkan ketundukan mereka kepada-Nya. Di mana salah-satu aspek dari
ketundukan, adalah tingkat konsistensi dan keteraturan mereka yang amat
tinggi di dalam melakukan berbagai hal (tepatnya, di dalam melaksanakan
tugas-amanat yang diberikan-Nya), bahkan mereka selalu bersemangat,
tanpa lelah ataupun tanpa tidur.
Bukti-bukti ketundukan para makhluk gaib kepada Allah
• Pasti selalu mengawasi, menjaga dan mengikuti manusia.
Pasti selalu ada para makhluk gaib yang mengawasi, menjaga ataupun
mengikuti tiap manusia tiap saatnya sepanjang hidupnya melalui alam
batiniah ruhnya (alam pikiran atau alam akhiratnya), termasuk dalam
mencatat tiap amal-perbuatan baik dan buruk manusianya yang sebesar biji
zarrah sekalipun (para malaikat Rakid dan 'Atid).
"Dan sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia, dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih (dekat) kepadanya daripada urat lehernya,", "(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal-perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan, dan yang lain duduk di sebelah kiri.", '"Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan(nya), melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." − (QS.50:16-18).
"Padahal sesungguhnya, bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),", '"yang mulia (di sisi-Nya) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),", '"mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan." − (QS.82:10-12).
"Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah-Nya. …" − (QS.13:11).
"Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia, dan bisikan-bisikan mereka?. Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka." − (QS.43:80).
• Selalu memberi pengajaran kepada manusia.Pasti selalu ada segala jenis pengajaran dari para makhluk gaib kepada
tiap manusia tiap saatnya sepanjang hidupnya melalui alam batiniah
ruhnya (memberi segala jenis ilham-bisikan-godaan positif-benar-baik dan
negatif-sesat-buruk), bahkan termasuk pula ketika manusianya sedang
bermimpi, mengantuk, melongo, melamun, dsb.
• Selalu netral atau seimbang dalam memberi pengajaran.
Pasti selalu ada kenetralan atau keseimbangan segala pengajaran dari
para makhluk gaib kepada tiap manusia (memberi segala jenis
ilham-bisikan-godaan positif-benar-baik dan negatif-sesat-buruk). Bahkan
para nabi-Nya dan orang-orang yang Mukhlis sekalipun juga pasti selalu
mendapat godaan dari iblis dan syaitan, tetapi mereka telah relatif amat
sulit bisa tersesatkan, melalui keimanan dan keikhlasannya yang telah
amat tinggi. Sehingga merekapun bisa mendapat hikmah dan hidayah-Nya,
yang lebih luas daripada manusia biasa umumnya.
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, seorang rasulpun, dan tidak (mengutus pula) seorang nabi, melainkan apabila ia (rasul atau nabi itu) mempunyai suatu keinginan (yang kuat untuk mengetahui kebenaran-Nya). Syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, (namun) Allah menghilangkan apa yang dimaksudkan oleh syaitan itu, (untuk melindunginya), dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana," − (QS.22:52).
"… (Allah) menghilangkan dari kamu (kaum Muslimin) gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu, memperkuat keyakinan batiniah dan lahiriah)." − (QS.8:11).
"Iblis berkata: 'Ya Rabb-ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan, bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya,", '"kecuali bagi hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka'." − (QS.15:39-40).
"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka merekalah orang-orang yang merugi." − (QS.7:178) dan (QS.17:97, QS.18:17, QS.27:92, QS.39:41, QS.7:30).
• Selalu saling bergantian dalam memberi pengajaran.
Pasti selalu saling bergantian saat para makhluk gaib itu memberi segala
jenis ilham-bisikan-godaan (silih-berganti antara ilham yang benar dan
yang sesat, tanpa saling berebut). Hal inipun lebih jelas dalam
interaksi terang-terangan dengan manusianya.
• Selalu ada saat tertentu bagi pengajaran yang penuh hikmah.
Pasti selalu ada saat 1/3 malam terakhir tiap harinya, yang justru penuh
dengan segala pengajaran yang mengandung hikmah (relatif tanpa
terganggu oleh iblis dan syaitan). Hal inipun sesuai dengan saat yang
dianjurkan oleh Nabi, untuk mengerjakan shalat tahajud ataupun shalat
malam.
"Hai orang yang berselimut (Muhammad),", '"bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya),", '"(yaitu) seper-duanya, atau kurangilah dari seper-dua itu sedikit,", "atau lebih dari seperdua itu, Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan.", '"Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.", '"Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu'), dan bacaan di waktu itu lebih berkesan." − (QS.73:1-6).
"Sesungguhnya Rabb-mu mengetahui, bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua-per-tiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya, …" − (QS.73:20).
"Dan pada sebagian malam hari, shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." − (QS.17:79) dan (QS.76:26, QS.51:17-18, QS.25:64, QS.39:9).
"Demi Kitab (Al-Qur'an) yang menjelaskan,", '"sesungguhnya, Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.", '"Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah," − (QS.44:2-4) dan (QS.97:1-5).
• Selalu tegak-kokohnya alam semesta.
Pasti selalu tegak-kokohnya alam semesta ini,
sejak awal penciptaannya sampai saat ini (ataupun sampai akhir jaman
nanti). Padahal diketahui, bahwa tak-terhitung jumlah para malaikat yang
justru 'mengawal' pelaksanaan sunatullah (Sunnah Allah, lahiriah dan
batiniah). Sedang di lain pihak, pelaksanaan sunatullah justru sama
sekali tidak terganggu oleh iblis dan syaitan.
Sunatullah itu sendiri berupa segala aturan
atau rumus proses kejadian, yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi) dan
'kekal' (pasti konsisten), yang pasti berlaku untuk mengatur segala zat
ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini (gaib dan nyata, makhluk hidup
dan benda mati), sesuai segala keadaan tiap zat ciptaan-Nya tiap saatnya
(lahiriah dan batiniah, internal dan eksternal).
Salah-satu sunatullah yang amat dikenal adalah 'hukum
gravitasi', yang pasti berlaku tiap saatnya untuk bisa mendukung
tegak-kokohnya alam semesta ini.
• Relatif tanpa memiliki segala kesibukan lahiriah.
Para makhluk gaib relatif hanya berupa ruh
(relatif tanpa tubuh wadah fisik-lahiriah dan segala kesibukan
lahiriahnya), sehingga mereka relatif sama sekali tidak memiliki segala
nafsu-keinginan lahiriah-fisik-duniawi (nafsunya relatif tidak ada
ataupun amat stabil). Nafsu-keinginan mereka semata-mata hanya untuk
mengabdi kepada Allah.
Hal ini didukung pula oleh amat sangat
'cerdas'-nya akal para makhluk gaib (seperti: malaikat Jibril bisa
mengajari para nabi-Nya, iblis dan syaitan amat pandai menggoda manusia
tiap saatnya, dsb). Maka para makhluk gaib justru amat mengetahui
tentang berbagai kebenaran-Nya (memiliki keimanan lahiriah dan batiniah
yang amat tinggi).
"Ucapannya (Muhammad) itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepada umatnya),", '"yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat (hujjahnya),", "yang mempunyai akal yang cerdas. …" − (QS.53:4-6).
"Dan sesungguhnya, Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam,", '"dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril)," − (QS.26:193).
"…. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya, dan tiada (pula) merasa letih.", '"Mereka selalu bertasbih malam dan siang, tiada henti-hentinya." − (QS.21:19-20) dan (QS.41:38, QS.2:30).
"Tiada seorangpun di antara kami (para malaikat), melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu (di sisi-Nya),", "dan sesungguhnya, kami benar-benar bershaf-shaf (dalam menunaikan perintah-Nya).", '"Dan sesungguhnya, kami benar-benar bertasbih (kepada Allah)." − (QS.37:164-166).
"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya, bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun, melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun, lagi Maha Pengampun." − (QS.17:44) dan (QS.24:41).
• Relatif amat terbatas dalam berinteraksi terang-terangan.
Relatif hanya amat sedikit dan terbatas
jumlah manusia yang telah bisa berinteraksi terang-terangan dengan para
makhluk gaib. Sedang interaksi seperti ini justru sesuatu bentuk
ujian-Nya yang relatif amat berat bagi tiap manusia yang mengalaminya,
seperti halnya kegoncangan batin amat luar biasa yang dialami oleh Nabi,
saat pertama kalinya berinteraksi dengan malaikat Jibril (Nabi melihat
'wujud asli' malaikat Jibril).
Hal ini juga menunjukkan, bahwa para makhluk
gaib relatif hanya mengikuti aturan tertentu dalam berinteraksi
terang-terangan dengan tiap manusianya (tidak serampangan atau tidak
seenaknya, serta relatif hanya tertarik pada hal-hal tertentu saja yang
dimiliki oleh manusianya).
"Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub, ketika ia menyeru Rabb-nya: 'Sesungguhnya aku diganggu syaitan, dengan kepayahan dari siksaan'." − (QS.38:41).
"…. Dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.", '"sedang dia berada di ufuk yang tinggi.", "Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi,", "maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak), dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).", "Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad), apa yang telah Allah wahyukan." − (QS.53:6-10).
• Selalu bersemangat, tanpa lelah ataupun tanpa tidur.
Lebih jelas dalam berinteraksi terang-terangan
dengan manusia, bahwa para makhluk gaib selalu bersemangat, tanpa lelah
ataupun tanpa tidur, di dalam berkomunikasi dua arah 'tiap saatnya',
melalui suara 'bisikan' mereka pada alam batiniah ruh manusianya (alam
pikiran atau alam akhiratnya). Tentunya hal yang sama pasti terjadi pula
dalam dalam berinteraksi terselubung (pasti selalu ada segala jenis
ilham-bisikan-godaannya secara amat sangat halus, yang benar dan yang
sesat).
Sekali lagi, hal-hal di atas secara tidak langsung menunjukkan, bahwa
iblis dan syaitan sekalipun justru pasti tunduk, patuh dan taat kepada
segala perintah-Nya, khususnya dalam memberi segala bentuk ujian-Nya
secara batiniah pada tiap manusia (memberi segala bentuk
ilham-bisikan-godaan negatif-sesat-buruk). Walau hal ini justru bukan
keredhaan-Nya bagi manusia untuk mengikutinya. Sama sekali tidak ada
sesuatu hal yang di luar kekuasaan dan pengetahuan-Nya. Mereka hanya
sarana bagi Allah, untuk bisa menguji keimanan tiap manusia.
"agar Dia menjadikan apa yang dimaksudkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, dan (orang-orang) yang kasar hatinya. …" − (QS.22:53).
"Dan tidak ada kekuasaan iblis terhadap mereka (orang-orang yang beriman), melainkan hanyalah, agar Kami dapat membedakan, siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat, dari siapa yang ragu-ragu tentang itu. Dan Rabb-mu Maha Memelihara segala sesuatu." − (QS.34:21).
Kata mutiara
Sempurnakanlah ilmu-akal (keimanan batiniah) dan juga sempurnakanlah amal-ibadah (keimanan lahiriah). Puncak dari segala ilmu dan amal itu, adalah pembentukan segala akhlak yang terpuji (wujud langsung pembangunan kehidupan akhirat).
Pahamilah ayat-ayat-Nya (tertulis/tidak), secara makin 'sempurna' (makin lengkap, mendalam, konsisten, utuh & tidak saling bertentangan), agar bisa makin 'mendekati' tingkat pemahaman nabi Muhammad saw.
Allahu a’lam Bis shawwab.